Surabaya Pernah Punya Alun Alun
Dalam buku Oud Soerabaja oleh GH Von Faber dideskripsikan bahwa di lokasi yang sekarang sudah menjadi kawasan Tugu Pahlawan adalah kawasan alun alun Surabaya.
REKAYOREK.ID Sejarah adalah rekaman fakta yang terjadi pada masa lalu. Pun fakta. Yang terjadi pada masa kini, kelak akan menjadi catatan sejarah pada masa depan.
Fakta bisa jadi suatu peristiwa baik dan buruk. Karenanya untuk menorehkan sejarah baik, maka peristiwanya hendaknya yang baik baik, bukan yang buruk buruk, karena kelak akan dikenang di masa depan.
Bagaimana dengan, jika saat ini ada orang yang tidak tahu atau bahkan ketika tidak memahami suatu peristiwa sejarah. Maka, harus ada good Will untuk membuka fakta sejarah itu.
Tentu pihak yang tahu harus berani berbagi cerita tentang kebenaran sejarah (fakta masa lalu) itu.
“Kebenaran itu berat, oleh karena itu hanya sedikit yang peduli untuk membawanya,” demikian bunyi sebuah kata kata bijak. Maka jangan pernah berhenti untuk berbagi kebaikan dan kebenaran.
Kebenaran akan fakta, misalnya bahwa Surabaya pernah punya alun alun klasik dan tradisional. Keberadaan alun alun Surabaya adalah fakta yang nyata. Tapi itu dulu.
Sekarang Surabaya tidak punya alun alun, sebagaimana sebuah konsep tata kota Jawa klasik. Yaitu yang terdiri dari sebuah lapangan luas berumput dengan sebuah pendopo (pusat pemerintahan) dan masjid sebagai tempat ibadah. Struktur Pendopo sebagai pusat pemerintahan, alun alun dan masjid melambangkan hubungan manusia dengan manusia (Hablumminannas) dan hubungan manusia dengan Tuhan (Habblumminnallah).
Sebagai bukti bahwa Surabaya pernah memiliki struktur tata kota tradisional dapat dilihat bekasnya di kawasan Tugu Pahlawan. Secara fisik yang dapat dilihat adalah pada lapangan luas di Tugu Pahlawan. Secara literasi dapat disimak melalui beberapa sumber sejarah.
Pada peta 1678 yang dimuat dalam buku “Soerabaja 1900-1950” oleh Asia Maior dan peta 1677 dalam buku Oud Soerabaja oleh GH Von Faber, dideskripsikan bahwa di lokasi yang sekarang sudah menjadi kawasan Tugu Pahlawan adalah kawasan alun alun Surabaya.
Masih dalam buku Asia Maior, dalam keterangan penggambaran kawasan alun alun yang lebih lengkap, dideskripsikan bahwa selain ada lapangan alun alun, di sana juga ada pendopo Kasepuhan (Eerst Regent) dan pendopo Kanoman (Twee Regent) termasuk terdapat sebuah masjid.
Gambar tata kota Jawa klasik ini dibuat oleh pemerintah kolonial. Bahkan di era kolonial, mereka masih mempertahankan tata klasik itu sebagai bagian dari struktur pemerintahan pada saat itu dimana selain terdapat susunan pemerintahan eropa (Europessbestuur), juga ada susunan pemerintahan lokal (inlanderbestuur).
Maka, alun alun sebagai bagian dari tata kota Jawa klasik masih dipertahankan di era kolonial. Bahkan nama jalan, yang memotong lapangan alun alun, dinamakan jalan alun alun (Aloen Aloen straat), kini telah berubah menjadi nama jalan Pahlawan.
Selain itu nama jalan yang berada di depan salah satu kediaman bupati, dinamakan Regentstraat yang sekarang berubah menjadi Jalan Kebon Rojo.
Alun alun yang umumnya befungsi sebagai publik space di era kolonial dipakai sebagai Taman Kota yang disebut Stadtuin. Taman Kota ini persis berada di depan Kediaman Bupati di Kebon Rojo. Selanjutnya bagian dari Alun Alun berubah menjadi Taman Kota (Stadtuin) dan kini menjadi bangunan kantor Bank Indonesia.
Sementara Tugu Pahlawan, yang dulunya adalah lapangan alun alun menjadi satu lapangan dengan Stadtuin. Maka dapat dibayangkan betapa luas Alun Alun Surabaya kala itu. Sehingga di satu Lapangan luas ini terdapat dua pendopo: Pendopo Kasepuhan dan Pendopo Kanoman.
Satu pendopo berada di lokasi Rumah Bupati di Kebon Rojo (utara alun alun) dan satu pendopo lainnya di jalan Alun Alun yang sekarang berdiri kantor Gubernuran Jatim (timur Alun alun).
Tidak hanya bukti letak pendopo dan alun alun nya, kuburan para bupati Surabaya juga masih dapat ditemui yang letaknya tidak jauh dari kawasan tata kota klasik Surabaya. Terdapat di tiga lokasi dimana makam para Bupati Surabaya dikuburkan. Yaitu di komplek pemakaman Boto Putih, Pegirian; Bibis, Bongkaran dan Ampel.
Seiring dengan pergantian waktu dari era klasik ke era Kolonial memang sudah terjadi banyak perubahan, termasuk perubahan wajah di kawasan alun alun Surabaya. Diantaranya perubahan pada kediaman kediaman para bupati, baik Kasepuhan dan Kanoman, yang selanjutnya berubah menjadi fungsi fungsi untuk mendukung pemerintahan Hindia Belanda di Surabaya.
Misalnya kediaman Bupati Surabaya di Kebon Rojo berubah menjadi sekolah Hurger Burger School (HBS) dan kediaman Bupati di Aloon Aloon Straat menjadi kantor Gubernur Oost Java (kini Gubernuran Jatim). Sementara di lapangan aloon aloon Surabaya berdiri kantor pengadilan Raad van Justitie.
Meski terjadi perubahan bentuk, tapi di sekitar alun alun Surabaya tidak terjadi perubahan fungsi. Kawasan alun alun masih menjadi jujugan sosialisasi masa. Suasana publik ini sebagaimana terekam dalam foto foto yang dijepret pada era 1860 ke atas. Pada salah satu foto dari tahun 1865 tergambar kerumunan masa di depan Lapangan Raad van Justitie dan di depan gedung sebelum dibangun kantor Gubernuran.
Kiranya ramainya alun alun sebelum era kolonial juga seperti itu. Alun alun Surabaya sudah menjadi jujugan masyarakat, yang tidak hanya mencari kesenangan dan hiburan (Hablumminannas) tapi juga datang ke masjid untuk hubungan spiritual (habblumminnallah).
Hingga sekarang, di jalan Tembaan, yang kala itu tidak jauh dari masjid alun alun, terdapat komplek kuburan kuno. Sekarang komplek ini dikenal dengan kuburan Kiai Sedo Masjid.
Sekarang bekas komplek Alun Alun Surabaya ini dikenal dengan nama komplek Tugu Pahlawan. Sayangnya, tidak banyak yang mensosialisasikan bahwa kawasan ini adalah kawasan eks Alun Alun Surabaya.
Padahal data data (buku maupun foto) yang dibuat pemerintahan kolonial dengan jelas menyebut Alun Alun Surabaya serta memberi nama jalan Alun Alun Straat sebagai bukti pernah adanya alun alun.@Nanang