Sejarah Masak-Memasak Dan Resep Makanan Indonesia (Era Kolonial Hingga Awal Kemerdekaan) #1
REKAYOREK.ID Tahun 1857, sebuah buku memasak berjudulnya Kokki Bitja atoe Kitab Masak-Masakan India yang Bahroe dan Semporna diterbitkan. Buku ini disusun oleh seseorang yang menyebut dirinya Nonna Cornelia. Di buku itu, perempuan ini memperkenalkan aneka makanan berikut bahan-bahan yang ada dan memungkinkan diolah di Hindia dalam sebuah buku masak (kookboek). Ada kesan, Cornelia berusaha menyusun kumpulan resep yang mewakili citarasa di berbagai daerah Hindia dalam nama-nama aneh, seperti: ”Ajam orang Boegis”, ”boendoek-boendoek Makassar”, ”gadon daging Soerabaija”, ”gobe Betawi”, hingga yang agak rasis: ”Masak babi seperti orang tjina” dan ”seperti Ceilon”.
Buku dengan pengantar berbahasa Belanda, tapi memuat resep-resep berbahasa Melayu ini sepertinya ditulis hanya sekedar hobi atau hasil bertukar resep dari sesama perempuan Eropa dan pribumi. Menariknya, nama-nama asli mereka disamarkan begitu lucu dengan memakai nama-nama makanan. Seperti Mevrouw Sarondeng, Mejufvrouw Sesaté, Njonja Smoor, Nonna Lalawar, Makokki Karmanatji, Embok Kottelet, firma Bami, Kimblo & Co, dan Mevrouw Katimoen.
Meski hobi, buku masak ini dicetak berkali-kali dari edisi pertamanya tahun 1857. Edisi 1859 sudah masuk cetakan ke-5. Tak lama, sebuah buku tentang masak-memasak juga diterbitkan di Semarang. Berbeda dengan Cornelia yang menggunakan bahasa Melayu, buku memasak yang disebut terakhir tersebut menggunakan bahasa Belanda. Buku tersebut anonim, dan jelas ditujukan untuk publik Belanda di Jawa.
Saat itu, orang-orang Eropa, khususnya Belanda yang bermukim di berbagai wilayah Hindia agaknya abai mengurus persoalan rasa di tanah koloni.
Fadly Rahman, sejarawan makanan, dalam majalah Mata Budaya edisi 2/2017 menyebutkan bahwa: “Kisah-manis” rempah-rempah di Eropa kontras dengan tanah asal (baca: Nusantara) yang menumbuhkannya. Selain berlumur darah, pertikaian, dan derita perbudakan, hingga abad ke-18, kisah citarasa rempah terkesan tidak terlalu banyak menyentuh urusan dapur di tanah asalnya sendiri.
Menurut Fadly Rahman, pada abad ke-19, citra sebagai kepulauan rempah-rempah digantikan dengan pengembangan masif sistem tanaman budidaya di Hindia Belanda. Mulai dari Cultuurstelsel (1830 – 1870) hingga penerapan Undang-Undang Agraria (1870). Hingga paruh pertama abad ke-19, hasil-hasil tanaman budidaya di berbagai wilayah belum menampakkan adanya kenikmatan seni kuliner di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda cenderung sibuk menempatkan lada, pala, dan cengkih semata sebagai komoditas ekspor ke pasar dunia.
Adapun komoditas ekspor antarpulau lebih pada beras dan kelapa. Disusul pengenalan tanaman komersial seperti singkong, kopi, dan teh yang hasilnya meningkat pada abad ke-19. Sumber-sumber tertulis pada awal abad ke-19 pun masih melaporkan sebatas kekaguman pada bahan-bahan makanan yang melimpah, bukan pada bagaimana mengelola dan mengolahnya ke arah nilai seni hingga fisiologi rasa layaknya boga.
Oost Indische Kookboek
Awal abad ke-20, para ahli sains dan gastronomi mulai mengembangkan boga di Hindia Belanda yang ditandai dengan pemuliaan budidaya (vegetasi dan hewani) secara sistematis. Setelah Cornelia, sebuah buku masak bertajuk Oost Indische Kookboek dengan pengarang anonim terbit pada 1866. Salah satu yang disarankan sang pengarang kepada para pembaca bukunya adalah mengganti bahan kembang kol yang lazim dipakai di selatan Belanda dengan daun pepaya muda. Buku ini sendiri jelas ditujukan untuk orang-orang Belanda.
