Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #45

Bisikan Gaib 

Oleh: Jendra Wiswara

Hari itu sebenarnya aku ingin menginap di Masjid Demak, karena parkir motor hanya sampai pukul sembilan malam, maka rencanaku menginap ke masjid Demak kubatalkan. Atas usul seorang yang kutemui di Masjid Demak, rute berikutnya kuputuskan menginap ke Kadilangu, tempat peristirahat Sunan Kalijaga. Tidak sulit mencari makam Sunan Kalijaga. Letaknya sekitar 7 kilometer ke arah selatan dari Demak.

Seperti umumnya makam-makam wali, di makam Sunan Kalijaga terdapat orang-orang berjualan, dari mulai buku-buku bacaan Islami, makanan hingga pernak-pernik ibadah seperti tasbih, sajadah, kopiah, dan lain-lain. Sayang, dari semua dagangan itu tiada satu pun yang mengesaniku. Barangkali karena uangku pas-pasan sehingga tidak ada minat untuk membelinya sebagai oleh-oleh.

Tiba di makam Sunan Kalijaga rasa kantuk dan lelah mulai menyerangku. Satu-satunya cara menghilangkannya adalah merebahkan badan untuk kemudian tidur. Motor segera kuparkir. Pemilik parkiran menyambutku dengan senyum ramah, mungkin karena lahannya sebentar lagi bakal laku. Lokasi itu dibuka 24 jam, tidak seperti Masjid Demak. Aku pun melangkah menuju lokasi makam. Jarak dari parkir hanya sekitar 30 meter.

Lokasi makam dikelilingi pagar. Seandainya diperkenankan melompat paling hanya berjarak 10 meter. Terpaksa aku mengambil jalan memutar. Tampak sebuah masjid berdiri di samping jalan. Di depannya tertulis Masjid Sunan Kalijaga.

Kulewati saja, lagipula di masjid dilarang tidur. Lebih baik beristirahat di dalam makam, lebih tenang.

Memasuki makam sandal harus dicopot. Pengurusnya benar-benar menjaga kebersihan serta kesuciannya. Hanya satu kendalanya pengunjung asing tidak diperkenankan langsung memasuki lokasi makam, melainkan harus mengisi buku daftar serta mengisi uang kas. Bukan aku saja, beberapa orang yang hendak berziarah juga dihentikan untuk mengisi buku perijinan.

Kekhawatiranku lenyap segera setelah aku jatuh tertidur di lantai pendopo sebelah timur makam Sunan Kalijaga. Biasanya tempat ini digunakan para peziarah untuk beristirahat. Aku pun tidur dengan beralaskan lantai dan berbantal ransel.

Hal ini sudah sering kulakoni, bahkan beberapa di antaranya membuatku masuk angin. Beruntung kali ini angin tidak memasuki ragaku, sehingga walau cuma tidur dua jam aku masih sempat merasakan kebugaran. Aku bagai batang kayu, sama sekali tidak bergerak. Pulas sepulas-pulasnya. Pun sewaktu bangun, matahari sore menyinariku dari ufuk barat. Kulihat ransel belum terbuka berarti masih aman.

Baru kali ini ransel kubuat sandaran di kepala, biasanya tidak. Mungkin karena di dalamnya berisi uang sisa-sisa perjalanan. Dasar kau, mata duitan. Belum kaya sudah bingung memikirkan uang, bagaimana kalau nanti Allah memberimu segudang uang, bisa-bisa lima tahun tidak dapat tidur pulas.

Saat itu juga aku memutuskan untuk mengakhiri kekhawatiranku yang berlebih-lebihan. Kesunyian yang mencekam dan kelesuan jiwa yang menggelisahkan lebih mengkhawatirkan ketimbang harus mengurusi masalah uang di ransel. Aku merasa tak mampu membuat sebuah keputusan. Namun aku yakin bahwa betapapun buruknya situasi, selalu ada jalan untuk berharap dapat kuatasi.

Namun saat aku menginjakkan kaki di masjid Sunan Kalijaga, ada suatu sensasi jiwa yang luar biasa. Sebelum menginjak magrib, aku duduk di dalam masjid sambil membuka Alquran dan membaca dalam hati. Dari jiwa, aku sudah berusaha menjernihkan pikiran bahwa yang kualami bukanlah angkara, dengki, maupun murka.

