Surabaya Juga Punya Kampung Kauman
Ternyata Surabaya memiliki kampung kampung yang bernama Kauman seperti Jogjakarta dan Surakarta. Hal ini bisa dilihat dari adanya konsep tata ruang Jawa klasik.
REKAYOREK.ID Nama Kampung Kauman sering diidentikkan dengan kota Jogjakarta dan Surakarta yang memiliki alun alun. Identifikasi itu kiranya tidak salah karena Jogjakarta dan Surakarta adalah kota kota yang memiliki konsep tata ruang Jawa klasik. Umumnya tata ruang itu terdiri dari alun alun, di timurnya ada kantor Kabupaten atau kraton, di barat alun alun ada masjid dan di belakang masjid (barat) ada kampung yang bernama Kauman.
Di Jogjakarta misalnya, keberadaan Kampung Kauman dilatarbelakangi oleh pembangunan Masjid Gedhe Kauman Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 29 Mei 1773. Bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I mengangkat abdi dalem untuk menghidupkan aktivitas dalam masjid.
Abdi dalem ini memegang jabatan keagamaan dan mendapatkan tanah dari sultan, sebagaimana diungkapkan oleh Guillaume Frédéric Pijper dalam buku Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX (1987).
Disebut Kauman lantaran warga yang tinggal di kampung ini merupakan abdi dalem yang ditugaskan oleh sultan untuk mengurusi urusan agama, seperti dikutip dari buku “Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah” (2010) oleh Ahmad Adaby Darban. Nama Kauman berasal dari bahasa Arab, qoimmuddin, artinya penegak agama.
Kota kota lain yang memiliki konsep tata ruang Jawa Klasik di Jawa Timur diantaranya adalah Malang, Bangil, Blitar dan lainnya. Bagaimana dengan Surabaya? Apakah di Surabaya ada kampung yang bernama Kauman?
Kampung Kauman
Kota Surabaya adalah kota besar yang relatif lebih moderen. Secara umum, kebanyakan orang tidak mengenal bahwa kota moderen ini pernah memiliki konsep klasik atau tradisional.
Ternyata Surabaya memang memiliki kampung kampung yang bernama Kauman. Kampung yang masih memakai imbuhan Kauman ada beberapa di Surabaya. Misalnya Kemayoran Kauman, Tenggilis Kauman dan Grogol Kauman. Salah satu yang masih menunjukkan bukti adanya konsep tata ruang Jawa klasik adalah Kemayoran Kauman.
Kampung Kemayoran Kauman berada di barat masjid Kemayoran. Kecamatan Krembangan Surabaya. Di depan (timur) Masjid Kamayoran adalah komplek sekolahan Ta’miriyah dan SMP Negeri 2 Surabaya, yang berdiri di atas lahan luas yang dulu adalah lapangan alun alun kabupaten. Sementara gedung kabupatennya ada di timur lapangan yang sekarang telah berdiri gedung Kantor Pos Besar Surabaya.
Struktur tata ruang Kota Jawa klasik sangat jelas tergambar di kawasan Kemayoran ini. Keberadaan komplek kabupaten Surabaya ini juga sudah tergambar pada peta peta lama kota Surabaya.
Selain di wilayah Krembangan, nama Kauman juga ada di kampung kuno Surabaya. Yaitu Kampung Grogol di kelurahan Peneleh, kecamatan Genteng, Surabaya. Namanya Grogol Kauman.
Peneleh adalah komplek permukiman kuno Surabaya. GH Von Faber dalam bukunya “Er Werd Een Stad Geboren” (1953) menuliskan bahwa Peneleh adalah kampung kuno yang sudah ada sejak tahun 1270 M.
Sementara Prof Johan Silas dalam buku “Surabaya Lintas & Langkah” (Pemkot Surabaya: 1994) menjelaskan bahwa kampung Grogol adalah kampung yang sudah ada di era Majapahit. Grogol adalah sebuah perlindungan atau benteng yang melindungi kawasan permukiman di wilayah setempat.
Sedangkan dalam buku “Benteng Benteng Soerabaia” (2011) karya Nanang Purwono, Grogol di wilayah kelurahan Peneleh merupakan bentuk pertahanan klasik di era klasik.
