Mungkinkah Kemenag Dibubarkan?
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahwa Kemenag hadiah negara untuk NU membuat gaduh. Hal ini tidak sejalan dengan fakta sejarah. Sebab Menteri Agama pertama justru dijabat bukan oleh NU. Sebagian kalangan menilai, selama Kemenag dipimpin Yaqut sebaiknya dibubarkan saja.
REKAYOREK.ID Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumbar pernyataannya yang membuat polemik. Yaqut menyatakan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) bukan hadiah dari negara untuk orang Islam melainkan hadiah dari negara untuk orang Nahdlatul Ulama (NU) spesifik.
“Saya bantah bukan, Kemenag itu hadiah negara untuk NU bukan untuk umat Islam secara umum tapi spesifik untuk NU. Jadi wajar kalau NU itu memanfaatkan peluang yang ada di Kemenag,” kata Yaqut pada Webinar Internasional RMI PBNU dalam memperingati Hari Santri 2021, Rabu,(20/10).
Karuan pernyataan Yaqut membuat banyak kalangan bereaksi keras.
Pengamat Sosial, Ekonomi dan Keagamaan, Anwar Abbas menyebut pernyataan Yaqut dinilai tendensius dan berpotensi menimbulkan perpecahan, karena seolah-olah menegasikan peran umat beragama yang lainnya.
“Pernyataan ini tentu sangat-sangat kita sayangkan, karena tidak menghargai kelompok dan elemen umat dan masyarakat lainnya,” tegas Pengamat Sosial, Ekonomi dan Keagamaan, Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (23/10/2021).
Meski begitu, Anwar Abbas menilai ada baiknya juga pernyataan bekas Ketua Umum GP Anshor itu akhirnya mengemuka ke publik. Sehingga, publik semakin tahu bahwa Kemenag RI semuanya dikuasai oleh orang NU.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj sebelumnya yang menyebut semua jabatan seperti Menteri Agama, MUI, termasuk khotib dan imam-imam masjid haruslah dipegang oleh orang-orang NU.
Beberapa tahun lalu, nada yang sama sempat diutarakan juga. Tepatnya saat Kiai Said menegaskan bahwa seluruh kepala KUA se-Indonesia harus dipegang oleh orang NU. Jika bukan orang NU, maka akan salah semua.
“Kalau fakta dan fenomena ini kita kaitkan dengan pernyataan Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, yang pernah menyatakan jabatan Kemenag kalau tidak dipegang oleh NU maka bakal salah semua,” tuturnya.
Cara berfikir dan cara pandang seperti itu, menurut Anwar Abbas, jika dikaitkan dengan masalah kebangsaan dan pengelolaan negara akan sangat naif dan tidak mencerminkan akal sehat.
Yaqut yang kini menjabat Menteri Agama, diharapkan Anwar Abbas, lebih bersikap layaknya pemimpin umat yang selalu mengedepankan sikap arif, dan bertindak sebagai negarawan. Bukan justru sebaliknya, malah bersikap arogan dan mementingkan kepentingan kelompoknya semata.
“Oleh karena itu kalau sebuah lembaga negara seperti Kementerian Agama ini diperlakukan dengan cara pandang dan tidak seperti ini, maka tentu jelas tidak bisa kita terima,” tegasnya.
Dia menduga, apabila cara pandang mementingkan kelompok tetap dipertahankan oleh sosok pemimpin di pemerintahan ataupun partai politik yang ada di negeri ini, maka lebih baik tidak ada institusi yang dipimpimpin orang-orang semacam itu.
“Maka saya minta Kementrian Agama lebih baik dibubarkan saja! Karena akan membuat gaduh, mudaratnya pasti akan jauh lebih besar dari manfaatnya,” pungkasnya.
Senada, pengamat sosial keagamaan dan politik, Profesor Sudarnoto Abdul Hakim merasa heran dengan kedua tokoh tersebut, Profesor Sudarnoto bahkan menyesalkan statemen tersebut dibuat justru oleh dua tokoh penting, yaitu Ketua Umum PBNU dan Menteri Agama RI.
Apalagi, selama ini dia menilai Kiai Said Aqil Siradj memiliki kemauan, awareness, dan kemampuan untuk menampilan Ormas Islam NU sebagai salah satu kekuatan civil society muslim Indonesia yang secara jujur dan terbuka mengatakan bahwa republik ini dibangun oleh banyak elemen bangsa.
