Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #12

Cerita Kadek 

Oleh: Jendra Wiswara

Jika dibiarkan berlarut-larut panasnya terik bisa membuat kulit terbakar. Sedikit demi sedikit mataku mulai terbuka. Meski berat aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Terdengar suara jalanan menderu ditimpali ocehan orang-orang.

Dunia mimpi menghilang. Kulihat Yoga masih terbaring di sampingku. Melongok ke dalam masjid, waktu menunjukkan jam delapan pagi. Rupanya kami sudah tertidur 3,5 jam. Lumayan. Meski badan masih pegal setidaknya kami dapat beristirahat.           

Sambil membayangkan perjalanan semalam, kududuk di bawah kubah masjid sambil merasai angin meniup semilir-milir. Lagi-lagi membuat kantuk menggebu-gebu. Di sekelilingku tercium aroma bunga. Lalu kulihat sebuah pesan masuk. SMS dari Kayla.

Membaca SMSmu seolah mendengarkan suaramu. Dapat kurasai kau hadir di sisiku, berbicara denganku kata demi kata. 

Aku merasa tidak sedang membaca baris-baris huruf, tapi mendengar nada-nada cinta yang mengalir dari suaramu.

Selama satu jam kumerasa tentram, tenang setenang bayi yang berhenti menangis karena mendengar lagu buaian. Kumendengar kau memanggilku.  

“Hai tunanganku!

Kata-kata yang kau ucapkan dengan manis dan lembut, bagai suara langit yang merasuki kalbu. Sayang, semua itu cuma khayalan. Doaku, semoga khayalanku kembali dan menjadi kenyataan.           

Aku tak tahu berapa lama lagi jarak Denpasar. Setelah kuamati baik-baik lokasi masjid, rupanya kami sudah separuh jalan. Kami berada di Mendaya, sebuah tempat yang jaraknya 4 kilometer dari Negara.

Buru-buru kubasuh muka. Air pedesaan dinginnya terasa sampai ke tulang. Sebelum mandi, sejenak kubangunkan temanku. Ia masih membisu dengan ketidaksadarannya. Kugerak-gerakkan badannya. Yog…Yog…Yog… 

Perlahan ia membuka matanya dan segera menjawab. Assalamualaikum.

Kutahu perjalanan kami masih panjang. Tak baik berlama-lama di sini, takutnya orang-orang kantor sudah menunggu. 

Rute berikutnya kami harus melewati Pulukan, Suraberata, Soka, Milling, Tabanan dan terakhir Denpasar.

Setelah berbenah kami pun melanjutkan perjalanan. Kata pengurus masjid jarak Denpasar sekitar 3 jam perjalanan. 

Kami sempat mampir di sebuah warung. Pemiliknya orang Madura. Katanya sudah bertahun-tahun di Bali. Melihat penampilan, struktur bangungan warung, dan tentu saja logatnya, kami yakin dia memang orang Madura. Apalagi dengan kumis tebal melintang di atas bibir, jelas dia asli Madura.

Setelah kenyang menyantap nasi gule dan sate kambing buatan pak Kumis, kami segera melanjutkan perjalanan. Kali ini mataku mengawasi setiap gerak-gerik laju roda motor menyapu jalanan. Saat melintasi pantai, serempak pikiran kami mengembara ke mana-mana. Bagiku lautan merupakan sahabat terpercaya, kawan yang menyerap semua yang kau utarakan tanpa mengkhianati rahasiamu, dan selalu memberi nasehat terbaik. 

Suara gemuruh gelombang yang memecah karang dan warna biru laut dapat kau tafsirkan sekehendak hatimu. Sedih atau gembira.

Dalam bayangan kami lautan adalah tontonan baru, aneh sekaligus menggelikan. Hal ini tercermin dalam intensitas tatapan mata kami yang mengikuti setiap gelombang yang menaik lalu akhirnya sirna di bibir pantai. 

Perjumpaan dengan lautan membuat sebuah rute baru yang tak terbatas bagi perjalanan kami. Angin laut yang mengalir deras menembus tubuh kami, tak ayal mengubah pandangan kami mengenai kehidupan manusia.

