Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Pemimpin Surabaya di Abad 17, Apa yang Terjadi?

Oleh: Nanang Purwono

DALAM kisah sebelumnya (Bagaimanakah Penaklukan Surabaya oleh VOC di abad 17?) diceritakan sekilas tentang silsilah penguasa Surabaya.

Pertama adalah Pangeran Jayalengkara (…… – 1630), Kedua adalah Pangeran Pekik (antara 1614 – 1672  sejak menggantikan ayahnya 1630 , sampai ia diboyong ke mataram).

Ketiga adalah Trunojoyo ( 1630  atau sejak Pangeran Pekik boyong ke Mataram hingga – 1677 ketika Trunojoyo terusir oleh VOC).

Menyimak kehadiran Pangeran Pekik sebagai penguasa (pemimpin) Surabaya yang  bergelar Pangeran dan meneruskan kepemimpinan ayahandanya (Pangeran Jayalengkara : …. – 1630), sesungguhnya tampuk kepemimpinan Pangeran Pekik di Surabaya tidaklah lama.
Periode kepemimpinan Pangeran Pekik sebagai pemimpin Surabaya tercatat sejak menggantikan Jeyalengkara pada 1630 hingga ia diboyong ke Mataram karena dinikahkan dengan adik Sultan Agung, yang bernama Ratu Pandansari.

Pernikahan Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari (adik Sultan Agung) sesungguhnya adalah cara bagaimana Sultan Agung memperluas kekuasaannya. Kekuasaan dilakukan dengan ikatan keluarga, dengan pernikahan.

Tidak hanya Pangeran Pekik yang dinikahkan dengan keluarga kraton Mataram, tapi ada juga penguasa daerah lainnya. Menurut catatan Sentono Boto Putih Surabaya yang berjudul “Sejarah Surabaya” disebutkan bahwa dalam rangka memperluas daerah kekuasaan, Sultan Agung melalukan politik kekeluargaan. Yaitu menikahkan penguasa daerah dengan keluarga kraton.

Contoh lainnya adalah Tjakraningrat I dijadikan iparnya. Pemberontakan Giri yang mulai pada 1633 pada akhirnya juga dapat diredam karena peran kekeluargaan Pangeran Pekik yang diutus Sultan Agung menghadapi Panembahan Kawis Guwa. Karena Kawis Guwa adalah keturunan Sunan Giri dan Pangeran Pekik adalah keturunan Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Giri adalah murid Sunan Ampel, yang juga dianggap sebagai anak menantu karena dinikahkan dengan Puterinya (Dewi Murtasiah) dan Puteri Kiai Bungkul (Dewi Wardah).

Dari hubungan pernikahan Sunan Giri (Raden Paku) dan Dewi Wardah (Puteri Kiai Bungkul) dan juga dengan Dewi Murtasiah (Puteri Sunan Ampel), menjadikan Panembahan Kawis Guwa (Sunan Giri) merasa sungkan jika harus berhadapan dengan Pangeran Pekik (Sunan Ampel) yang diutus Mataram. Rasa sungkan ini muncul karena adanya ikatan keluarga yang sudah terjalin.

Maka pada 1636 Kedaton Giri di bawah pimpinan Panembahan Kawis Guwa dapat ditundukkan Mataram melalui peran Pangeran Pekik.

Pangeran Pekik Dibunuh

Ikatan kekeluargaan antara Pangeran Pekik dan Mataram karena Pangeran Pekik dinikahkan dengan adik Sultan Agung yang bernama Dewi Pandansari. Selanjutnya ketika Sultan Agung wafat pada 1645, puteranya yang bergelar Amangkurat I meneruskan suksesi Mataram (1646-1677).

Amangkurat I yang semakin dewasa dan telah berpermaisuri dan berselir banyak, ternyata masih ingin memiliki selir selir baru. Maklum, Amangkurat I suka main perempuan. Sampai sampai Jika ia menginginkan perempuan, Istri orang lain pun akan bisa dimilikinya dengan pendekatan kekuasaan.

Suatu hari, menurut Sejarah Surabaya, Amangkurat I mengutus dua orang keraton: Ngabehi Nolotresno dan Yudhokarti, pergi ke Surabaya untuk mencari perempuan untuk dijadikan selir. Kedua utusan itu bertemu seorang wakil kepala daerah di Surabaya, Ngabehi Mangunrejo, yang memiliki anak perempuan yang bernama Rara Oyi.

