Mengapa Arca Joko Dolog Ada di Surabaya?
Jika prasasti Joko Dolog ada di kota Surabaya. Prasasti Pucangan kini berada di kota Calcutta, India dan disana namanya diubah menjadi Calcutta Stone (Prasasti Kalkuta). Kok bisa?
REKAYOREK.ID Arca Joko Dolog menjadi bagian dari lansekap taman, yang dulu di era pemerintahan Hindia Belanda dikenal dengan nama Kruisenpark. Kini bernama Taman Apsari. Sementara sekarang, arca Joko Dolog berada di sebuah taman kecil di selatan Taman Apsari.
Arca Joko Dolog adalah perwujudan Raja Kertanegara, Raja terakhir Singasari yang wafat karena terbunuh dalam pemberontakan Jayakatwang pada 1292.
Semasa hidupnya, Raja Kertanegara memeluk ajaran Siwa-Budha. Ia diperabukan di Candi Jawi, Pandaan yang secara fisik menjadi perpaduan Siwa Budha. Candi nya bersifat Hindu dan mahkotanya berupa stupa Budha. Karenanya arca Joko Dolog sendiri berbentuk arca Budha Akshobya.
Arca ini berasal dari sebuah kandang gajah di desa Bejijong, Trowulan kabupaten Mojokerto, yang kemudian dibawa oleh residen Baron A.M. Th. De Salis ke Surabaya pada 1817. Tujuannya hendak dibawa ke luar negeri tapi gagal dan pada akhirnya menjadi koleksi museum kota, Stadelijk Historische Museum van Soerabaia, yang letaknya di samping istana Simpang (Huiz van Simpang), yang sekarang menjadi gedung negara Grahadi.
Adalah GH von Faber, yang mengoleksi benda benda bersejarah, termasuk benda benda arkeologis seperti acra Joko Dolog dan arca arca lainnya di museum yang ia dirikan di samping Huiz van Simpang pada 1937. Sekarang lokasi bekas museum itu menjadi sekolah SMA Trimurti.
Arca Joko Dolog menjadi benda otentik, yang mendukung tulisan tulisan Von Faber tentang sejarah lahirnya sebuah kota (Surabaya). Buku itu bernama “Er Werd Een Stad Geboren” (1953). Buku ini berbahasa Belanda dan belum banyak diketahui oleh banyak kalangan, termasuk oleh pemerintah Kota Surabaya.
Padahal, buku ini sangat penting karena isinya menyajikan sejarah awal mula peradaban Surabaya. Diantaranya adalah mengisahkan tokoh Ranggawuni (Raja Wisnuwardhana) dan Raja Kertanegara. Ranggawuni adalah ayah dari dua putera beda ibu dari: Kertanegara (si bungsu dari ibu permaisuri) dan Kelana Baya (si sulung dari ibu selir).
Adalah Kertanegara yang kemudian menjadi pewaris kerajaan Singasari karena dari ibu permaisuri. Pada tahun 1270 M di masa pemerintahannya terjadi pemberontakan Kanuruhan, yang dilakukan oleh saudara sulung Kelana Baya yang berkedudukan di Glagah Arum (kawasan Pandean Peneleh di Delta sungai).
Kartanegara beserta prajurit setianya berhasil menumpas pemerontakan itu, yang selanjutnya tahun itu, 1270 M, dijadikan sebagai penanda kebebasan dan lahirnya sebuah “kota” (Er Werd Een Stad Geboren).
Kemudian pada 1275 M Kertanegara membuka wilayah permukiman baru di utara Glagah Arum (= Pandean Pinilih), tepatnya di lingkungan Pengampon – Semut – Bunguran. Kawasan yang dibatasi oleh sungai di sisi barat (Kalimas), sungai di sisi timur (Pegirian) serta saluran di selatan (menjadi jl Jagalan) dan saluran juga di sisi utara (jl Stasiun Kota), dinamakan Curabhaya.
Ketika arca Joko Dolog sebagai perwujudan Raja Kertanegara berada di Surabaya dan menjadi koleksi museum sejarah kota, Stadelijk Historische Museum van Soerabaia, dapat diduga bahwa arca Joko Dolog sebagai perwujudan Raja Kertanegara ini digunakan sebagai perlambang pendiri Curabhaya {Faber).