NU hanyalah salah satu saja dari sejumlah elemen bangsa yang ikut berperan penting memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Fakta sejarah, peran para ulama dan kiai dari pondok pesantren dan NU tak terbantahkan. Sudah banyak hasil riset yang menggambarkan peran-peran penting para kiai dan ulama nusantara ini.
“Akan tetapi, peran para tokoh muslim lainnya dari Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, NW dan sebagainya juga sangat penting dan menentukan dalam perjuangan sejarah bangsa Indonesia. Jadi Indonesia ini adalah negeri banyak orang, bukan negerinya warga NU,” tegasnya, Minggu (24/10/2021).
Menurutnya, sikap yang sama seharusnya juga ditampilkan oleh Menteri Agama RI, Yaqut. Sebagai seorang aktivis dan pimpinan sebuah ormas pemuda muslim yang sangat terkenal, dari keluarga santri dan saat ini menjabat sebagai Menteri Agama RI semestinya mengerti betul sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia dan secara khusus sejarah kementerian agama.
Sudah banyak hasil riset yang dilakukan oleh para sarjana dan peneliti dari Indonesia dan dari luar tentang sejarah kementerian agama ini.
Secara akademik dan ilmiah, statement Menteri Agama tidak bisa dipertanggungjawabkan bahwa Kementerian Agama itu adalah hadiah dari negara untuk NU.
Perlu dihindari dan menahan diri untuk tidak memberikan pandangan atau statement emosional dan tidak bisa dipertanggung jawabkan secara akademik.
“Menghargai karya-karya sejarah yang kredibel secara ilmiyah itu sangat penting karena ini sekaligus mencerminkan sikap hormat seorang Menteri kepada ilmu pengetahuan,” tegasnya.
Sudarnoto menekankan bahwa demokrasi memberikan ruang yang equal kepada semua warga bangsa untuk memainkan peran-peran dalam bidang-bidang yang diminati. Semua warga bangsa secara konstitusional dan politik memperoleh jaminan dan perlindungan untuk berkiprah secara maksimal. Karena itu, prinsip prinsip seperti meritokrasi, professional, partisipatif, inklusif dan berkeadilan menjadi penting dalam demokrasi.
“Saya memandang, statement Kiai Aqil dan Menag berpotensi mengabaikan dan bahkan melanggar berbagai prinsip demokrasi dalam mengelola negara ini,” tekannya.
Padahal NU, di mana Kiai Aqil dan Yaqut menjadi tokoh penting, dikenal sebagai salah satu ormas Islam yang mengusung dan memperjuangkan pandangan washatiyah.
“Saya menghawatirkan statemen Kiai Aqil dan Menag Yaqut ini justru berpotensi membuka jalan bagi kelompok eksklusif di kantong NU dan pasti ini akan membahayakan bagi upaya mainstreaming Washatiyatul Islam dan demokrasi,” sambung Sudarnoto.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerja Sama Luar Negeri dan Hubungan Internasional itu menyadari bahwa Kiai Said Aqil Siradj dan Menag Yaqut punya hak untuk memperjuangkan warga NU agar memperoleh posisi sosial keagamaan dan politik secara maksimal.
Semangat ini juga muncul di ormas-ormas Islam dan apalagi organisasi politik yang lain.
Akan tetapi, diperlukan cara-cara atau manhaj yang bersesuaian dengan etika dan prinsip demokrasi, menghargai keberadaan warga bangsa yang lain dan yang juga sangat penting tidak mengelabuhi sejarah.
“Bersahabat dan sekaligus berkompetisi yang sehat dan beradab di kalangan anak bangsa sangatlah penting agar negeri dan bangsa ini tidak oleng,” tutupnya.
NU Tidak Pernah Semena-mena
Sekjen NU Helmi Faishal Zaini merespon pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU.
Menurut Helmi, Kemenag bukan hanya untuk NU semata, melainkan untuk seluruh umat Islam yang ada di Indonesia.
“Kemenag hadiah negara untuk semua agama, bukan hanya untuk NU atau hanya untuk umat Islam,” tegasnya, Minggu (24/10/2021).
NU memang punya peran besar dalam menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, tak lagi disangsikan. Namun itu bukan berarti NU boleh semena-mena berkuasa atas Kementerian Agama ataupun merasa ada hak khusus.
“Bahkan, peran NU jauh sebelum kemerdekaan telah meletakkan pesantren sebagai pilar pembentuk karakter mental bangsa yang bertumpu kepada akhlaqul karimah,” ucapnya.
