Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kepemimpinan Jawa: Ilmu Padi

REKAYOREK.ID Manusia itu kadang-kadang merasa dirinya sendiri yang paling benar dan paling baik, tetapi setelah direnungkan beberapa saat kemudian, ternyata ada yang keliru. Ada yang kurang pas berkaitan dengan apa yang telah ia lakukan.

Jika demikian, betapa pentingnya seseorang melakukan introspeksi alias mawas diri menuju kebenaran dan kebaikan yang mantap dan stabil. Betapa pentingnya menghayati dan merenungkan kehidupan ini secara seksama dan sungguh-sungguh. Manusia memang tidak ada yang sempurna. Paling-paling hanya mendekati kesempurnaan.

Dalam keseharian, leluhur manusia Jawa biasa menyebut dengan nuansa kejawaan-nya tentang rambu-rambu mengenai hal itu, terutama sangat baik dijiwai dan dihayati bagi seorang pemimpin: yakni “aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa” (jangan merasa bisa, tetapi hendaknya bisa merasa).

Maksud dari ungkapan tersebut yaitu mendudukkan (nglungguhne jawane) seperti di atas. Memang, kata Jawa itu bisa bermakna dua: pertama, Pulau Jawa, yang masyarakatnya dikenal memiliki budi pekerti luhur; dan kedua, jawa artinya baik, dewasa, luhur budinya, santun, dan sebagainya.

Maka, makna ungkapan “aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa” jika dijabarkan lebih jauh, maksudnya agar orang tidak menyombongkan diri, tidak gumedhe, dan tidak merasa dirinya paling benar (benere dhewe)!

Bukankah kebenaran itu ada tiga? Pertama, benere dhewe (benarnya sendiri) yang sangat subyektif. Kedua, benere wong akeh (kebenaran umum, benarnya orang banyak) yang biasanya ditentukan dalam voting. Ketiga, bener kang sejati (benar yang sejati; benar hakiki); yakni kebenaran berdasarkan firman Tuhan. (Wawan Susetya dkk; Kitab Ketenteraman Emha Ainun Nadjib, 2001).

Biasanya, pribadi seseorang yang mengisyaratkan benar, yang sejati/benar hakiki, ditunjukkan dengan sikapnya yang lemah-lembut sebagaimana ilmu padi: makin berisi makin menunduk. Ini mengisyaratkan sikap yang jauh dari kepongahan, jauh dari ketakaburan, jauh dari kesombongan, jauh dari sikap kemaki, dan seterusnya.

Seseorang yang telah menggenggam ilmu padi di dalam dirinya berarti ia telah mengantongi “ngelmu tuwa” (ilmu tua): yakni kesanggupan menatap hari depan (akhirat) secara lebih baik.

Jika dicermati secara seksama, betapa manusia Jawa dulu, para pujangga dan Wali, sangatelah menunjukkan kesan bahwa pribadi atau figur mereka adalah seperti ilmu padi atau ngelmu tuwa. Hal itu terbukti dari pesan-pesannya yang diberikan kepada anak cucu berupa tembang Macapat, yang sampai sekarang masih sangat aktual dan sangat penting sebagai bekal dalam hidup dan kehidupan.

Nasihat-nasihat tadi tujuannya agar setiap insan manusia memiliki sikap yang rendah hati, sopan-santun atau menjaga etika dan moral, berbudi pekerti luhur, bijaksana, pemurah, lemah lembut, dan seterusnya.

Kebalikan dari sikap rendah hati yang digambarkan seperti ilmu padi tersebut, yakni seperti pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” atau “air beriak tanda tak dalam”. Artinya, orang yang banyak bicara menandakan bahwa ilmunya belum mendalam. Orang yang demikian biasanya ilmunya hanya sedang-sedang saja alias masih pas-pasan. Lebih-lebih pengetahuan batinnya. Tak ayal, orang lain pun begitu mudah membaca-nya. Alangkah lebih baiknya jika mereka diam saja. Tak banyak bicara. Bukankah diam itu emas? @PAR/*wawan susetyo/nng

Komentar
Loading...