Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Riset Begandring: Jalan Galuhan Bukan Hujunggaluh

REKAYOREK.ID Berfikir dan berbuat untuk Surabaya lebih berkarakter, lebih baik dan lebih kuat menjadi arah kegiatan sebuah komunitas sejarah dan budaya, Begandring Soerabaia. Kiprah, karya dan karsanya melalui baragam program kegiatan didasarkan pada data, fakta dan temuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kiranya pantang bagi Begandring Soerabaia dalam berbagi cerita dan kisah tentang Surabaya tanpa ada dasar dan sumber yang kuat.

Ada lima program yang menjadi kanal untuk berbagi informasi tentang sejarah Surabaya kepada publik. Program ini meliputi diskusi publik (begandringan), jelajah sejarah Subtrack (Surabaya Urban Track), publikasi (media dan medsos), pembuatan film (film making) dan pemberdayaan masyarakat (community empowering).

Semua program diatas menjadi platform dalam menyampaikan output dan ekspresi dari hasil penelusuran dan investigasi sejarah dan budaya Surabaya, yang dilakukan tim riset Begandring sebagai bahan dan dasar berkegiatan untuk publik demi jati diri kota Surabaya.

Salah satu dari sekian kegiatan penelusuran dan Investigasi itu adalah mengenai sejarah hari jadi kota Surabaya. Pada edisi blog Begandring 7 Januari 2023, Begandring Soerabaia merilis materi dengan judul : Masihkah Pacekan dan Delta Jagir Sumber Sejarah Hari Jadi Kota Surabaya?”

Pada edisi ini, Begandring Soerabaia menurunkan tema Hujunggaluh. Apa itu Hujunggaluh? Adakah kaitan Hujunggaluh dengan Surabaya?

Hujunggaluh

Selama ini nama Hujunggaluh dikaitkan erat dengan Surabaya. Lantas apa itu Hujunggaluh dan apa hubungannya?

Hujunggaluh jelas bukanlah jambatan Hujung Galuh yang melintasi Kalimas di daerah Ngagel. Hujunggaluh jelas tidak ada hubungan dengan Jembatan Hujung Galuh itu.

Prof. Purnawan Basundoro ketika berbicara dengan Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti, menjelang pemutaran film dokumenter “Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi 45” pada 2 Agustus 2023 lalu, menyampaikan: “Itu loh jembatan, yang bernama Hujung Galuh di Ngagel, bahaya itu”.

Terlihat dalam ekspresi wajahnya bahwa dia menghawatirkan akan adanya dampak dari pemamaan itu. Dalam benaknya jembatan Hujung Galuh tidaklah sama dengan Hujunggaluh.

Penulis, yang ketika itu terlibat dalam obrolan santai bersama sejarawan Purnawan Basundoro (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Timur) dan Reni Agustin (Wakil DPRD Kota Surabaya), langung menangkap kemelut dalam benak sang Profesor. Panulis pun langsung berinisiasi menelusuri data data kepustakaan dan hasil penelusuran lapangan yang pernah dilakukan tim pada 2021 terkait dengan Hujunggaluh dan mengapa Hujunggaluh dikaitkan dengan Surabaya.

Hujunggaluh adalah nama sebuah pelabuhan kali, yang tertulis pada prasasti Kamalagyan tinggalan Raja Airlangga dengan angka tabun 1037 Masehi atau 959 Saka. Prasasti ini masih pada posisi asalnya di Dusun Klagen, Desa Troposo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Isi prasasti adalah tentang pembangunan sebuah bandungan (dam) di Wringin Sapta oleh Raja Airlangga dari Kahuripan bersama rakyat.

Prasasti Kamalagyan di Tropodo, Krian. Foto: dok

 

Atas pembangunan bendungan itu, maka terbebaslah rakyat dari musibah banjir sehingga mereka bisa berperahu ke hulu ke Hujunggaluh untuk berdagang dan membeli barang barang dagangan.

Kutipan yang terkait dengan pelabuhan Hujunggaluh ini adalah:

“…kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ, tka rikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara“.

