Titik Nadhir #14
Kalah Sebelum Perang
Oleh: Noviyanto Aji
Membaca satu persatu lembaran yang diberikan Heru butuh waktu lama. Belum lagi kami harus mendengar ceramah dia selama berjam-jam soal penafsiran pasal-pasal di atas tadi. Benar-benar melelahkan. Apalagi saat itu kondisi kami sangat drop setelah melakukan perjalanan panjang.
Dan kini, kami dipaksa untuk membaca kode-kode etik jurnalis secara runtut.
Sesuatu tiba-tiba terjadi manakala penjelasan Heru memasuki pasal: wartawan tidak boleh menerima suap.
Secara tak sengaja kami mengerutkan dahi dan menguap. Bukan sengaja tapi karena kami benar-benar kelelahan. Ekspresi kami disalahartikan. Heru sudah menohok kami dengan anggapan keliru.
Cap sebagai wartawan amplop tiba-tiba terlontar begitu saja. Hal ini kami ketahui ketika Heru mengadu ke Lakila, tepat sehari sebelum kami memutuskan menolak bergabung dengan koran tersebut.
Sebuah penilaian dini yang sebetulnya tidak boleh terjadi. Apa hak dia menilai kami–dengan hanya melalui kerutan dahi–sebagai modal kejelekan dan kebobrokan karakter? Toh, dia bukan psikiater.
Bukankah dalam agama itu dinamakan buruk sangka. Dan buruk sangka termasuk perbuatan tercela.
Memang benar seorang wartawan dituntut untuk bersikap skeptis (memiliki rasa ingin tahu). Namun ada juga batasan-batasan yang tak semestinya dilanggar, yakni privasi. Perlakuan Heru terhadap kami merupakan dampak dari prinsip-prinsip jurnalis yang dipegangnya sendiri. Dia sudah termakan oleh kata-katanya sendiri. Menyedihkan.
Pertemuan pertama usai pukul lima sore. Kami kembali ke mess. Pertemuan kedua dijadwalkan pukul sepuluh malam. Materi yang dibahas tidak melenceng dari teori-teori jurnalis beserta tetek bengeknya. Kali ini kondisi Yoga sudah drop. Setelah minum obat, ia langsung tidur.
Kepadaku Yoga minta ijin tidak hadir. Sedang aku sendiri lupa mengganti waktu dari WIB menjadi WITA. Sehingga ketika pertemuan kedua dimulai, aku terlambat 15 menit. Namun keterlambatan serta keteledoran kami ditanggapi Heru dengan sinis. Dia menganggap kami tidak professional. Bertubi-tubi tuduhan kesalahan dilontarkan padaku.
Merasa tersudutkan dengan komentar sang pemimpin, Yoga kupaksa untuk segera hadir ke kantor dalam kondisi apapun dirinya. Tak lama kami bertemu di ruang redaksi.
Umumnya ruangan redaksi, kami melihat komputer-komputer berjajar di atas meja, tumpukan koran terpakai atau usang bergeletakan dimana-mana, berkas-berkas tak beraturan, orang-orang berseliweran, alat tulis, recorder, televisi, dan white board. Cuma, kami tak menemui satu pun asbak rokok.
Kami memasuki ruangan rapat, tak lama Heru menyusul dengan wajah kusam penuh kekecewaan. Firasat kami mengatakan, kami bakal jadi pesakitan yang dibantai habis-habisan. Kali ini Heru tidak lagi mengandalkan semangat jurnalis. Dia lebih mementingkan faktor emosional.
“Keterlambatan kalian membuat saya tidak mood lagi. Sudah 15 menit saya menunggu kalian. Dan ternyata kalian bukan seorang professional. Padahal tadi saya sudah akan menjelaskan teori-teori jurnalis. Sekarang, jangankan menjelaskan, melihat keseriusan kalian saja saya tidak mood. Saya malah sangsi apakah kalian serius bergabung dengan kami.”
Ucapannya terdengar seperti tuduhan.