Kucoba tepiskan semua gangguan yang ada dengan menyebut asma Allah. Tetapi sesuatu itu tetap menganggu. Adapun pertarungan-pertarungan kotor yang biasa kutemui untuk bisa bertahan hidup menjadi tidak lagi mengejutkan. Sebaliknya yang satu ini justru mengejutkanku. Aku terlibat pada sebuah konflik langsung antara zaman baru dan kuno. Gambaran itu seakan terperinci dengan jelas.

Dengan mata telanjang aku bisa melihat keberlangsungan hidup orang-orang yang sudah mati dengan sebenar-benarnya. Tanpa sanggup menolaknya, aku menerima dengan segala keterbukaan dan kenaifan. Tentunya ini sudah berada di luar nalar dan kemanusiaanku. Tuhan dan humanismenya seakan mempermainkan dengan sederhana dan optimistik.

Kututup Alquran dan meletakkan kembali pada tempatnya. Sesuatu yang tak digadang-gadang tiba-tiba muncul dalam sebuah rupa tanpa wujud, perlahan dia menampakkan diri di hadapanku. Tiada suatu kata keluar dari bibirnya. Cuma senyuman dan pandangan anehnya membikin bulu kudu berdiri. Tanpa dikomando, mendadak aku menunduk di hadapannya. Segera setelah itu aku berlalu dari hadapannya, meninggalkan masjid dan menuju lokasi makam.

Saat keluar masjid aku tidak bisa bercerita atau membayang-bayangkan. Tiang-tiang jati yang menjadi pilar di mesjid itu sepertinya terus memanggil-manggilku, tapi tak kuhiraukan. Aku menoleh ke belakang, melihatnya sekali lalu meneruskan lagi. Entahlah kenapa aku melakukan hal itu. Siapakah dia? Dan alam, punya rahasianya sendiri.

Aku bergegas ke makam Sunan Kalijaga. Sebelumnya aku sempat bermalas-malasan di ponten–kamar mandi umum. Setelah membersihkan badan dan berganti pakaian bersih, aku memasuki lokasi makam. Aku sedikit terhibur ketika melihat kompleks makam. Betapa banyak batu nisan berjejeran di sini. Saat itu hari sudah senja. Langit mulai temaram, berteman dengan awan. Suara muadzin dari masjid terdengar memekakkan telinga, menunjukkan tanda waktu magrib. Kurapatkan diri menuju kompleks makam dan sembahyang di dalamnya.

Setelah dzikir sejenak, kuteruskan memasuki makam Sunan Kalijaga. Nampak suasana makam lengang. Kondisi makam aku sendiri tidak tahu, sebab makamnya ditutupi sebuah bangunan terbuat dari kayu dengan ukir-ukiran bercorak jawaisme. Hanya pada waktu-waktu tertentu pintu makam dibuka. Tapi untuk saat ini gemboknya masih disimpan pengurus makam. Tak seorang pun boleh memasukinya.

Bagi peziarah, mereka hanya diperbolehkan berdoa di depan pelataran dimana terdapat nisan-nisan di sekelilingnya. Kesan angker tiada kulihat di sini. Apalagi dengan pancaran cahaya lampu yang benderang, tak pelak makam Sunan Kalijaga jauh dari kesan keramat. Nampak pula puluhan orang berdoa di sebelah utara pintu makam. Mereka serius memanjatkan doa, membaca ayat-ayat suci, bertasbih dan menggeleng-gelengkan kepalanya maju-mundur, kesamping kanan dan kiri, sebagian saja menunduk–mungkin mengantuk.

Aku segera duduk bersila di tempat yang sepi di sebelah timur pintu makam. Aku bingung bagaimana harus memulai. Suara orang-orang berdzikir itu telah menganggu pendengaranku. Lagi-lagi kubaca ayat-ayat yang hanya kuketahui.

Selang lima menit tiba-tiba segerombolan nyamuk-nyamuk nakal menghampiri. Sebagian bertengger pada kedua lenganku, sebagian pada kaki dan tumit, lainnya menempel pada wajah, serta yang tak kalah serunya beberapa berterbangan di seputar daun telinga, membuat suara gaduh dengan dengungan panjang.