Setidaknya itulah pesan yang dapat disimpulkan dari buku karya GH Von Faber yang berjudul “Er Werd Een Stad Geboren”, yang artinya Lahirnya Sebuah kota.
Prasasti Joko Dolog dan Pemulangan Prasasti Pucangan
Prasasti Wurare atau Joko Dolog/Kertanegara dan Prasasti Pucangan adalah produk arkeologis yang berbeda jaman. Prasasti Joko Dolog dibuat pada 1289 M di era Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Sementara Prasasti Pucangan dibuat pada 1042 M di era pemerintahan Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Keduanya terpaut 247 tahun.
Jika prasasti Joko Dolog ada di kota Surabaya. Prasasti Pucangan kini berada di kota Calcutta, India dan disana namanya diubah menjadi Calcutta Stone (Prasasti Kalkuta). Kok bisa?
Meski terpisah jauh dan berbeda jaman, namun keduanya ada keterikatan. Ada penyebutan pada prasasti Joko Dolog yang terkait dengan leluhur yang dikisahkan pada prasasti Pucangan. Leluhur itu adalah Raja Airlangga yang meminta Mpu Barada untuk membelah wilayahnya menjadi dua bagi kedua anaknya.
Prasasti Kertanegara pada baris 5-6 berbunyi “Beliaulah yang dulu membagi dua pulau Jawa yang banyak mempunyai tambang permata, dengan air kendi dari langit, karena dua orang anak Raja (Airlangga) bermusuh musuhan menghendaki perjuangan, yaitu tanah yang bernama Jenggala dan Panjalu, terkenal dalam cerita naluri” (Hari Jadi Kota Surabaya: 682 Tahun Sura ing Bayar) .
Sementara kisah kejayaan Raja Airlangga dikisahkan pada prasasti Pucangan, yang pada akhirnya ia harus membagi wilayahnya menjadi dua (Panjalu dan Jenggala) untuk kedua puteranya.
Keterikatan antara kedua prasasti itu tidak hanya menarik perhatian pegiat sejarah, sejarawan dan arkeolog Indonesia, terlebih dari Jawa Timur pada masa sekarang. Keterikatan keduanya ini juga sudah menjadi perhatian pemerhati dan pegiat sejarah dan budaya kolonialist pada masa lalu.
Apalagi di Prasasti Joko Dolog (1289) ada pesan penyatuan dua wilayah yang terbelah, yakni Panjalu dan Jenggala. Pada baris 17 berbunyi: “untuk kebahagiaan segala mahluk, terutama sekali senantiasa bagi Raja, dan selanjutnya dengan puteranya, cucunya dan isteri, karena dialah (Kertanegara) yang melaksanakan persatuan tanah-air”.
Di era pemerintahan Stamford Rafless sebagai Letnan Gubernur pemerintahan kolonial Inggris di Batavia pada 1812, ia membawa prasasti Pucangan dari tempat asalnya di Jawa Timur untuk diserahkan kepada atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto. Kemudian prasasti itu lalu disimpan dan menjadi bagian dari rumah keluarga Minto di Kolkata. Selanjutnya dikenal dengan nama Calcutta Stone.
Kedua prasasti: Prasasti Joko Dolog dan Prasasti Pucangan, sama sama dari Jawa Timur. Prasasti Pucangan pada 1812 diambil dari Pucangan, sebuah tempat pertapaan di sekitar Gunung Pucangan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sementara, prasasti Joko Dolog/Kertanegara diambil dari Bejinjong, Trowulan, kabupaten Mojokerto pada 1817.
Untungnya Prasasti Joko Dolog gagal dibawa ke luar negeri. Sosok prasasti Joko Dolog atau Kertanegara terlalu berat diangkut dengan perahu dari sungai Kalimas di belakang gedung negara Grahadi kala itu. Karena gagal diangkut, maka arca yang berbentuk patung Budha ini ditempatkan di atas gundukan tanah di lahan taman kecil di selatan Taman Kruisenpark (kini Taman Apsari).
Mengingat pentingnya Prasasti Pucangan yang kini berada di Calcuta, India, maka perlu ada upaya upaya membawa pulang prasasti itu dari India. Sehingga prasasti Pucangan dan Joko Dolog bisa bersanding.[tamat/nanang]