“Nusantara” dan Kolonisasi Tradisi Budaya Jawa oleh Orang Belanda
Oleh: Arief Gunawan
KENAPA Muhammad Yamin yang Urang Awak mengagungkan Nusantara, Majapahit, dan Gajah Mada, serta kejayaan kerajaan-kerajaan di masa lalu?
Karena untuk argumentasi sejarah bahwa negeri ini bukan ciptaan Belanda, dan memiliki akar historis yang sangat panjang.
Kejayaan kerajaan-kerajaan di masa lalu dipakainya sebagai alat untuk memperkuat basis legitimasi bagi kehadiran negara Republik Indonesia.
Meski kata “Nusantara” sendiri yang konon ada di Sumpah Palapa Gajah Mada banyak diragukan kebenarannya oleh sebagian sejarawan, berkaitan dengan sumber-sumber tertulis yang menjadi rujukan otentiknya.
Sejarawan Adrian B Lapian mengutip Nusantara dari Negarakertagama.
Menurutnya, Nusantara dibagi empat, yaitu: Tanah Melayu, Pulau Tanjungpura, Sakahawan Pahang, dan Sawetan Ikanang Tanah Jawa (Negeri-negeri di Sebelah Timur Pulau Jawa).
Sedang WS Rendra berkata Nusantara tiada lain Jawanisasi. Sumpah Palapa baginya sumpah invasi.
Lemahnya sumber-sumber tertulis mengenai otentikasi “Nusantara” sangat lumrah terjadi karena narasi tradisional sejarah Jawa, terutama Jawa Kuno, termasuk Babad Tanah Jawa misalnya, lebih banyak berdasarkan mitos dan legenda. Sehingga seperti dikatakan Javanolog Hermanus Johannes De Graaf, sulit dibuktikan kebenarannya.
Ilmu Javanologi sendiri, yaitu ilmu tentang budaya dan sejarah Jawa, baru lahir pada abad ke-19, saat berakhirnya Perang Jawa tahun 1830.
Ilmu ini muncul karena pemerintah kolonial Belanda saat itu mengeluarkan kebijakan baru yang mengharuskan para pegawai Belanda yang bekerja di Hindia Belanda memiliki kecakapan berkomunikasi dalam bahasa Jawa agar lebih dekat dengan para pegawai bumiputera.
Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan di Tanah Jawa selama 40 tahun (1830-1870) sangat membutuhkan hal ini.
Pemerintah kolonial Belanda dengan riset dan biaya besar kemudian mencetak para ahli budaya dan ahli sejarah Jawa berkebangsaan Belanda yang mahir berbahasa Jawa dan memahami berbagai hal tentang Jawa.
Untuk itu mereka mendirikan Instituut Vor Het Javaansche Taal atau Lembaga Bahasa Jawa, di Surakarta (Solo).
Menurut sejarawan Takashi Shiraishi, pada dekade 1840 lembaga ini digantikan oleh Royal Academy yang didirikan di Delft, Belanda.
Lalu Universitas Leiden mengembangkannya menjadi studi tentang Jawa yang disebut Javanologi.
Para Javanolog Belanda inilah yang kemudian mempelajari kesusastraan, bahasa, dan sejarah Jawa Kuno secara mendalam, yang sebelumnya pengetahuan-pengetahuan ini telah lama menghilang di kalangan orang Jawa.
Para Javanolog Belanda ini, menurut Takashi Shiraishi, mengembalikan tradisi Jawa Kuno, dan karena studi bahasa Jawa terpusat di Surakarta (Solo) Kesunanan memperoleh pengakuan dari Belanda sebagai pemangku tradisi Jawa sekaligus pengakuan terhadap legitimasi budaya.
Padahal sebenarnya budaya dan karakter manusia Jawa sangat heterogen. Mencakup dialek, logat, watak, kesenian, dan sebagainya. Secara demografi karakternya berbeda-beda antara masyarakat Jawa pesisir dan Jawa pedalaman.
“Javanolog Belanda dengan minat besar terhadap bahasa Jawa Kuno yang dilengkapi dana, metode, serta lembaga yang sangat kuat segera membeberkan dangkalnya pemahaman orang Jawa terpelajar tentang tradisi Jawa Kuno,” tulis Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak, Radikalisme di Jawa 1912-1926.
Menurutnya, para Javanolog Belandalah yang menemukan, mengembalikan, dan membentuk serta memberikan makna terhadap masa lalu Jawa. Termasuk interpretasi tentang “Nusantara”.
“Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus membaca karya-karya Javanolog Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda, dan jika mungkin melalui pendidikan Javanologi di negeri Belanda,” lanjut Takashi Shiraishi.
Studi Javanologi di Universitas Leiden kemudian menghasilkan para sarjana Javanologi yang berasal dari kalangan bumiputera, antara lain Profesor Prijono ahli filologi Jawa, kader intelek Partai Murba yang pernah menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, Profesor Tjan Tjoe Siem ahli budaya dan sastra Jawa Kuno, dan yang paling terkemuka ialah Profesor Poerbatjaraka.
