Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Pajak Sembako, Kesannya Pemerintah Tak Bisa Cari Duit Lagi

Menaikkan pajak sembako bisa dianggap adil dari mana? Masyarakat menengah ke bawah terus-terusan dipajaki. Seakan-akan Sri Mulyani sengaja mengincar rakyat kelas menengah ke bawah untuk menutupi kondisi ekonomi yang carut marut. Sementara masyarakat kelas atas diberi angin surga.

REKAYOREK.ID Sri Mulyani wajar saja galau. Sebab rencananya menjadikan sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN) mendapat penolakan dari banyak pihak termasuk DPR.

Kebijakan Menteri Keuangan tidak hanya ditolak DPR, tapi juga rakyat. Menaikkan pajak sembako tentu akan membuat rakyat marah.

Wacana ini muncul pada revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Beleid tersebut akan dibahas oleh pemerintah dan parlemen di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Di dalam Pasal 4A disebutkan bahwa sembako dihapus dalam RUU KUP sebagai barang yang tidak kena PPN. Artinya, sembako bakal dikenakan pajak oleh Direktorat Pajak Kementerian Keuangan. Kenaikan tarif PPN maksimum dari yang semula sebesar 10 persen menjadi 12 persen.

Pengenaan tarif PPN sembako ini sejalan dengan penghapusan objek non-Barang Kena Pajak (BKP) antara lain kebutuhan pokok dan hasil pertambangan yang semula tidak dipungut PPN.

Adapun jenis sembako yang akan kena pajak meliputi 12 jenis. Di antaranya meliputi, beras, gabah, daging, jagung, telur, kedelai, gula, sagu, garam, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebutkan bahwa negara memang membutuhkan uang dengan situasi Covid-19 saat ini.

“Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi.”

“Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil!” Katanya melalui cuitan di akun Twitternya.

Terkait kenaikan PPN sembako ini, Sri Mulyani sempat dicecar DPR saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6/2021).

Sayangnya, Sri Mulyani enggan menjelaskan secara rinci terkait pengenaan PPN sembako tersebut. Alasannya, hingga saat ini pihaknya belum membawa draf revisi UU KUP ke Paripurna DPR RI.

“RUU KUP sampai hari ini belum disampaikan di Paripurna. Kami tentu dari sisi etika politik belum bisa menjelaskan ke publik sebelum ini dibahas,” ujar Sri Mulyani di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.

Menurut Sri Mulyani, dokumen revisi UU KUP ini merupakan dokumen publik yang akan disampaikan ke DPR melalui Surat Presiden. Sehingga dirinya menyayangkan dokumen tersebut bocor alias tersebar ke publik sebelum dibahas secara menyeluruh hingga dibawa ke Paripurna DPR RI.

“Memang ini situasinya menjadi agak kikuk, karena memang ternyata dokumennya sudah keluar, karena sudah dikirimkan kepada DPR juga,” tuturnya.

“Sehingga kami dalam posisi tidak bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita,” imbuh dia.

Sri Mulyani menambahkan, draf revisi UU KUP yang beredar dan termasuk di dalamnya menyangkut pemberlakuan PPN sembako menjadi liar menurut Sri Mulyani, karena ditafsir oleh pihak-pihak tertentu.

“Yang keluar sepotong-sepotong yang kemudian di-blow-up seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal, hari ini fokus kita itu adalah pemulihan ekonomi,” jelasnya.

Pajak Sembako Berbahaya

Pajak sembako yang akan diterapkan pemerintah terhadap kebutuhan barang pokok yang tertuang dalam revisi kelima UU Nomor 6/1983 tentang KUP memang bikin banyak pihak keheranan, terutama untuk masyarakat kecil.

Hal ini tidak sejalan dengan masyarakat kalangan atas. Untuk beli mobil bisa bebas pajak, yang tidak semua orang kelas menengah ke bawah bisa membelinya.

Pemerintah saat ini memberikan kebijakan relaksasi pajak diskon Pajak Penjualan Barang Mewah atas pembelian mobil baru (PPnBM) sejak bulan Maret lalu, yakni 50 persen terhadap kendaraan bermotor khusunya mobil. Kini pemerintah malah membebaskan PPnBM terhadap kendaraan bermotor.

Kebijakan relaksasi ini dilakukan setelah pemerintah sukses dengan kebijakan PPnBM 0 persen selama tiga bulan pertama, dimana kebijakan relaksasi pajak ini kemudian dilanjutkan dengan PPnBM 50 persen yang diberikan pada mobil baru.

Hasil dari adanya kebijakan diskon PPnBM cukup efektif. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan Penjualan mobil di Indonesia yang menyentuh angka 21.432 kendaraan saja di April 2020 langsung melonjak tajam pada tahun berikutnya berkat kebijakan ini.

PPnBM 0 persen membuat penjualan mobil di bulan April 2021 menjadi 90.618 unit mobil. Naik hingga 400 persen lebih.

Ini hampir sama dengan kebijakan tax amnesty yang diterapkan Sri Mulyani sebelumnya. Saat itu Sri Mulyani ingin memberi angin surga bagi kalangan atas. Yang disasar kelompok perusahaan teknologi global dan WNI berpendapatan top 1% yang masih menyimpan dana repatriasinya di luar negeri.

Namun patut diingat bahwa tax amnesty 2017 tidak diikuti masuknya dana repatriasi ke dalam negeri. Faktanya, dari target dana repatriasi Rp 1.000 triliun hanya terealisasi Rp 147 triliun.

Kelompok WNI berpenghasilan top 1 persen tidak semua ikut tax amnesty 2017 kemarin, bila audit pajak dilakukan terhadap kelompok WNI tersebut, pemerintah masih dapat tambahan penerimaan negara dari pemberlakuan sanksi sekitar 200 persen dari aset mereka.