Ketika kuusir, nyamuk-nyamuk tersebut berterbangan secara bergerombol, lalu kembali lagi menyerangku. Seperti ada yang mengkomando begini: ayo maju lagi, jangan mundur, serang dia. Mereka datang menghampiriku. Kuusir, terbang lagi dan hinggap lagi.

Anehnya, saat hinggap di pori-pori kulit, tidak satu pun dari mereka yang menggigit. Ada ratusan nyamuk menyerangku, tapi tak kurasakan satu pun gatal atau kesakitan. Melongok pada puluhan peziarah, dari mereka tiada kudapati ‘serangan fajar’ nyamuk-nyamuk bahkan tidak ada sama sekali.

Saat aku sibuk menghalau nyamuk, tiba-tiba sosok rupa tanpa wujud muncul dari depan pintu makam. Sosoknya seorang laki-laki persis seperti yang kutemui di dalam masjid. Kali ini dia terlihat jelas. Penampilannya sangat sederhana. Pakaiannya seperti petani. Celananya biasa saja, hampir-hampir aku tak bisa mengenalinya karena bukan model celana jaman sekarang.

Dia hanya mengenakan udeng di kepalanya. Kuperhatikan sekelilingku, tiada seorang pun yang melihatnya. Berarti cuma aku seorang. Siapa dia, pikirku lagi.

Dengan mimik tersenyum, sosok misterius itu berkata dalam bahasa Jawa memasuki pendalamanku: sampun dangu-dangu ten mriki, ora ono gunane. Nek arep menyang ngendi ndang menyang, ojo mampir-mampir. Ora usah ning Kudus, langsung wae. (jangan lama-lama di sini, tidak ada gunanya. Kalau mau meneruskan tujuan maka secepatnya, jangan ditunda atau mampir-mampir. Tidak perlu mampir ke Kudus, langsung saja).

Setelah itu dia menghilang.

Tujuanku sebenarnya adalah Nganjuk, rumah Si Embah, temanku yang memesan oleh-oleh blangkon. Hanya saja sewaktu hendak mampir di Kadilangu dan Kudus, sosok itu melarangku. Aku tidak tahu siapa dia. Yang jelas daya tariknya sangat luar biasa. Hati ini serasa tentram dan damai. Sosok itu telah menusuk ruang kalbuku.

Mendengarnya berbicara dari hati ke hati bagai menemukan telaga di tengah padang pasir. Yang tidak habis pikir, setelah acara bincang-bincang selesai, untuk kesekian kalinya aku menundukkan kepala di hadapannya. Aku sendiri heran. Saat melakukannya seakan ada kekuatan aneh merasuki ragaku untuk kemudian mendorongku menundukkan kepala padanya. Aku tidak tahu ini pertanda apa. Yang jelas sosok itu begitu besar pengaruhnya, sehingga aku tak bisa membuat sebuah keputusan selain mengikutinya.

Sepuluh menit berada di dalam makam, akhirnya kuputuskan meneruskan perjalanan. Kuangkat kaki dan pergi meninggalkan makam tanpa mengucap salam. Di parkiran motor, tukang parkir kebingungan melihatku.

“Kok cepat amat Den Mas (maksudnya Raden Mas). Katanya mau menginap di Kadilangu?”

“Maaf, Pak, saya tidak bisa berlama-lama di sini.”

“Den Mas mau kemana?”

Aku gusar dengan panggilan tukang parkir tersebut. Kenapa dia memanggilku dengan sebutan Den Mas. Seingatku sebelum masuk makam dia memanggilku: Mas. Tapi mengapa panggilannya berubah. Apa karena aku baru dari makam terus dia mencari cara untuk mengkultuskan para pelanggannya supaya betah berlama-lama di sana. Perasaan tidak begitu, buktinya sewaktu ada peziarah lain baru pulang dan mengambil motornya, tukang parkir itu memanggilnya bapak, mas, atau om. Tapi denganku tidak, dia malah memanggil sapaan lain yang menurutku aneh saja di telinga.

“Den Mas, kok diam?”

“Eh, iya pak, maaf tadi saya sedang melamun,” balasku.

“Kalau Den Mas mau meneruskan perjalanan sebaiknya diteruskan saja, jangan mampir-mampir.” Setelah berbicara begitu si tukang parkir nampak cuek dan meninggalkanku seorang diri.