Manusia layak dijadikan perlambang bahwa dunia masih berputar. Gelombang hidup manusia yang naik-turun sarat akan peristiwa besar yang mengubah diri seseorang–dari orang biasa menjadi luar biasa.

Siapa dapat meramalkan bagaimana bakal jadinya bayi? Jadi ulama atau bajingan, atau sekedar jadi tambahan isi dunia, polos, tanpa apa-apa. 

Lihat saja tokoh politik, ulama, selebriti, seniman, sebelum setenar sekarang ini kira-kira mereka dulunya mereka apa atau mau jadi apa.
 
Kadang malah, mereka ibarat kacang lupa pada kulitnya, lupa tempat kelahirannya, lupa kebiasaan sehari-harinya, lupa teman bermainnya, lupa pada dunia yang dulu pernah menghiasi dirinya. Parahnya mereka lupa pada tujuan hidup yang sebelumnya diagung-agungkannya sendiri. 

Kami tak mau berandai-andai. Mau jadi manusia sukses atau tidak, terserah ke mana nyawa ini membawa. Biar nyawa membawa kami menjauhi kenyataan hidup, setidaknya kami tahu bagaimana caranya bernafas.

Kami masih ingat dengan cita-cita kami, jauh sebelum perjalanan ini digelontorkan. Namun, kami tak pernah menyuruh seseorang untuk mengikuti apa yang kami jalani. Terserah bagaimana perjalanan kami ini ditafsirkan, sebagai sebuah kegagalan ataukah gila-gilaan biar dicap gagah. 

***

Pukul sebelas siang, kami sudah memasuki Denpasar. Ternyata kota ini tak beda jauh dengan kota-kota lain. Ramai, macet, pasar, sopir angkot, dan pelajar. 

Hanya bahasa serta budaya yang beda. Sepanjang perjalanan kami sering melihat orang memberi sesajen ke benda-benda. Mulai motor, gapura, pepohonan serta jalan raya. Selebihnya Bali, sama dengan kota-kota lain.

Kawasan Jalan Hayam Wuruk, ya, di sanalah kami akan menghabiskan waktu kembali menjadi jurnalis. Dari kejauhan sebuah papan besar terpampang di pinggir jalan bertuliskan nama koran terkenal di Bali. Kantor redaksinya biasa-biasa saja. Tidak besar juga tidak kecil. 

Beberapa motor dan mobil pribadi terparkir di pelataran. Kami turun dan memarkir motor.

“Ya Mas, apa ada yang bisa kami bantu?” Tanyanya seorang satpam penuh curiga melihat penampilan kami. 

“Kami dari Surabaya.”

Setelah memperkenalkan diri satpam tersebut mengantarkan kami menuju resepsionis. Tak lupa dia mengingatkan kami bahwa kiriman paket motor dan tas dari Surabaya sudah tiba 2 jam yang lalu. Dia menunjuk motorku. Ah, kekasihku sudah tiba. 

Seorang wanita muda mempersilahkan kami duduk kemudian dia menelpon ke entah siapa, dan memberitahu, “Bu, yang dari Surabaya sudah tiba!”

Tak lama seorang wanita muda berperawakan bongsor dengan rambut tergerai dan wajah berbentuk bulat mempersilahkan kami masuk. 

“Surabaya!” Ia memastikan sembari membawa tumpukan berkas,

Kok baru sekarang datangnya, bukankah seharusnya kalian datang kemarin. Sekarang kalian terlambat.” 

Tersinggung juga. Hati mulai terusik. Belum lagi mulai bekerja hati sudah dibuat berkeping-keping. Apa dia tidak mengerti kesulitan yang kami lalui. Semakin menyakitkan ketika dia membawa kami ke sebuah ruangan kosong di mana kami harus menunggu lama.

Selang 15 menit wanita yang kemudian kami ketahui menjabat sekretaris redaksi merangkap personalia itu mendatangi kami. Tak ada penjelasan kami harus apa dan bagaimana. Bayangan kami merajut sebuah mess-messan seperti yang dijanjikan. Sebab kami sudah terlalu capek menunggu. Lagipula kami juga butuh istrihat untuk memulihkan tenaga. 