Dia menambahkan NU merupakan stakeholder terbesar dari Kemenag tentu dapat dilihat karena Kemenag organ dari pemerintahan yang mengatur tentang zakat, haji, madrasah, pesantren & pendidikn keagaman.
“Meski demikian, NU tidak memiliki motivasi untuk menguasai ataupun memiliki semacam “privelege” dalan pengelolaan kekusaan dan pemerintahan, karena NU adalah jamiyyah diniyah ijtimaiyyah (organisasi keagamaan & kemasyarakatan),” katanya.
Bagi NU, kata Faishal, memiliki prinsip siapa saja boleh memimpin dan berkuasa dengan landasan, “Tashorroful imam ‘alarroiyyah manutun bil maslahah”, yang didefinisikan kepemimpinan harus melahirkan kesejahteraan dan kemaslahatan.
“Dengan segala hormat dan kerendahan hati, tentang pernyataan Pak Menteri Agama tentu itu hak beliau, meski saya pribadi dapat menyatakan bahwa komentar tersebut tidak pas dan kurang bijaksana dalam perspektif membangun spirit kenegarawanan,” ujarnya.
Terakhir, Politisi PKB itu menyatakan bahwa, sejarah telah membuktikan seluruh elemen memiliki peran sejarah strategis dalam mendirikan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
“Melahirkan Pancasila, UUD 1945 dalam keanekaragaman suku, ras, agama dan golongan. Bhinneka Tunggal Ika,” pungkasnya.
Fakta Sejarah Berbicara
Mempertanyakan pernyataan Yaqut jika memang Kemenag hadiah negara untuk NU, mengapa Menteri Agama pertama justru bukan dari NU?
Ya, fakta sejarah mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Sjahrir menunjuk H.M. Rasjidi seorang tokoh Masyumi sebagai Menteri Agama pertama pada 3 Januari 1946.
HM Rasyidi berpendidikan Islam modern, tokoh Islam terkemuka, dan yang pasti bukan NU. Menteri Agama pun berganti ganti dari berbagai organisasi termasuk cendekiawan atau dari yang berlatar belakang militer.
Sejarah pendirian Kemenag yang dicanangkan untuk berkhidmat bagi semua agama termasuk umat Islam secara keseluruhan. Pembentukan Kemenag dimulai dari usul Muhammad Yamin dalam Sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945.
Saat itu Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yaitu yang berhubungan dengan agama. “Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri. Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama”.
Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Ahad, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI. Salah satu anggota PPKI yang menolak pembentukan Kementerian Agama ialah Mr. Johannes Latuharhary.
Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
Diungkapkan oleh K.H.A. Wahid Hasjim sebagaimana dimuat dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856), “Pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam prakteknya berlainan.”
Lebih lanjut Wahid Hasjim menulis, “Setelah berjalan dari Agustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan) dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.”
Usulan pembentukan Kementerian Agama kembali muncul pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diselenggarakan pada tanggal 25-27 November 1945. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merupakan Parlemen Indonesia periode 1945-1950, sidang pleno dihadiri 224 orang anggota, di antaranya 50 orang dari luar Jawa (utusan Komite Nasional Daerah). Sidang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir dengan agenda membicarakan laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan/Ketua/Wakil Ketua BP KNIP yang baru dan tentang jalannya pemerintahan.
Dalam sidang pleno KNIP tersebut usulan pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Mereka adalah anggota KNI dari partai politik Masyumi. Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy, utusan KNI Banyumas mengusulkan, “Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri”.
Usulan anggota KNI Banyumas mendapat dukungan dari anggota KNIP khususnya dari partai Masyumi, di antaranya Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo. Secara aklamasi sidang KNIP menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama. Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta akan hal itu. Bung Hatta langsung berdiri dan mengatakan, “Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.” Pada mulanya terjadi diskusi apakah kementerian itu dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama. Tetapi akhirnya diputuskan nama Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Maksud dan tujuan membentuk Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis berada di tangan seorang menteri.
Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.
Rasjidi saat itu adalah menteri tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara (menggantikan K.H. A. Wahid Hasjim), Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Kutipan transkripsi pidato Menteri Agama H.M. Rasjidi yang mempunyai nilai sejarah, tersebut diucapkan pada Jumat malam, 4 Januari 1946. Pidato pertama Menteri Agama tersebut dimuat oleh Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta tanggal 5 Januari 1946.[]