Nihilis di Era Tuhan Harta Benda
Oleh: Fikri Mahbub
PENCARIAN makna kehidupan manusia menjadi kausa pembahasan di setiap generasi berganti. Sebagai entitas yang bermukim di bumi, manusia dibekali dengan rasio yang membuatnya terus-menerus mempertanyakan hal serupa. Untuk apa dia hidup, untuk apa dirinya tinggal di muka bumi, untuk apa dan untuk apa yang lain. Sekumpulan pertanyaan yang beberapa akan tetap menjadi misteri.
Modern ini manusia merubah sudut pandang terhadap dirinya, mereka hanya menjadikan dirinya sebagai objek dan angka dalam berbagai lini kehidupan.
Memasuki abad ke 19 kemudian muncul diskursus Nihilisme yang sebagian besar diambil dari krisis nihilisme Nietzschean yang di kemudian hari muncul dua konsep besar Nihilisme. Dua ide pokok itu penghancuran nilai-nilai yang lebih tinggi dan penentangan terhadap afirmasi hidup.
Sederhananya aliran ini menolak atau memandang ketiadaan arti terhadap nilai-nilai objektif, tujuan hidup, bahkan makna yang bersifat inheren dalam kehidupan manusia.
Sebagian kalangan juga menggambarkan Nihilisme merupakan suasana umum keputusasaan pada ketidakberartian eksistensi atau menggambarkan kesewenang-wenangan dalam prinsip-prinsip yang dipegang manusia dan lembaga-lembaga sosialnya.
Meski aliran ini sebenarnya dikenal lebih dulu melalui pemikiran era Yunani kuno, terutama para Shopist yang telah mengajukan tiga hal fundamental untuk menanyakan arti kehidupan, yang diantaranya kebenaran objektif yang bersifat mustahil dalam kehidupan. Jika pun ada itu hanya bersifat abstrak. Setidaknya itu bibit diskursus ini menabur benih meski selanjutnya Friedrich Nietzsche membangun konstruksi pemikiran ini dengan karyanya yang bisa kita lihat di ’Thus Spoke Zarathustra’ dan ’Beyond Good and Evil’.
Implememntasi Nihilisme Dunia Baru
Memasuki dunia yang relatif baru, manusia diperkenalkan oleh kemajuan tekhnologi yang berorientasi pada penuhanan harta benda. Sebuah sisi pemikiran dan keinginan yang menjadi pemberontak baru bagi Nihilistik. Sistem yang memaksa manusia untuk memiliki dan mengamini jalan kehidupan yang telah diatur oleh beberapa kalangan.
Termasuk menafikan sisi moralitas dalam kehidupan yang baru-baru ini kian menjamur seperti korupsi, perang, dan kejahatan kemanusiaan yang lain untuk sekedar memenuhi ambisi kelompok yang sedang dibela.
Sebagian mungkin akan naif mengaggap manusia sedang memperaktikkan Nihilisme yang tidak mengenal moralitas dalam kehidupan dengan membunuh satu diantara yang lain. Mencuri guna memperkaya diri sendiri meski di atas kelaparan orang lain.
Kemudian tindakan itu muncul pertanyaan, apakah moralitas masih relevan dan memiliki arti bagi seorang Nihilis? Dalam pandangan Nietzsche menjadi nihilis bukan berarti bahwa kita tidak dapat memiliki moralitas sama sekali, tetapi kitalah yang harus menciptakan moralitas kita sendiri berdasarkan pada kehendak kuat individu.
Namun tawaran pemikiran Nietzsche ini bukannya tanpa celah, pandangan Nietzsche dapat mengarah pada kesukaran dan apatisme dalam menetapkan dan menerapkan dasar etika yang konsisten dan dapat diterima oleh masyarakat, serta dapat berpotensi pada pelanggaran akan hak-hak orang lain.
Di lain sisi, pengemuka Absurditas, Albert Camus menawarkan pendekatan yang relatif berbeda. Baginya walaupun kehidupan tidak memiliki makna yang inheren, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral dan harus menjunjung etika dalam menciptakan makna yang subjektif. Menurut Camus walaupun nihilisme mengakui kehampaan eksistensi bukan berarti ia dapat menghapus tanggung jawab moral manusia untuk bertindak secara etis.@
*) Praktisi Hukum dan Pengamat Sosial