Negara sudah banyak dirugikan akibat masyarakat kalangan atas mokong tidak bayar pajak. Dengan adanya tax amnesty saja, banyak yang masih membandel, apalagi kini mau diterapkan tax amnesty jilid II.

Lalu yang menjadi pertanyaan, menaikkan pajak sembako bisa dianggap adil dari mana? Masyarakat menengah ke bawah terus-terusan dipajaki. Seakan-akan Sri Mulyani sengaja mengincar rakyat kelas bawah untuk menutupi kondisi ekonomi yang carut marut.

Direktur Eksekutf Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menjabarkan teori Curve Laffer yang menjadi bagian penting dari bangun teori supply side economics yang meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan terus tumbuh dengan didorong rezim tarif pajak rendah.

Teori yang dicetuskan ekonom Amerika Serikat, Arthur Laffer ini digunakan untuk menilai keadilan pajak yang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Dalam catatan Indef, kebijakan pajak untuk kelas menengah-atas berupa pengurangan tarif PPnBM yang dikurangi hingga 0 persen dibanding dengan kenaikan pajak sembako justru akan berbahaya.

“Ini berbahaya. Enggak rasional. Karena ada titik yang disebut laffer curve yang artinya ketika terjadi kenaikan pajak ada kecendrungan orang akan mengurangi konsumsi,” mengutip Tauhid.

Kalau konsumsi turun, maka barang yang diperdagangkan atau dijual juga ikut turun. Otomatis tidak ada peningkatan yang signifikan dari pendapatan negara, karena tarif naik tapi volumenya turun, dan justru target penerimaan negara, pada sembako utamanya, tidak akan berhasil.

Karena itu Indef tidak melihat ada asas keadilan di dalam penarikan pajak sembako ini. Karena, komoditas-komoditas sembako merupakan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat sehari-sehari. Jika dikenakan PPN hingga 5 persen, maka harga sembako akan naik, tapi penjualan serta permintaan pembelian justru menurun.

Perketat Pajak E-Commerce

Daripada Sri Mulyani menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako, pendidikan, dan kesehatan yang lebih banyak menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah, Ekonom Achmad Nur Hidayat menyarankan pemberlakukan pajak terhadap sejumlah e-commerce dan perusahaan teknologi yang saat ini tengah naik daun. Sebut saja TikTok, GoJek, Google, Facebook, dan Apple.

“Indonesia sebaiknya ikut G7 yang sudah menyepakati adanya pemberlakuan pajak yang lebih ketat terhadap perusahaan raksasa teknologi. Facebook yang memiliki Instagram dan WhatsApp menikmati keberlimpahan bigdata dari Indonesia, sementara pajak mereka masih rendah,” saran Achmad Nur Hidayat.

Achmad melihat pasar sembako Indonesia dan pasar retail sangat sensitif terhadap isu kenaikan harga akibat perpajakan ini. Sebab pengusaha sembako dan retail mayoritas adalah pengusaha menengah kecil.

Menurut Achmat, masyarakat kelas menengah kecil merasa RUU KUP menyasar mereka. Padahal mereka sudah berkontribusi banyak untuk penerimaan pajak dan saatnya mereka menerima kelonggaran pajak di saat ekonomi sedang lesu.

“Sementara negara-negara maju G7 sibuk memburu kepatuhan pajak perusahaan multinasional raksasa di bidang teknologi dan informasi, Indonesia justru memburu kelas menengah dengan kenaikan PPN sembako dan jasa pendidikan. Bila terpaksa tarif PPN final sembako cukup 1 persen saja,” ujar Direktur Eksekutif Narasi Institute ini.

Ia pun mempertanyakan aspek keadilan ekonomi dari rencana penerapan PPN terhadap sembako, pendidikan, dan kesehatan tersebut.

“Kelompok kelas menengah atas yang pendidikan dan kesehatan (mampu) di luar negeri, mereka tidak terkena dampak rencana kenaikan PPN tersebut. Sementara kelas menengah bawah yang belanja sembakonya, pendidikannya, dan kesehatannya di dalam negeri malah yang paling terdampak dari rencana reformasi pajak tersebut. Di mana keadilan ekonominya jika begitu?” tegasnya.

Karena itu pemerintah diminta untuk berhenti menguji kesabaran rakyat. Rencana pemberlakukan pajak sembako harus dibatalkan. Hal ini didengungkan anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher.

Menurut Netty, pemerintah tidak peka dengan kondisi masyarakat. Pasalnya kebijakan pemerintah untuk memberlakukan pajak sembako tidak masuk akal karena dapat menambah beban rakyat yang sedang sulit di tengah pandemi.

Saat ini masyarakat sudah susah hidup di tengah pandemi. Banyak yang penghasilan menurun hingga kehilangan pekerjaan. Daya beli masyarakat merosot. Dan sekarang ditambah kebijakan yang tidak pro rakyat.

Dengan adanya kebijakan ini, nantinya masyarakat akan kena tambahan pengeluaran yang harus dibayarkan demi mengakomodasi kebijakan PPN. Ujung-ujungnya akan berimbas pada daya beli.

Yang terjadi, kondisi riil hari ini masyarakat mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi. Jika ditambah pajak sembako, hal ini akan semakin menyusahkan. Semua harga akan naik dan mahal.

Pemerintah dalam mencari sumber pendapatan negara, jangan cari cara mudahnya saja. Kalau tetap ngotot memberlakukan pajak sembako, kok kesannya pemerintah sudah tidak tahu lagi cara mencari sumber pendapatan negara, kecuali mengincar rakyat kecil.[]

Komentar
Loading...