Kemudian Rara Oyi yang berparas ayu ini diboyong ke kraton untuk ditunjukkan ke Amangkurat I. Sang Raja setuju tapi masih muda. Karenanya ia menitipkan Rara Oyi ke seorang patih yang bernama  Ngabehi Wirorejo. Nantinya bila sudah cukup umur, maka akan dijadikan selir oleh Amangkurat I.

Waktu berjalan dan perubahan terjadi. Adipati Anom atau Raden Mas Rahmas, putera sulung Amangkurat I, yang selanjutnya bergelar Amangkurat II, ketika berjalan jalan di lingkungan kraton menjumpai perempuan berparas ayu di rumah Ngabehi Wirorejo. Yaitu Roro Oyi yang akan dijadikan selir Amangkurat I, yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.

Melihat si gadis cantik itu, Adipati Anom menghadap Pangeran Pekik yang terhitung sebagai kakeknya. Adipati Anom ingin agar dinikahkan dengan Rara Oyi. Mendengar permintaan cucunya, Pangeran Pekik pun mengambil Rara Oyi dari patih Ngabehi Wirorejo dan dinikahkan dengan Adipati Anom atau Raden Mas Rahmas (Amangkurat II).

Mendengar kabar pernikahan puteranya dengan Rara Oyi yang diharapkan akan jadi selir mudanya, Amangkurat I marah. Kemudian sepasang suami istri yang baru menikah itu dipanggil di hadapan raja, orang tuanya sendiri. Karena marah, maka Adipati Anom disuruh membunuh Rara Oyi dengan sepucuk keris di hadapannya. Setelah Rara Oyi meninggal, Adipati Anom diusir dari keraton.

Pangeran Pekik juga tidak luput dari kemarahan Amangkurat I. Pangeran Pekik diusir dan dikembalikan ke Surabaya. Dengan diantar oleh utusan keraton, dalam perjalanan yang sudah mendekati Surabaya, Pangeran Pekik dibunuh. Kisah ini sebagaimana diceritakan dalam “Sejarah Surabaya” yang diterbitkan oleh Yayasan Sentono Boto Putih Surabaya.

Adapun makam Pangeran Pekik menurut versi “Sejarah Surabaya“ bahwa ia dimakamkan di makam kuno Kawatan di selatan Tugu Pahlawan yang kini menjadi jalan Tembaan. Di lokasi makam yang sekarang teridentifikasi makam Kiai Sedo Masjid, dulu dalam photo dokumentasi tahun 1970-an yang dimiliki sesepuh Kawatan, bahwa di makam Kiai Sedo Masjid sekarang, dulunya terinskripsi makam Pangeran Pekik.

Sementara versi lainnya, literasi Wikipedia yang merangkum beberapa sumber dasar lain bahwa makam Pangeran Pekik berada di Makam Banyusumurup, Imogiri, Bantul, DIY. Kompleks makam itu khusus diperuntukkan bagi keluarga kerajaan yang dianggap membangkang keraton.

Berbeda lagi dengan pendapa,  Azrul, yang menyimpan manaqib keluarga bahwa konon makam Pangeran Pekik sebagaimana nampak pada photo tahun 1970-an di komplek makam Kawatan di jalan Tembaan Surabaya adalah makam Pangeran Pekik Pengampon, yang tidak lain adalah anak/keturunan Pangeran Pekik yang makamnya ada di Banyusumurup, Imogiri, Jogjakarta.

Apapun versinya, yang jelas bahwa Surabaya punya cerita setelah masa keruntuhan Majapahit (abad 15) hingga masa kedatangan Bangsa Eropa (awal abad 17). Sayang jika kisah, cerita dan fakta itu kurang di ekspose sebagai khasanah kebudayaan dan peradaban Surabaya. Bukti bukti peradaban lama antara abad 15 hingga 17 masih tersisa.

Meski terhitung sangat minim, tapi itu semua adalah petunjuk untuk dikorelaaikan dengan informasi yang telah tersebut dalam beberapa literasi tentang adanya dan keberadaan peradaban sebelum era kolonial. Siapa peduli? Kita peduli.[tamat]

Komentar
Loading...