Artinya : “Semua bergembira, berperahu(lah) menuju hulu, mengambil barang dagangan di hujuŋ galuḥ. Datang (pula) para nahkoda, kapal kapal dagang dari pulau pulau sekitar”.

Secara praktis dapat dipahami bahwa letak Hujunggaluh berada di hulu sungai dari keberadaan Prasasti yang berada di kawasan  Wringin pitu, Krian.

Tetapi, Prasasti Kamalagyan, yang digunakan sebagai sumber sejarah Hari Jadi Kota Surabaya, ditafsirkan berbeda. Dalam buku “Hari Jadi Kota Surabaya” (Humas Pemkot 1975) dituliskan bahwa keberadaan Hujunggaluh sebagai pelabuhan itu berada di hilir sungai.

Data dan tafsiran para ahli Hari Jadi Kota Surabaya itu berbeda dengan pembacaan epigraf yang jamak mengatakan bahwa Hujunggaluh berada di hulu sesuai dengan kutipan yang berbunyi :…”maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ,…'(berperahu menuju hulu, mengambil barang dagangan di hujuŋ galuḥ).

Karena ditafsirkan ke hilir dan diduga di Surabaya, maka dicarilah bukti bukti yang ada di Surabaya, yang kiranya dapat mendukung penafsiran bahwa Hujunggaluh berada di hilir atau di Surabaya. Tim peneliti, yang terbentuk dan bekerja dalam kurun waktu 1973-1975 ini, menemukan sebuah jalan yang bernama jalan Galuhan di kelurahan dan kecamatan Bubutan, Surabaya.

Dalam buku “Hari Jadi Kota Surabaya, Sura ing Baya 682 tahun” dinyatakan bahwa nama Galuhan merupakan perubahan dan toponimi dari nama Ujunggaluh. Dari sanalah diyakini bahwa Hujunggaluh yang disebut pada prasasti Kamalagyan (1037 M) terletak di wilayah Surabaya (karena nama jalan dan Taman Galuhan).

Buku Hari Jadi Kota Surabaya perlu dikritisi. Foto: repro

 

Tafsiran ini menjadi kesimpulan, yang mendasari cerita sejarah Kota Surabaya bahwa Hujunggaluh adalah cikal bakal Surabaya. Bahwa nama jalan Galuhan ditafsirkan berasal dari Hujunggaluh.

Jalan Galuhan Pengganti Jan Van Der Heidenstraat (Nieuwe Courant 1950)

Padahal, nama Hujunggaluh adalah nama baru (sejak 1950) untuk menggantikan nama yang berbau kolonial. Perubahan nama jalan ini terjadi untuk semua nama nama jalan yang berbau Belanda. Perubahan nama jalan ini selain terpublikasi dalam surat kabar, juga dibuat dalam bentuk buku saku. Sesuai dengan pemberitaan surat kabar Nieuwe Courant tanggal 28 Maret 1950, sebelum dipasang nama Galuhan, asalnya bernama Jan van der Heidenstraat. Sedangkan Taman Galuhan menggantikan Lorentplein.

Dapat dipahami, ternyata nama jalan Galuhan, yang sudah ada sejak tahun 1950, dianggap sebagai topinimi Hujunggaluh ketika tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975.

Kini, melalui investigasi dan penelusuran oleh Tim Begandring, diketahui bahwa Hujunggaluh sebagaimana tersebut pada prasasti Kamalagyan (1037) letaknya tidak di hilir atau Surabaya. Melainkan di hulu, entah dimana.

Kemudian nama jalan Galuhan bukanlah toponimi dari Hujunggaluh, melainkan nama baru (1950) untuk menggantikan nama lama yang berbau kolonial.

Dari hasil temuan dan investigasi Begandring Soerabaia maka jelaslah apakah Hujunggaluh, yang tersebut pada prasasti Kamalagyan (1037), memiliki kaitan dengan Surabaya? Jawabnya, tidak!

Apakah nama jalan Galuhan adalah toponimi dari Hujunggaluh?

Jawabnya, juga tidak!

Lantas bagaimana sikap kita dengan nama Hujunggaluh, yang diidentikan dengan Surabaya? @nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...