Persis tebakanku, wanita tersebut lantas mempersilahkan kami menuju mess-messan yang sudah dibooking 2 hari lalu. Tapi sebelumnya dia memperingatkan kami supaya datang lagi pukul dua siang untuk bertemu dengan Pimpinan Redaksi.

Seorang laki-laki muda mengiringi langkah kami meninggalkan kantor redaksi. Kami diarak menuju sebuah rumah yang berjarak 200 meter dari kantor. Setiba di rumah seekor anjing buduk menyambut kedatangan kami. 

Melihat tampang kami bak preman, anjing tersebut tak berhenti menyalak. Beruntung tuan rumah segera keluar halaman dan segera mengusir anjingnya.

“Husy, Sinyo ayo masuk,” perintahnya, “maafkan anjing kami, memang dia suka begitu dengan orang asing. Tapi kalau mas-mas sudah kenal Sinyo, dia baik kok.”   

Sinyo, keren juga untuk nama seekor anjing. Lalu bagaimana dengan tuan rumahnya. Seorang laki-laki yang menyambut kami memperkenalkan diri.

“Saya Kadek, dan ini istri saya. Dia berasal dari Surabaya. Sama seperti mas-mas ini!” Kami menyambut sapaan dengan renyah.  

Rumah tersebut dihuni oleh empat kepala rumah tangga. Selain Kadek, istri dan anaknya, rumah tersebut juga dihuni kakaknya Agus beserta istri dan anak, juga karyawan koran bagian pemasaran. Kemudian sang adik, Ali. Namanya mirip namaku. Dia seorang seniman asli Bali.

Lukisannya bergambar dewa yang terpampang di dinding rumah menunjukkan bahwa Ali memang pelukis. Sepintas lukisan itu seperti hidup. Menurut Ali, untuk melukis gambar-gambar semacam itu dibutuhkan ritual khusus. Selain menunggu datangnya inspirasi, dia juga memerlukan bantuan dari roh-roh leluhur. 

Kebanyakan pelukis asli Bali, sebelum melukis, mereka melakukan ritual sesembahan terhadap leluhur. Tak ketinggalan memberi sesaji ke kanvasnya. Sayang, kami tidak paham soal lukisan, biar dijelaskan beribu-ribu kali tetap membuat kepala pusing.

Namun, dari pengamatan kami sebagai orang awam, lukisan Ali benar-benar memiliki nilai artistik sangat tinggi. Sementara pemilik rumah yang juga orang tua mereka bernama I Komang. 

Sewaktu kami di sana orang tua Kadek tidak berada di rumah alias sedang mengunjungi keluarga di desa. Saat kami tanya kapan beliau datang, mereka menjawab tidak tahu.

Menurut Kadek, rumahnya kerap menjadi jujugan wartawan-wartawan. Sebelum kami ada dua wartawan asal Surabaya. Setahun berselang, mereka memutuskan angkat kaki bersamaan kepindahan mereka ke koran lain. Tapi ada pula yang memutuskan pulang ke Surabaya karena tidak betah. 

Rupanya penghuni rumah sangat menjaga betul tata krama serta adat istiadat. Barangkali sudah menjadi kewajiban mereka sebagai penganut Hindu, bila kedatangan tamu dari luar kota, khususnya orang Jawa, mereka segera memperkenalkan adat kebiasaan, apa saja yang tidak boleh dilanggar dan apa saja yang harus dipatuhi.

Kadek mengajak kami ke halaman rumah. Dia menunjukkan tempat jemuran yang tingginya tak kurang satu meter dari tanah. Katanya semua jemuran di Bali, khususnya jemuran celana dalam, harus berada satu meter dari tanah mengingat tempat sembahyangan orang Bali tingginya tak kurang 2 meter. Sebaliknya bila jemuran lebih dari dua meter, konon dipercaya akan mendatangkan petaka bagi penghuni rumah. 