Grogol dalam Bahasa Jawa memiliki dua arti. Pertama, menurut situs puromangkunegaran.com, adalah tempat mengikat hewan hasil buruan sebelum disembelih. Versi lain, menurut Babad Ponorogo, grogol atau grogolan adalah tempat mengintai hewan buruan.
Mengingat Kawasan Peneleh kuno di masa Majapahit atau sebelumnya merupakan hunian para Jawara, maka diduga Grogol adalah tempat dimana para Jawara siap siaga berjaga dan mengintai potensi bahaya yang mengancam peradaban setempat.
Secara geografis, Grogol berada di tengah tengah kawasan kelurahan Peneleh. Diduga di tengah tengah kawasan ini pernah ada titik penting sehingga terdapat sistim penjagaan dan pengintaian dengan toponimi Grogol.
Grogol Kauman
Tat kala kawasan Peneleh telah teridentifikasi kekunoannya melalui temuan arkeologi sumur Jobong di Pandean I, yang berasal dari masa Majapahit di pertengahan abad 15, temuan itu diduga kuat merujuk pada sifat hinduisme.
Sementara, di kampung lainnya di kelurahan Peneleh, seperti Grogol Kauman, memiliki sifat islami. Sifat islami ini dapat diamati dari nama kampung yang berlabel “Kauman”. Maka, jadilah Grogol Kauman.
Sifat islami ini dapat dikenali dari nama Kauman, yang berarti tempat para penegak agama Islam. Mereka adalah orang orang yang memakmurkan tempat ibadah umat Islam. Diyakini bahwa di sekitar kampung Grogol Kauman ini pernah ada masjid yang menjadi tempat ibadah umat Islam.
Kekunoan kampung Grogol, termasuk Grogol Kauman, ini dapat dibuktikan dengan adanya komplek kuburan tua yang dikeramatkan. Tepatnya di Grogol Gang III. Di sana ada tiga kuburan. Dua dikenal dengan makamnya Mbah Cokro dan istri. Sementara satu lagi adalah kuburannya kerabat Mbah Cokro.
Diperkirakan makam tersebut sudah ada sekitar tahun 1500 an. Letak makam ini seperti tersembunyi karena untuk menjangkaunya harus masuk gang kecil dan makamnya berada di balik sebuah mushola. Namanya mushola Al Bafaqihiyah. Kekunoan makam dapat diamati dari batu nisan.
Batu nisan dan jirat biasanya menunjukkan status sosial dan kondisi ekonomi orang yang dikuburkan. Jirat dengan bentuk yang megah merupakan makam orang kaya, para bangsawan dan tokoh masyarakat.
Karena letak makam ini tersembunyi, maka makam ini tidak banyak diketahui orang. Berbeda dengan makam makam kuno lainnya di kampung Peneleh yang posisinya ada di tengah-tengah jalan Kampung.
Makam mbah Cokro ini cukup panjang, sekitar 3 meter. Menurut pendapat umum bahwa kuburan panjang itu bukan karena jenazahnya yang panjang, tapi ini dipakai untuk mengenang jasa jasanya. Sebagian orang lainnya berpendapat bahwa bentuk panjang ini untuk menguburkan senjata yang dimiliki, yaitu tombak.
Menurut warga Pandean, Budi Irawan, bahwa di lokasi makam ini pernah ada pohon yang sangat besar dan tua, kini sudah ditebang dikarenakan akarnya telah menjalar ke rumah rumah warga.
Masih di kampung Grogol, tepatnya di Grogol Kauman II, disana juga terdapat makam panjang lainnya. Makamnya dikenal dengan nama makam Mbah Panjang. Lagi lagi makam panjang. Jika makam panjang berarti wujud dari jasa jasa orang yang dikuburkan di sana, maka mereka adalah orang orang penting di kawasan itu pada eranya. Ada tiga kuburan di komplek makam panjang ini.
Sebagai generasi penerus yang tinggal di kawasan itu, setidaknya mereka harus menjaga dan melestarikan keberadaan makam dari orang orang yang berjasa. Makam sebagai bentuk dan pertanda fisik atas nilai nilai dari orang yang pernah hidup dan berjasa di sana, di kawasan Peneleh. Nilai nilai itulah yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Melestarikan artefak adalah melestarikan nilai nilai luhur yang terkandung.@Nanang
.