Ya Allah, kata-kata tukang parkir itu mirip sekali dengan sosok misterius di dalam makam. Mereka seolah tahu apa yang sedang dan akan terjadi padaku. Yah, semoga saja tidak terjadi apa-apa di tengah perjalanan.

Selama dalam perjalanan aku terus memikirkan omongan gaib tersebut. Kalau tujuanku Nganjuk, bila ditempuh dari Kadilangu berarti aku harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Belum lagi hari sudah gelap. Saat itu waktu menunjukkan pukul delapan malam. Aku tidak yakin bakal tiba di Nganjuk dengan selamat.

Kupacu motor meninggalkan Kadilangu. Cuma perjalanan kali ini terasa lebih berat daripada sebelumnya. Seolah-olah ada batu besar membebani raga serta jiwaku. Firasat buruk mengatakan sesuatu bakal menimpaku. Dan bagian terburuk dari perjalanan ini adalah lampu motor rewel lagi, sebentar-sebentar tersendat, macet, mati, lalu hidup lagi.

Saat itu aku sedang melewati Kudus, Pati, Yuwana, dan Rembang. Tahulah bagaimana suasana di sekitar daerah tersebut jika hari menginjak malam. Bila memasuki kota aku tidak terlalu pusing, sebab masih banyak kutemui penerangan jalan. Namun memasuki kabupaten beberapa kali aku harus melewati pertambakan penduduk, tentunya dengan sorot lampu di bawah pas-pasan.

Dan seperti biasa jika dari belakang sebuah mobil hendak menyalip, maka motor segera kupacu sekencang-kencangnya dengan harapan agar dapat mengekori penerangan darinya. Sebaliknya kalau mobil tersebut berlaju dengan kencang meninggalkanku, maka laju motor terpaksa kukurangi bahkan sangat pelan. Entah sudah berapa kali aku harus mengorbankan kelopak mata termasuki debu-debu jalanan. Yang menyebalkan ketika hari kian larut, jalur pantura ini kerap jadi langganan kendaraan-kendaraan roda besar.

Kudus berhasil kulewati. Sewaktu tiba di perempatan, aku ragu antara belok kiri atau kanan. Jika belok kiri aku menuju ke arah makam Sunan Kudus, jika mengambil rute terus atau belok miring ke kanan menuju Pati. Sebenarnya aku sangat ingin mampir ke Kudus hingga Jepara, namun sosok misterius itu kembali membayangi. Sayup-sayup bisikan kata-katanya mengisyaratkan sebuah penegasan bahwa aku dilarang mampir-mampir kecuali dalam keadaan terpaksa.

Akhirnya aku mengambil belok kanan. Sampai jumpa Kudus, dan selamat datang Pati.

Melewati Pati perasaanku jadi ketar-ketir. Mungkin karena hari perlahan menginjak larut. Sementara motor-motor di jalanan kian surut. Jalanan mulai lengang. Yang kudapati hanyalah kendaraan beroda besar melintas di hadapanku.

Dari depan mereka saling memainkan lampu dim. Beberapa bus lebih suka saling menyalip yang nama nyaris membuatku terpelanting terkena getaran anginnya. Lalu truk bermuatan besar juga menyalip dan meninggalkan debu-debu berwarna putih sewaktu terkena sorot lampu. Mata seketika menjadi rabun. Pandangan di depan kabur. Beberapa kali aku terpaksa membuka kaca helm agar dapat melihat antara jalanan dan debu. Yang menyedihkan adalah ketika memasuki jalur Yuwuno. Bledug (debu) di sini sangat memiriskan hati. Pun jalanan aspal berubah rata menjadi tumpukan tanah yang sudah padat.

Kukira tanah ini dulunya bekas tanah tambak atau laut. Memang beberapa bulan lalu jalur Yuwana sempat diterjang banjir hebat. Hujan yang turun berhari-hari menyebabkan rute yang menghubungkan Rembang dan Pati terputus hingga berpuluh-puluh kilometer. Beberapa pengemudi truk terpaksa menunggu berhari-hari hingga air surut. Setelah banjir surut, tak pelak meninggalkan bekas-bekas memilukan.