Bagi mereka, hal tersebut sama saja menentang dewa-dewa dan roh leluhur. Demikian pula di depan rumah, terpampang sebuah bangunan bercorak Bali menjorok keluar. Bangunan tersebut terbuat dari batu yang dipahat. Bentuknya lebih mirip setan: menyeramkan dan keramat. Lebih menakutkan daripada hantu-hantu di pulau Jawa. Aroma mistik lebih kentara terlebih ketika malam tiba. Pahatan batu-batu tersebut dipercaya orang bali sebagai roh leluhur.

Selain itu kami juga diperkenalkan dengan kuil tempat sembahyang yang terletak di samping rumah. Penghuni rumah memperkenalkan satu persatu isi kuil. Dari mulai nama dewa-dewa hingga nama leluhur. 

Setiap rumah di Bali yang dibangun atau direnovasi harus menyisakan ruang kosong untuk kuil. Hukumnya wajib.

Di Bali, kami juga sering melihat wanita-wanita yang sedang menjunjung sajian pergi ke pura atau pulang dari pura. Setiap desa di Bali mempunyai tiga buah pura atau disebut juga Kayangan Tiga, yaitu Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. 

Di samping itu ada pula pura-pura lain, misalnya pura keluarga, pura irigasi untuk sawah, pura di pasar, pura di kantor-kantor, dan pura di sekolah-sekolah. Ada 6.391 buah Pura, 5.848 buah Kayangan Tiga dan 537 buah Dang Kahyangan.

Dua kali setahun menurut kalendar Bali, di setiap pura diadakan upacara yang penting. Itu berarti di setiap desa diadakan upacara di pura-pura Kayangan Tiga sebanyak enam kali dalam setahun. 

Untuk upacara tersebut wanita-wanita desa itu menjunjung sajian yang terdiri dari buah-buahan, kue, dan ayam panggang ke pura.

Biasanya sajian hanya ditinggalkan di pura selama sehari atau tiga hari sebagai sajian untuk dewa-dewa, kemudian dibawa pulang. 

Sajian yang dibawa pulang tidak boleh dibawa lagi ke pura manapun sebagai sajian tetapi dimakan beramai-ramai oleh seluruh anggota keluarga. Menurut mereka ini adalah penghormatan terhadap dewata dan leluhur.     

Orang Bali sendiri, kata Kadek, dibagi menjadi dua. Bali asli dan Bali Majapahit. 

Bali asli dihuni oleh suku Bali dan suku Loloan. Suku Bali dibagi atas kasta sesuai dengan agama Hindu yang berlaku di Bali, yakni Brahmana, Ksatria, Wisnu dan Sudra.

Masyarakat Bali kebanyakan menganut kasta Sudra yang mencapai 90 persen. Ada tiga tingkatan hubungan sosial di Bali yaitu hubungan dengan kelas yang lebih tinggi, dengan kelas setingkat dan dengan kelas yang lebih rendah. 

Oleh karenanya kedudukan kasta Sudra selalu menempati urutan paling buncit, dan dianggap sebagai kasta rendahan.

Dalam adat pernikahan, kasta Sudra dilarang menikahi kasta Brahmana atau Ksatria. Kalau pun itu terjadi mereka akan diusir dan dikucilkan oleh keluarganya. Sedang suku Loloan tinggal di daerah Kabupaten Jembrana, Bali. Mereka berdiam di beberapa desa seperti desa Pengembangan, Tegal Badeng Islam, Cupel Tukadaya, Banyubiru, Tuwed, Candi kusuma, Sumber Sari, Kelatan dan beberapa desa lainnya. 

Suku Loloan sebagian besar beragama Islam dan tinggal di tengah masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu Dharma. Masyarakat Loloan merupakan keturunan pendatang dari Sulawesi, Kalimantan dan sebagian dari Malaysia.

Sementara Bali Majapahit, kata Kadek, didiami oleh suku yang dulunya mayoritas penduduknya berasal dari Jawa atau Majapahit. 

Menurut sejarah, pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 Masehi, perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit.

Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Using) dan Bali. Hal ini terlihat dari corak kehidupan Bali Majapahit yang memperlihatkan budaya Hindu-Budha Majapahit. 