Untuk kesekian kalinya kami disuguhi tontonan kesombongan dan keangkuhan. Bedanya, kesombongannya lebih kentara dibanding sebelumnya.
Kami menyadari ada arus kemarahan yang sedang bergerak dan mencari muara, karena merasa dipandang sepele.
“Wah, jangan-jangan sebentar lagi ini akan meledak,” gerutuku.
“Apakah lembaran standar jurnalis yang saya berikan sudah kalian baca?” Pertanyaan Heru membuyarkan lamunan kami. Kami pun menjawab dengan gelengan kepala.
“Yah, itulah kesalahan anak-anak muda jaman sekarang, tidak pernah melihat sekelilingnya. Mereka tak pernah suka membaca. Maunya enaknya sendiri. Di sini setiap pagi dan malam semua wartawan saya wajibkan membaca koran-koran, khususnya korannya sendiri. Bila tidak, mereka akan terkena sangsi.”
Dia tersenyum renyah. Bahunya digoncang-goncangkan. Tapi senyumannya tidak keluar dari syaraf senyum yang menggelitik.
Bicara soal membaca, Heru belum tahu apa-apa soal kami. Berapa tumpuk buku, berapa puluh buku, berapa berat buku yang harus kami boyong dari Surabaya. Dan rata-rata semua buku sudah kami habiskan isi ceritanya. Bila dia ingin mengadu kesombongan bukan di sini tempatnya.
Memang dia seorang berpengalaman, tapi bukankah seorang yang banyak makan garam seharusnya lebih bersikap arif dan bijaksana.
Kami tidak ingin beradu argumen dengan semua kata-katanya. Lagipula itu bukan tipe kami.
Lagipula usia Heru jauh lebih tua. Dia lebih berpengalaman. Kata mbah-mbah dulu, menghormati orang yang lebih tua pahalanya berlipat-lipat.
Jadi kami memilih diam dan membiarkan Heru mengumbar kata-katanya. Dengan begitu masalah keterlambatan dan keteledoran bisa dimaklumi. Sayang, perkiraan kami melenceng. Entah berapa kali Heru mengatai kami sebagai orang-orang tidak profesional. Serta, berapa kali pula dia membangga-banggakan kehebatan korannya sendiri.
Semakin dia banyak bicara, semakin menurun rasa hormat kami. Kami melihat kesombongan telah mengalahkan segalanya. Kepala kami seperti ditusuk-tusuk jarum pentul. Meski permukaannya tidak sakit, dalamannya terasa pengap dan menyesakkan.
“Di sini jangan harap kalian bisa santai-santai. Semua karyawan di sini harus mengikuti aturan saya, wartawan, redaktur, pemasaran, iklan, hingga cleaning service. Di sini semua keputusan ada di tangan saya. Satu pintu. Jadi kalian tak bisa seenaknya seperti tadi. Jika melanggar kalian bisa saya pecat. Saya bukan sekali saja memecat orang. Sebelum ini saya sudah memecat wartawan karena mengenakan sandal jepit di kantor,” ceritanya dengan bangga.
Tampak kedua tangannya disilangkan. Senyumannya diumbar, agak menakutkan. Anak kecil pasti akan lari melihat ekspresi orang tua itu. Pun kata-kata pahitnya masih meluncur dengan deras seperti tak ada ujungnya.
“Saya tidak peduli berapa banyak orang yang tidak betah dan memutuskan keluar dari sini. Yang jelas peraturan tetaplah peraturan. Toh, saya bisa mencari lagi penggantinya. Buktinya masih ada orang-orang yang bersedia mengikuti saya. Mereka bekerja dengan baik. Wartawan koran ini setiap hari diwajibkan mencari, mengumpulkan dan menulis berita. Di sini berita ada pointnya. Bagi berita yang berbobot dan dimuat di halaman depan, nilainya tinggi,” terangnya.
Masih kata Heru, jika dalam sebulan wartawan dapat mengumpulkan point di atas 1000 akan dapat bonus.
