Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Ponpes Kapu Masih Ajarkan Santri Menulis Pegon

Gus Bik: 90 Persen Ponpes Salafiyah Belajar Kitab Kuning, Pegon Untuk 'Ngukur Bocah'

REKAYOREK.ID Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Kapurejo tampak tenang, damai dan asri. Terletak di Desa Pagu, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Pondok Kapu (sebutannya) saat malam terdengar sayup-sayup suara dari para penghuninya.

Terlihat lalu lalang santriwati membawa sebuah kitab lalu masuk ke ruangan yang di dalamnya terdapat para santriwati menghafalkan ayat-ayat. Sedangkan di arah barat tepatnya di masjid, terlihat beberapa santriwati menyimak sebuah kitab. Di sebelah mereka yang tertutupi kain sebagai pembatas, ada pengajar pria yang diterangi lampu seadanya.

Pondok Pesantren Kapurejo. Foto: Istimewa

 

Di bagian belakang pondok, ada ruangan besar yang juga digunakan untuk belajar. Terdengar para santri sedang belajar.

“Yang itu tingkatannya lebih senior,” terang KH Mochamad Chamdani Bik, yang sedang santai duduk di balai-balai bambu belakang rumah.

Hingga pukul 21.00 WIB, Senin (6/9/2021), aktivitas belajar mengajar di Pondok Kapu masih berjalan. Banyak santri yang disibukkan dengan kitab masing-masing. Ada pula yang mengaji, ada pula yang menghafal. Sebagian ada yang santai tapi tetap menyibukkan diri dengan aktivitasnya.

Gus Bik, sapaan akrabnya, menceritakan Pondok Kapu berdiri sudah cukup lama. Dia tidak ingat waktunya. Cuma seingat dia, para kyai sepuh pernah cerita jika Pondok Kapu berdiri saat pembangunan pertama rel kereta api jalur Kediri-Kertosono.

“Saya tidak tahu waktunya. Para kyai sepuh tahunya Pondok Kapu berdiri saat awal pembangunan rel sepur jurusan Kertosono-Kediri,” ujar Gus Bik.

Bila menilik sejarah yang ada, pembangunan jalur rel kereta api dari Sembung-Kertosono-Kediri sepanjang 36 kilometer dikerjakan oleh Perusahaan Kereta Api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staad Spoorwegen (SS) pada tahun 1881.

Stasiun Kediri ini termasuk salah satu stasiun tua yang ada di Jawa Timur. Jika berdirinya Pondok Kapu dibarengi dengan awal mula pembangunan jalur rel kereta api Kertosono-Kediri, maka pesantren ini bisa jadi berdiri tahun 1881.

“Iya, sangat tua sekali,” ujar Gus Bik singkat.

Orang pertama yang babat alas atau buka Pesantren Kapu adalah Mbah Hasan Muchyi. Sebelum Pondok Kapu, lanjut Gus Bik, Mbah Hasan Muchyi pernah membuka pondok di daerah Santren Jagung. Tidak banyak yang tahu soal latar belakang Mbah Hasan Muchyi. Namun Gus Bik menuturkan, bahwa Mbah Hasan Muchyi dulunya bekas prajurit Pangeran Diponegoro yang kabur dari kejaran penjajah.

Pohon sawo (panah biru) sejak masa Mbah Hasan Muchyi sekaligus penanda pengikut Pangeran Diponegoro. Foto: Istimewa

 

“Mbah-mbah cerita kalau dulu Mbah Hasan Muchyi bekas pengikut Pangeran Diponegoro,” sebut Gus Bik.

Sejak Pangeran Diponegoro ditangkap oleh De Kock dan kemudian diasingkan, banyak pengikutnya yang lari ke pelosok daerah dengan menyebarkan agama Islam. Banyak pengikut Diponegoro berserakan. Mereka ada yang mendirikan pondok pesantren dengan penandanya adalah pohon sawo.