Hampir sepanjang 20 kilometer jalanan Yuwana tertutupi endhut–lumpur. Hal ini pula yang menyebabkan jalanan beraspal rusak parah. Makanya saat melintasi daerah tersebut, kawasan Yuwana masih belum terusik oleh perbaikan. Tak ayal, beberapa kali aku mengoceh, mengumpat, menyumpahi jalanan dengan kata-kata jorok. Namun siapa yang bakal mendengar, toh umpatanku hanya aku sendiri yang mendengar. Bayangkan saja sepanjang 20 kilometer yang kulihat hanya pemandangan jalan yang rusak parah, belum lagi debu-debu berterbangan kemana-mana menyebabkan nafas sesak.

Seketika pemandangan malam yang pekat berubah bagai di siang hari lantaran debu-debu yang berterbangan terkena sorotan lampu kendaraan. Sementara di kanan-kiri yang nampak olehku hanya tambak dan tambak. Konyol sekali jika sampai terjebak di tengah-tengah. Mampus juga jika sampai banku meletus, sebab taka da tukang tambal ban di sisi jalan.

Beberapa truk sempat berhenti karena mengalami kerusakan: as roda patah, ada juga yang gandengan truk terlepas, lalu roda-rodanya meletus, dan masih banyak lagi. Melewati jalan ini aku terpaksa mengeluarkan jurus pamukas, yakni kesabaran. Aku tidak mempedulikan walau kedua lenganku merasakan ngilu dan kejang-kejang akibat terlalu lama menahan stir motor. Yang jelas aku hanya ingin penderitaan ini segera berakhir.

Sementara hari kian mendekati larut. Kutengok ke belakang dan tiada kudapati satu pun motor selain sorot lampu truk-truk besar. Rupanya aku sedang berkendara sendirian.

Setelah melalui kesabaran–yang menurutku–tingkat tinggi, akhirnya aku berhasil juga melewati jalur Yuwana. Selang 2 jam aku tiba di Rembang. Di malam hari kota ini sedikit mengharu-birukan–setidaknya itulah pemantauanku. Di sepanjang jalan kulihat puluhan warung berjejer bagai truk gandengan. Yang menyedihkan beberapa perempuan berusia belia bertugas sebagai penunggunya. Rata-rata pemilik warung sengaja meletakkan seorang perempuan sebagai upayanya menggaet pelanggan.

Pemandangan ini persis seperti yang kutemui di Tulungagung. Sekiranya eksploitasi seks masih merajai di kawasan pantura ini. Nampak pula seorang perempuan berusia sangat belia–sepantaran anak SMP–sibuk meladeni pelanggan-pelanggannya yang kebanyakan didominasi lelaki berusia remaja dan dewasa. Anehnya mereka sama sekali tidak risih berkumpul dengan para lelaki haus seks tersebut. Bahkan, beberapa perempuan terlihat sedang asyik bercanda gurau dengan lawan jenisnya. Apa mereka tidak sekolah? Begitulah pertanyaan yang muncul dalam benakku.

Hari semakin larut, dan aku kesulitan mencari warung kopi yang bebas dari perempuan-perempuan binal. Hampir semua warung dihuni wanita-wanita muda, dan tentunya dijubeli lelaki hidung belang. Hingga sampailah aku di sebuah warung dimana tiada kutemui penjualnya seorang perempuan. Rupanya aku salah. Dari balik warung malah kudapati tiga orang perempuan berdandan menor keluar dan mendekati. Mereka bertanya, “Pesan apa, Mas?” Tanyanya sopan.

“Kopi saja.” Aku segera duduk dan melepas kain penutup wajah. Kurasakan wajah ini seperti tebal akibat terkena guyuran debu.

Dengan landai dan cukup menggoda perempuan-perempuan tersebut mengiringkanku segelas kopi panas.

“Kopinya, Mas!”

“Terima kasih.” Jawabku.

Mereka tidak membalas melainkan cuma tersenyum manis.

Seorang lelaki setengah tua tiba-tiba duduk di dekatku. Doaku: semoga lelaki ini tidak menawarkan jasa yang neko-neko terhadapku. Terkabul. Ternyata lelaki tersebut sekedar ingin mengetahui tujuan perjalananku. Kukatakan dengan bahasa Jawa yang mudah dipahaminya, bahwa aku sedang dalam perjalanan menuju Nganjuk. Untuk sampai di Nganjuk aku harus berputar melewati Babat menuju Jombang. Hanya saja aku kurang tahu rute, setelah Rembang aku akan bertemu apa? Kata-kataku kemudian dibalas begini, “Mas tidak perlu ke Babat, lewat Tuban saja lebih cepat. Dari Bojonegoro langsung ke Nganjuk.” Katanya.