Soal iklan dan pariwara, lanjutnya, harus diseleksi dengan cermat. Tidak sembarang iklan komersil dapat ditayangkan.
“Di sini tidak ada bonus buat pemasang iklan. Jika mereka mau membayar tarif seperti order kami, okelah, tapi jika tidak silahkan pasang iklan di media lain. Seperti yang kalian tahu koran kita sangat menjaga image. Intansi-intansi pemerintahan telah mengenal koran ini. Image koran kita sangat baik, dikenal dan dihormati. Penyebaran sudah meluas di seluruh Bali. Dan perlu kalian ketahui, koran ini tidak memiliki retur atau pengembalian walau oplahnya tidak banyak-banyak amat. Bahkan, karyawan koran ini tidak boleh sembarangan mengambil koran. Jika mereka mau membawa pulang koran, mereka harus membeli korannya sendiri. Setiap halaman di koran ini memiliki kekuatan sendiri-sendiri, seperti halaman ini…,” Heru lantas membalik-balik koran dan menunjukkan pada kami halaman per halaman.
Aku ingat betul saat itu Heru bercerita tentang penemuan mayat turis manca negara yang tenggelam saat berselancar di pantai Kuta. Lalu ada sebuah kelompok masyarakat pinggiran yang mengalami kekurangan gizi turut diberitakan. Ada pula berita mengenai sebuah pedesaan di mana penduduknya kekurangan pasokan air bersih sehingga nyaris semua penduduk terkena diare.
Tak ketinggalan berita pembunuhan seorang suami terhadap istri dan anaknya. Lagi-lagi dengan bangga dia merujuk kehebatan korannya karena berhasil memuat berita–yang menurutnya eksklusif.
Kendati demikian, di mata kami, koran Heru belum terlalu istimewa. Mengenai berita heboh, di Surabaya, khususnya seputar Jawa Timur hampir setiap hari kami melihat berita-berita “heboh” semacam itu disertai foto-foto.
Kalau mau sombong-sombongan, kami pernah menulis berita pembunuhan dari terencana hingga yang paling sadis. Begitu juga berita KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), perkosaan hingga pencabulan. Ada juga berita perselingkuhan, korupsi hingga berita teroris ditembak mati.
Kalau mau sombong-sombongan, semua berita itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Berita ekseklusif, bagi kami adalah ketika berita tersebut mampu menciptakan suasana sedih dan bahagia bagi pembacanya. Selebihnya semua berita tak ada yang istimewa alias biasa-biasa.
Di Indonesia, surat kabar memainkan peran sangat penting baik dalam era sebelum merdeka, yaitu membantu perjuangan kemerdekaan, maupun dalam era sesudah kemerdekaan, yaitu membantu kelancaran pembangunan.
Di era modern sekarang ini, fungsi media makin komplit. Media mencoba menerangkan, mengajar, mengajak, menjajakan pikiran-pikiran. Di belakang koran modern bukan hanya mesin-mesin cetak yang tertata rapi, juga mesin-mesin otak. Ada yang berusaha menampilkan berita-berita kontroversial (in concept), bisa di-create (diciptakan) atau menyesuaikan kejadian dan peristiwa yang sedang berkembang.
Terlepas dari segi bisnisnya, kemunculan media-media berkonsep otak ini kiranya dapat meraih simpati dan perhatian masyarakat sehingga informasi yang diberikan gerak cepat yang sampai pada telinga pembaca atau pendengarnya.
Setiap media adalah produk yang lahir dari formula keredaksian. Gaya inovatif, pembaharu, pencetus dan atau pelopor yang kemudian rame-rame dikembangkan oleh media-media besar maupun kecil agar bertahan di tengah-tengah era globalisasi. Tentunya berita-berita yang disajikan harus memenuhi standar jurnalis, seperti gaya bahasa yang baik dan benar, konteks isi dan penulisan, serta pemakaian kaidah-kaidah tata bahasa.
Kami melihat koran yang dipimpin Heru belum memiliki karakter kuat sebagai koran besar, meski image yang dibangun sudah bagus dan bahkan sudah kelebihan image.