Kendati demikian tak ada perbedaan yang menyolok antara Bali Asli dan Bali Majapahit. Dalam prosesi perkawinan dan sesembahan keduanya sama. Yang berbeda cuma prosesi pemakaman.

Kadek menceritakan, kalau Bali Asli proses pemakamannya dilakukan dengan cara mengubur jenasah atau diletakkan di sebuah pohon rindang di pinggir danau. Pohon itu nantinya menyerap daging-daging manusia sehingga tidak menimbulkan aroma busuk. Sedang proses pemakaman Bali Majapahit dilakukan secara Palebon atau Ngaben. 

Upacara perayaan inilah yang paling diminati orang asing. Untuk orang Bali Majapahit upacara pembakaran mayat merupakan salah satu upacara yang paling penting.

Menurut kepercayaan orang Bali, orang yang meninggal dibakar atau diaben agar lima unsur penyusun badan kasarnya cepat kembali dan menyatu dengan asalnya. 

Tetapi tidak semua orang yang meninggal dibakar,” kata Kadek.

“Kenapa begitu?” Tanyaku.

“Ada juga yang dikubur terlebih dahulu sebelum dibakar. Ada beberapa alasan, misalnya belum cukup biaya untuk melakukan upacara Ngaben. Upacara itu boleh dilakukan beberapa tahun setelah orang itu meninggal atau setelah pihak keluar mempunyai cukup biaya.

Sementara bagi Bali Asli, lanjut Kadek, upacara pemakaman memang dikubur dan tidak diaben. Namun ada juga Bali Asli yang melakukan upacara Ngaben karena dianggap memiliki kesakralan dan kekeramatan. 

Dulu ada tradisi–entah namanya apa–bila seorang wanita menjadi janda setelah ditinggal mati suaminya, maka si janda mengorbankan diri dalam tradisi pembakaran diri bersama jasad suaminya alias dibakar hidup-hidup.

Beruntung pada jaman Hindia Belanda tradisi semacam itu kemudian dilarang. Tak ada lagi wanita boleh meliuk jadi arang mengikuti sukma mendiang suami. Seandainya sampai sekarang tradisi bakar diri para janda masih berlaku, entah berapa banyak wanita-wanita Bali yang menjadi korban tradisi.     

Selama hampir dua jam kami diperkenalkan Kadek budaya Bali. Dan anehnya, kami tak merasa risih, bosan, atau jenuh. Malahan ini merupakan hal baru bagi kami. Kesempatan ini jarang kami temui di Jawa.

Sebagai anak bangsa, kami wajib menghargai dan menghormati budaya leluhur. Kalau kami boleh menyebut budaya Bali termasuk bagian dari mikro kosmos atau miniatur peradaban dunia yang nyaris punah. Unsur mistik dan kepercayaannya sangat kental. 

Dan yang kami lihat, masyarakat Bali adalah satu-satunya peradaban bangsa kuno yang hingga sekarang masih memegang kuat identitas ke-Bali-annya. Bukan itu saja–tanpa meninggalkan unsur modernisasi–mereka menerapkan budaya-budaya leluhur dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah uniknya Bali. Ketika daerah lain mulai kehilangan identitasnya akibat pengaruh luar, Bali justru makin kuat identitasnya. 

Adalah pemandangan biasa kalau sehari-hari kita menyaksikan laki-laki dan perempuan Bali berjalan atau naik motor dengan pakaian adat menjunjung banten di atas kepala melewati serombongan surfer bertelanjang dada, atau bahkan seorang pemangku berbaju putih dan perlengkapan upacara lengkap memegang dupa yang terbakar dengan khusuk berdo’a di pantai Kuta di samping seorang perempuan bule berbikini yang sedang berjemur di bawah sinar matahari.

Kiranya waktu dua jam tak cukup bagi kami untuk mengenal Bali secara keseluruhan. Sebab kami harus bertemu dengan petinggi koran. Tanpa mempedulikan waktu istirahat, pukul dua siang kami menemui Pimpinan Redaksi. Jauh dari perkiraan kami sebelumnya, di sana kami disuguhi sebuah peristiwa pertentangan batin yang kemudian mengubah jalan hidup kami untuk tidak menetap lama-lama di Bali.

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...