Dari lelaki itu kemudian kuperoleh informasi mengenai rute perjalanan yang komplit. Katanya saat itu aku sudah sampai Rembang. Setelah Rembang akan bertemu Lasem, Bonang, Leran, Sluke, Labuan, dan Pandangan.

Alamak, ternyata masih jauh juga. Sementara hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak terasa sudah enam jam lebih aku berkendara. Rasanya tulang punggung ini tak sanggup untuk bertahan berlama-lama. Haruskah perjalanan ini terhenti sampai di Rembang?

Tidak akan, meski badan lelah tapi mataku masih sanggup diajak melek. Maka perjalanan harus kulanjutkan. Kendati demikian aku telah berjanji pada diri sendiri, jika dalam perjalanan berikutnya mataku sudah lelah alias mengantuk, maka di situlah tempat pemberhentianku.

Kulalui rute demi rute seperti petunjuk lelaki di warung tadi. Dari Rembang aku memasuki Lasem, Bonang, Leran, Sluke, Labuan, dan Pandangan. Setiba di Pandangan waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Kali ini mataku sudah tidak sanggup diajak kompromi. Lagi-lagi sebuah warung kumasuki. Tidak ada perempuannya, penghuninya seorang laki-laki muda. Adapun spanduk di depan warung tertulis: kopi klothok.

Ah, ini pasti kopi enak. Di Surabaya aku pernah merasai kopi semacam ini. Rasanya sangat nyentak di lidah. Sepintas dapat membuat mata melek semalam suntuk. Cara pembuatannya seperti yang kuketahui: air bersih dimasak sampai mendidih, kemudian kopi dimasukkan dan dimasak sampai mendidih pula. Konon, kopi klothok ini diracik dari kopi deplok–kopi buatan sendiri yang telah dihaluskan. Setelah kopi mendidih barulah kopi dituang di dalam gelas. Rasanya, hmm, sulit dibayangkan enaknya.

Ketika sedang enak-enaknya ngopi, seorang tua, dengan kopiah haji pada kepalanya duduk di sampingku. Sebentar ia melihat padaku, sebentar melemparkan pandang ke depan jalanan bersama sebatang rokok terhisap dari mulutnya. Tubuhnya nampak gemuk. Walaupun sebenarnya cukup tinggi. Karena gemuknya ia nampak terlalu pendek. Dua belah tangannya selalu tertopang di atas pangkuan. Ia mengenakan sarung. Di bahwa dagunya terpelihara dengan baik sebuah jenggot panjang yang sudah beruban. Aku menduga ia pasti seorang kyai. Sepintas kami hanya diam-diaman. Tak lama meluncurlah kata-kata sambutan darinya.

“Darimana dan mau kemana, Mas, kok malam-malam begini?”

“Eh, iya, Pak!” Aku kaget dengan sapaannya maka kuurungkan menyeduh kopi untuk membalasnya, “saya sedang berkeliling. Entah sekarang sudah sampai mana saya tidak tahu.”

“Mas sudah sampai Pandangan.” Balasnya.

“Sepi ya, Pak!”

“Ya beginilah, namanya juga desa nelayan.”

“Di sini masjid dimana ya, Pak?”

“Kalau mau sholat masjidnya ada di sebelah barat sana.” Sahutnya.

“Maaf saya sudah sholat, saya cuma mau numpang istirahat. Itu kalau diperbolehkan.”

“Masjid itu milik umum, miliknya kaum Muslim. Siapa saja boleh menginap di sana. Tapi alangkah baiknya kalau saudara menginap di rumah saya saja. Tidak jauh kok dari sini.” Ia menawarkan kesediaanku menginap di tempatnya.

“Saya jadi merepotkan, Pak!”

Ah, tidak usah dipikir, sudah menjadi kebiasaan sesama Muslim untuk saling membantu,” katanya yang kemudian kuketahui bernama Afif, salah satu tokoh agama di kampung nelayan. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...