Yang menarik, menurut Fadly Rahman, adalah penggunaan kata ”Oost Indische” yang berarti sang pengarang tengah mencoba mewujudkan konsep ruang untuk berbagai resep makanan yang dikumpulkannya. Hal ini dilakukan juga oleh Gallas Haak-Bastiaanse yang pada 1872 menerbitkan buku masaknya, Indische Kookboek. Kebalikan dari pengarang anonim, Gallas justru memberi saran menarik, yaitu mengganti makanan oriental seperti bakmie dengan macaroni.
Aktivitas pengembangan pengetahuan bahan-bahan makanan di Hindia mulai berdenyut setelah lembaga Laboratorium Koloniaal Museum di Haarlem menerbitkan secara rutin laporan analisis bahan makanan di Hindia Belanda melalui Bulletin van Het Koloniaal te Haarlem. Dr. A.G. Vorderman berperan menggagas ini, setelah ia terlibat dalam eksibisi internasional makanan di Paris pada 1900.
Sejak penerbitan laporan analisis bahan-bahan makanan itu terwujud secara berkala dalam arahan Dr. M. Greshoff, penelitian bahan-bahan makanan pun mulai serius dikembangkan oleh para ahli, hingga dipetakan kegunaannya dalam olah-olah makanan di seluruh wilayah Hindia.
Tidak hanya itu. Pada 1902, pemerintah juga mendirikan sebuah komisi khusus untuk meneliti sebab-sebab menurunnya kesejahteraan Pribumi. Salah satu perhatiannya diarahkan pada persoalan pangan.
Upaya pemerintah saat itu meningkatkan kesejahteraan pangan, faktanya membuahkan akibat-akibat yang menarik bagi perkembangan dunia boga di Hindia. Ketika kesejahteraan beringsut bangkit pada dasawarsa kedua abad ke-20, budidaya pangan pun turut berkembang secara mantap.
Kondisi ini turut mendukung tumbuhnya lembaga penelitian sains makanan, spirit mengembangkan pendidikan gastronomi, hingga produksi buku-buku masak. Hal penting dari itu semua adalah mulai terbentuknya hubungan makanan sebagai identitas kolektif masyarakat di Hindia. Ini terumuskan melalui konsep Indische keuken yang dipopulerkan para ahli makanan sepanjang 1900 – 1942.
Meskipun pada abad ke-19 buku-buku masak sudah beredar, tapi citranya masih mengabaikan hubungan berikut takaran serta kandungan gizi hingga kimiawinya. Van der Burg menerangkan bahwa penyelidikan saintifik secara fisiologis diperlukan untuk menanamkan kesehatan dalam kandungan makanan di Hindia.
Tren saintifikasi makanan di Hindia pun diikuti oleh pembuat buku masak. Tampilan kookboek tidak lagi seperti masa abad ke-19. Awal abad ke-20 memunculkan salah seorang gastronom kenamaan bernama J.M.J. Catenius-van der Meijden yang serius mendalami makanan di Hindia secara ilmiah sebagai dasar karya-karyanya seperti Ons Huis in Indië (rumah kita di Hindia, 1908) dan Groot Nieuw Volledig Oost Indisch Kookboek (buku masak Hindia terbesar, terbaru dan terlengkap, 1925).
Karir Catenius-van der Meijden terus melejit hingga dasawarsa ketiga abad ke-20. Salah satu buku memasaknya Groot Nieuw Volledig Oost Indisch Kookboek terbit 1925. Dijelaskan di muka bukunya bahwa ia adalah seorang ”Lauréate Institut International d’alimentation d’hygiene et de cuisine” (Pemenang penghargaan Institut Internasional Makanan Sehat dan Boga) di Paris. (Bersambung)
Sumber Tulisan: Fadly Rahman, Dari Indische Keuken ke Boga Indonesia 1857-1967, Majalah Mata Budaya, Edisi 2/2017, Penerbit: Taman Budaya Yogyakarta, hal: 6-18.