Suwardi Suryaningrat yang mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara merupakan ningrat terdidik dari Keraton Pakualaman, Jogja, meski banyak yang menyebut ia tokoh yang paling sering menggunakan istilah Nusantara, ia anti feodalisme. Ki Hadjar Dewantara berarti “lelaki yang mengajar di antara dewa-dewa”. Konon, merupakan satire dari sikap anti feodalnya.
Dalam perkembangannya kemudian istilah “Nusantara” sendiri tidak populer di kalangan para tokoh pergerakan kemerdekaan yang sangat pluralistik, karena makna konotatifnya yang terlampau Jawasentris.
Mereka kemudian lebih memilih “Indonesia” yang merupakan istilah etnografi dan demografi yang sudah banyak digunakan oleh para ilmuwan Belanda di Fakultas Indologi, Leiden, sejak akhir abad 19.
Menurut sejarawan John Ingleson, kata “Indonesia” untuk pertamakali digunakan oleh mahasiswa Indonesia yang tergabung di dalam Perhimpunan Indonesia, di negeri Belanda, pada awal 1920-an, dengan slogan radikal: Indonesia Merdeka, dari slogan sebelumnya yang terkesan lebih lunak, Indie Los Van Nederland (Hindia Belanda Lepas dari Belanda).
Jika merujuk kepada sumber “sejarah resmi” yaitu narasi umum seperti yang banyak dibaca orang selama ini tentang Nusantara, pemberian nama “Nusantara” kepada IKN (Ibu Kota Negara) baru sebenarnya adalah sebuah history misfunction.
Karena Nusantara adalah nama untuk menunjukkan kawasan luas lautan yang menghubungkan pulau-pulau, namun oleh rezim penguasa saat ini direduksi menjadi nama kota, yang notabene pembangunannya tidak paralel dengan kehendak dan kepentingan rakyat banyak. Sehingga IKN ini berpotensi, pertama, menjadi kota hantu, dan kedua menjadi ibukota Beijing baru.
Tentang ini tokoh nasional Dr Rizal Ramli antara lain telah memperingatkan pemindahan ibukota hanya akan menghabiskan waktu.
Panelis ahli bidang ekonomi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini menunjuk contoh India, Brazil, dan beberapa negara yang dinilai gagal dalam memindahkan ibukota.
Brazilian City misalnya, kini hanya simbolik belaka, sedangkan aktivitas tetap berjalan di ibukota lama, Rio de Jeneiro. Lantaran jarak Rio de Jeneiro dengan Brazilian City sekitar 6 jam perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang. Ini kurang lebih tak jauh berbeda dengan jarak DKI Jakarta dengan IKN baru.
Hal lainnya yang menjadi pertanyaan siapa yang akan tinggal di IKN baru. Menurut Rizal Ramli, pegawai negeri dengan gaji pas-pasan atau rakyat biasa pasti akan berat untuk pindah ke IKN baru. Kecuali para pejabat korup.
Selain itu ia juga menyoroti anggaran pembangunan IKN baru yang sangat janggal, antara lain pembiayaan pembangunannya bersumber dari hasil penjualan atau penyewaan gedung-gedung milik negara yang berada di pusat ibukota Jakarta, seperti yang ada di kawasan Monas, Jalan Medan Merdeka, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, dan sekitarnya. Selain menggunakan pula dana dari APBN yang berasal dari program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).
Pembangunan IKN menurut Rizal Ramli tidak menarik perhatian perusahaan real estate swasta di dalam negeri.
“Kalau perusahaan-perusahaan real estate besar, tak akan mau bermain real estate di sana. Kecuali dipaksa,” tandasnya.
Ia menuturkan, kebanyakan perusahaan real estate dalam negeri cenderung memilih membangun kota-kota satelit baru di Pulau Jawa karena pertimbangan pangsa pasar.
“Yang tertarik untuk membangun di IKN baru adalah BUMN China. Mereka beli tanah di sana, bangun ibu kota baru. Lalu siapa penghuninya?” ujar Rizal Ramli.
“Namanya ibukota baru, tapi ibukota Beijing baru. Bukan ibukota Republik Indonesia baru,” tegasnya.
Demikianlah yang terjadi, pemakaian kata “Nusantara” untuk IKN baru bukan tidak mungkin akan bernasib sama seperti jargon-jargon kamuflase belaka, yang jauh dari kenyataan kepentingan rakyat banyak, seperti halnya jargon kamuflase Revolusi Mental, Nawa Cita, Poros Maritim, Tol Laut, Tri Sakti, dan sebagainya.
Di masa sulit perekonomian rakyat yang kian menjadi-jadi, dan timbul-tenggelamnnya teror Covid, hutang yang menumpuk, korupsi yang kian mengganas, dan praktek nepotisme yang semakin tidak tahu malu, hingga harga-harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, pembangunan IKN baru jelas bukan prioritas.
Namun apa boleh buat penguasa hari ini bagaikan pepatah Belanda:
Praat Als Een Kip Zonder Kop. Berbicara seperti ayam tanpa kepala.
Jauh dari merasakan apa yang sebenarnya tersimpan di kalbu rakyat. Ngomong tidak ada isinya. Membual dengan janji-janji, yang ternyata banyak bohongnya.[]
*) Penulis adalah pemerhati sejarah