Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Sìshuǐ Dalam Bingkai Budaya dan Sejarah Tionghoa di Surabaya

REKAYOREK.ID Surabaya sejak dulu dikenal sebagai daerah yang terbuka. Maklum secara geografis, letaknya di tepi laut dan muara sungai dan menjadi pintu gerbang kerajaan Majapahit. Tempat ini menjadi pintu keluar masuk ke pedalaman Jawa.

Catatan tentang kedatangan bangsa Mongol pada akhir abad 13 dan Laksamana Cheng Ho abad 15 menjadi catatan otentik tentang sejarah bangsa bangsa dari daratan China.

Kisah perjalanan Cheng Ho ini sebagaimana ditulis Ma Huan (juru tulis Cheng Ho) dalam catatan yang berjudul Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores, yang diterjemahkan dari the Chinese text dan diedit oleh Feng Ch’eng-Chiin lalu diterbitkan oleh Cambridge University Press 1970, Surabaya adalah salah satu titik persinggahan Cheng Ho sebelum sampai ke tujuan di pedalaman Jawa, tepatnya Majapahit.

Dari catatan Ma Huan, diceritakan bahwa sesampai di Tuban setelah mendarat di Jepara (Jawa Tengah), ia berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, dan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Gresik.

Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Kemudian orang Tionghoa datang dan menghuninya. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun.

Mereka, yang tinggal di tempat itu, kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih.

Kemudian, dari sana bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok.

Jadi saat kedatangan Cheng Ho, di Surabaya (Su-Lu-Ma-Yi) sudah ada warga etnis China. Diduga mereka adalah pendatang China sebelum Cheng Ho datang.

Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu (Pelabuhan Canggu). Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit.

Menurut dosen Sastra China, Martinus Herwiratno, Surabaya bagi para pendatang Tionghoa kala itu disebut 泗水 (Sìshuǐ), yang arti harafiahnya adalah Empat Air (sungai). Maksudnya satu kawasan, yang dikelilingi oleh 4 air/sungai.

Satu kawasan dengan 4 sungai, yang mengelilingi, adalah hanya kawasan Pecinan Surabaya. Empat sungai ini adalah Kalimas (barat), Pegirian (timur), jalan Kalimati wetan-kulon-kali Malang (Utara: dulu adalah sungai yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian) dan Jalan Waspada (selatan: dulu juga kanal yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian).

泗水庙 (Sìshuǐ bio atau Kuil Sìshuǐ) – Kuil Surabaya

Ketika kawasan 泗水 (Sìshuǐ) yang kini dikenal dengan nama Pecinan Surabaya ini, justru nama 泗水 (Sìshuǐ) semakin tenggelam dan hilang. Nama Sìshuǐ sangatlah langka. Bahkan warga Tionghoa sendiri sekarang jarang mengenal nama Sìshuǐ.

Di tengah tengah pemukiman Tionghoa masa lalu inilah kemudian didirikan sebuah kuil sebagai tempat peribadatan dan penghormatan kepada dewa yang dikenal dengan Dewa Kwan Im.

Kuil itu menjadi tempat mereka bersyukur karena dalam selama dan di sepanjang perjalanannya, mereka senantiasa dilindungi dari serangan hewan buas di laut (ikan hiu) dan di muara (buaya).

Kuil itu dijuluki 海神男相观音泗洲佛, yang terjemahannya kira-kira: Kuil Dewa Laut Su-ciu-hut dan Kwan Im, dan disingkat jadi 泗水庙 (Sìshuǐ bio atau Kuil Sìshuǐ, yang berarti Kuil Surabaya.

Sebagai pertanda bahwa kuil, yang selanjutnya bernama Hok An Kiong ini, di depan Klenteng terdapat sepasang tiang kapal.

Selain klenteng, masih ada lainnya yang menjadi bukti budaya dan sejarah etnis Tionghoa di Surabaya. Melalui sebuah karya visual, budaya dan sejarah Tionghoa di Surabaya akan dibingkai dengan judul 泗水 (Sìshuǐ) Bingkai Budaya dan Sejarah Tionghoa di Surabaya.

Karya budaya ini digagas oleh Peraga Indonesia dan Puri Aksara Rajapatni. Peraga Indonesia selama ini sebagai penyelenggara Miss Tionghoa Indonesia.

“Tahun ini kami akan menyelenggarakan Putri Tradisional Indonesia. Ini perdana tahun ini” jelas Nita Kartika, pengelola Peraga Indonesia.

“Nanti akan kami masukkan penggunaan Aksara Jawa dalam produksi film 泗水 (Sìshuǐ)”, pungkas Nita Kartika.@PAR/nng

Komentar
Loading...