“Dulu ada banyak pohon sawo saat saya masih kecil. Sekarang tinggal beberapa saja,” kenangnya.

Baca Juga: Pohon Sawo Penanda Pengikut Diponegoro

Dari Pondok Kapu ini kemudian melahirkan banyak cerita. Ya, dari Mbah Hasan Muchyi lahir lima anak dari ibu berbeda. Anak-anaknya mulai Mbah Nyai Sukarsih, Mbah Kyai Ilyas, Mbah Nyai Ulmi Khulsum, Mbah Nyai Masfuah, dan Mbah Nyai Marsuroh. Dan putri bungsu Mbah Hasan Muchyi ini yakni Mbah Nyai Masruroh dinikahi oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari.

Sepeninggal Mbah Hasan Muchyi, ndalem (rumah) juga menjadi tempat tinggal keluarga Kiai Hasyim bersama Nyai Masruroh dan keempat anaknya. Rumah itu menjadi Ndalem Kasepuhan pertama di Pondok Kapu dan sudah direnovasi Kiai Hasyim Asy’ari pada masa itu.

Ndalem (rumah) KH Hasyim Asyari bersama Nyai Masruroh. Foto: Istimewa

 

Dari sini Pondok Kapu kemudian dikembangkan oleh Kiai Hasyim termasuk menambahkan metode-metode pembelajaran yang mudah diterapkan ke para santri.

Metode ini kemudian diteruskan oleh KH Mochamad Sodiq yang juga pengasuh Pondok Kapu hingga diteruskan oleh penerus berikutnya hingga sekarang.

“Mbah Hasyim mengembangkan metode pendidikan ala pesantren di Pondok Kapu. Sebelumnya Mbah Hasan Muchyi hanya mengajar ngaji untuk masyarakat sekitar,” imbuh Gus Bik.

Salah satu yang menarik dari metode pembelajaran Pondok Kapu adalah belajar Abjad Pegon, yakni menulis abjad Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura, dan Sunda. Kata pegon berasal dari kata berbahasa Jawa pégo yang berarti “menyimpang”. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim.

“Di sini dasar belajar santri menulis bukan membaca. Mereka diajari Pegon dulu. Menggabungkan kata-kata dalam tulisan Arab,” tandas Gus Bik.

Suasana belajar kitab kuning para Santriwati Ponpes Kapurejo. Foto: Istimewa

 

Gus Bik menambahkan, pentingnya belajar menulis Pegon yang menjadi dasar pembelajaran sebab rata-rata pondok salafiyah mengajarkan hampir 90 persen kitab kuning. Dan Pegon ini merupakan metode belajar cukup cepat bagi santri.

“Di sini hampir 90 persen santri buka kitab kuning. Dengan Pegon sebagai dasar, Abah Sodiq dulu bilang buat ‘ngukur bocah’ alias mengukur kemampuan para santri,” jelas Gus Bik.

Rumusan sistem pendidikan di Pondok Kapu kemudian dikembangkan mulai tingkat madrasah yang masih berjalan hingga saat ini. Bahkan santri dan santriwati yang menuntut ilmu agama di Pondok Kapu mencapai 400 orang.

“Banyak yang bilang santrinya sedikit. Tapi menurut Abah Sodiq gak masalah. Sedikit santri atau banyak santri sama saja. Lagipula di sini para pendahulu kita yakni para kyai sepuh sejak dulu tidak mau dikenal sebagai ulama. Dari dulu ya seperti ini. Mereka ingin dianggap seperti orang biasa saja. Mereka juga tidak mau disebut kyai. Jadi mereka tidak mencari santri. Kalau ada santri kita terima. Kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Yang paling utama dari semua itu tetap syiar agama terutama bagi anak-anak di sekitar Kediri terutama Jawa Timur. Jika kemudian setelah mondok mereka ingin belajar di luar, silahkan saja. Minimal kita sudah memberi mereka bekal,” demikian Gus Bik.[]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...