Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Saat Barat Membaca Al Ghazali

Oleh: Rosdiansyah

IMAM Al Ghazali sudah sangat sohor di kalangan muslim di Indonesia. Karya-karya Imam Al Ghazali dibaca, dikaji dan dipelajari oleh muslim Indonesia. Bahkan karya-karya tersebut didiskusikan secara mendalam. Bukan saja di kalangan pesantren, tapi juga di dunia kampus pun, karya Imam Al Ghazali senantiasa menarik perhatian.

Diantara daya tarik karya Imam Al Ghazali adalah pada uraiannya yang lugas sekaligus mencerahkan. Dan yang paling utama, karya-karya Imam Al Ghazali menjadi acuan memperkuat eksistensi keilmuan Islam. Contohnya, sampai kini karya bertajuk Tahafut al Falasifa (Kerancuan Filsafat) masih dibaca dan diulas luas karena karya ini berbicara tentang kritisisme terhadap filsafat. Gurubesar ilmu hukum di Universitas Nizamiyya, Baghdad, ini sangat tajam mengkritik pendapat para filsuf pada masa itu.

Kitab Tahafut al Falasifa telah menarik perhatian para akademisi Barat sejak abad ke-14. Usai kitab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dibaca secara luas. Di dalam kitab itulah terdapat kritik tajam Imam Al Ghazali terhadap cara berpikir Aristotelian. Bagi Imam Al Ghazali, cara pikir Aristotelian terlalu deduktif serta mengabaikan kemampuan intuitif manusia dalam mengejar pengetahuan. Padahal, pengalaman personal justru juga penting untuk mengetahui taraf pengetahuan seseorang yang menjadi dasar bagi orang tersebut untuk memahami dunia.

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali lahir di Tabaran, distrik Tus, Provinsi Khurasan (kini, menjadi wilayah Iran), pada tahun 1058. Delapan belas tahun sebelum kelahiran Al-Ghazali, yakni pada 1040, pasukan Seljuq menaklukkan wilayah Khurasan. Di bawah rezim Bani Seljuq, Khurasan berkembang pesat, terutama dunia pendidikannya. Di dunia itulah, Al Ghazali berkiprah sebagai akademisi sekaligus intelektual.

Namun, hubungan Al Ghazali dengan Bani Seljuq memanas. Pada tahun 1106, Al Ghazali dipanggil untuk menghadiri sidang di hadapan Gubernur Khurasan, Ahmad Sanjar. Al Ghazali dituduh telah mengkritik pendiri mazhab hukum Hanafi beberapa tahun sebelumnya dan diminta mendengarkan daftar kesalahannya. Sebelum sidang, Al Ghazali menulis surat tertuju kepada sultan, yang isinya mengingatkan Sultan tentang “Pengabdiannya yang panjang kepada rezim Seljuq dan khalifah, serta penolakannya terhadap ikatan tersebut [pada tahun 1095]”.

Dalam surat tersebut, Al Ghazali juga menyebut bahwa selama ia mengasingkan diri, ia menolak semua bantuan Sultan Seljuq dan berlepas diri dari pertikaian teologis yang marak saat itu serta fanatisme sektarian. Surat tersebut memperlihatkan bahwa Al Ghazali tak ingin terlibat dalam politisasi sidang yang digunakan rezim Seljuq untuk meminggirkan siapapun yang dianggap berlawanan dengan kemauan rezim.

Setelah menaklukkan Khurasan, pasukan Seljuq terus menerobos masuk ke berbagai wilayah, termasuk Baghdad. Meski demikian, situasi politik dan keamanan yang terus memanas tidak menggerogoti dinamika peradaban Islam, termasuk pengajaran berbagai disiplin keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan saat itu. Aliansi politik Bani Abbasiyah dan Bani Seljuq terus bertahan karena kedua bani itu saling menguntungkan satu sama lain.

Walau sultan selalu berasal dari Bani Seljuq, namun posisi administratur diisi orang Persia asli. Diantaranya adalah Nizam al Mulk yang bernama asli Abu Ali Hasan ibn Alī Tusi. Ia menerbitkan kebijakan pendidikan sekolah sampai universitas yang disponsori negara. Berkat kebijakan ini, sistem pendidikan mulai dipraktekkan di seluruh wilayah yang dikuasai Bani Seljuq. Kelak, sistem pendidikan inilah yang menginspirasi munculnya berbagai universitas di Eropa.

Dan buku karya Nizam al Muluk tentang pemerintahan juga kemudian menginspirasi sejarawan Ibnu Khaldun serta Niccolo Machiavelli. Seperti halnya Al Ghazali, Nizam al Mulk juga lahir di distrik Tus, dan juga menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan Bani Seljuq menganut mazhab Hanafi. Al Ghazali mempunyai kesamaan budaya serta sikap doktrinal keagamaan yang sama dengan Nizam al Mulk. Ketika pertikaian antar mazhab memuncak di Khurasan, Al Ghazali muncul sebagai intelektual top pembela mazhab Syafi’i.

Al Ghazali selalu tampil memukau dalam debat publik dan polemik. Argumen-argumennya lugas sekaligus tandas. Namun, Al Ghazali tak menghendaki fanatisme. Selama bertahun-tahun menjadi akademisi di Nizamiyya Madrasah (Universitas Nizamiyya), Al Ghazali juga berperan penting dalam menjembatani hubungan antara Khalifah Bani Abbasiyah dan Sultan Bani Seljuq. Seluruh administrator dalam aliansi politik kedua penguasa itu selalu menyimak pendapat-pendapat Al Ghazali.

Al Ghazali juga berperan signifikan dalam revolusi pendidikan serta pemerintahan yang digagas oleh Nizam al Mulk. Namun, sungguh tragis, AL Ghazali juga menyaksikan kolapsnya negara Bani Seljuq setelah pembunuhan terhadap Nizam al Mulk dan Sultan Malikshah. Turbulensi politik itu terjadi antara Bani Seljuq melawan Bani Abbasiyah, dan bahkan juga pertikaian internal Bani Seljuq.

Buku ini karya dua intelektual sohor kajian Timur-Tengah. Ali Mirsepassi selama ini dikenal sebagai mahaguru sosiologi dan politik di Universitas New York. Ia seorang periset tangguh dengan akses literatur klasik yang sangat luas. Sedangkan Tadd Graham Fernée adalah intelektual Universitas Tours, Prancis. Dalam tujuh bab buku ini, terbaca perjalanan intelektual Al Ghazali secara komprehensif.

Akhirulkalam, Imam Al Ghazali wafat pada 1111, pada saat situasi internal dunia Islam sedang didera pertikaian internal. Namun demikian, karya-karya Al Ghazali tetap memikat dunia akademis Barat, yang mengenal Al Ghazali dengan nama Algazel atau Algazelus. Selain dikenal sebagai pembaharu, Imam Al Ghazali juga beken sebagai polymath, yakni intelektual yang menguasai banyak bidang keilmuan.@

*) Penulis adalah periset

Komentar
Loading...