Di era globalisasi, sebuah media besar dan berkembang bukan karena jualan image melainkan lahir dari pemikiran-pemikiran yang hebat. Tentunya hal itu tak bisa dilakukan sendiri melainkan harus melibatkan campur tangan pihak lain, umum, orang banyak.
Bila dijadikan perbandingan, kemajuan koran-koran di Surabaya sangat pesat, mengungguli koran di Bali. Dilihat dari segi berita, tata bahasa, konteks, isi, ide, konsep, serta penjudulan,
Koran Heru, kami melihat masih banyak ditemui kekeliruan. Persisnya koran ini belum mendekati kreatif, jauh dari inovatif.
Kata-kata Heru yang heboh dan menggebu-gebu mengenai teori jurnalistik belum mendekati realitas.
Boleh saja koran Heru memenangkan image, tapi dia tetap kalah dalam segalanya. Bahkan kami tak menemui suatu kekuatan yang berhasil digalangnya.
Kebebasan koran ini sebagai koran lokal telah dikoyak-koyak oleh sebuah sistem konvensional. Kami menyebutnya kolot. Dia tidak berbicara mengenai syarat-syarat lain. Memaksa. Hanya satu: unity of mind, satu sikap yang seia-sekata.
Mungkin di era Heru dulu–di mana orang-orangnya masih idealis–dia pernah berhasil menjadi jurnalis handal. Menginjak era reformasi, dunia pers sudah memiliki dunianya sendiri sebagai komoditi industri.
Apalagi hari gini, orang masih diperintah-perintah, bukan jamannya. Itu bila melihat kehendak pemimpin yang notabene satu pintu, satu kebijakan, dan satu pemikiran.
Kami rasa sistem kolonial semacam itu bukan termasuk kategori kami. Awalnya keberangkatan kami ke Bali didorong oleh janji-janji Lakila bahwa kami dapat beraktualisasi, mengembangkan pemikiran-pemikiran baru, serta menciptakan konsep-konsep yang membangun bagi kemajuan koran. Akan tetapi janji-janjinya tak semulus pelaksanaannya.
Kami terhambat oleh Heru serta kebudayaan feodalistiknya. Mustahil bagi kami mengikuti pola-pola kolot tersebut.
Yang kami dapati malam itu Heru masih berbicara panjang lebar soal kesenioritasan, jurnalistik, peraturan-peraturan, serta kebanggaan. Telinga serasa capek mendengarnya. Aku baru sadar ternyata telinga manusia juga bisa lelah.
Sayang kami tak bisa berbuat apa-apa. Lagi-lagi adat Jawaisme–menghargai orang yang lebih tua–masih membekas di jiwa. Kami pun menunggu Heru menyelesaikan kata-kata terakhirnya. Dua jam ditunggu-tunggu akhirnya meluncurlah sebuah ucapan penghabisan.
“Sekarang terserah kalian, apakah masih berminat untuk bergabung dengan kami. Menurut saya sebaiknya dipikir-pikir dulu.”
Dia berhenti sembari memelototi kami. Yoga diam. Dia menunggu jawabanku. Melawan berarti benjut, pikirku.
Orang seperti Heru bukan dilawan dengan emosi. Dia tidak peduli berbagai alasan yang kami utarakan. Untuk meredam suasana aku harus mengambil hatinya, meminta maaf dan merendah kalau perlu, baru setelah itu selesai.
Permintaan maaf dimulai dari aku, lalu diikuti Yoga. Benar juga, ketegangan akhirnya mereda. Malam itu kami undur diri. Esoknya, kami sepakat menyudahi keinginan untuk bergabung di koran Heru.
Sewaktu hal ini diketahui Lakila dan Emma, mereka sempat mengolok-olok serta menasehati kami. Mereka bilang kami adalah orang-orang yang kalah sebelum perang. Kalah sebelum perang (menyerah) lebih baik daripada menciptakan sebuah peperangan, pikir kami.
Kami berharap, dengan ikhtiar darurat itu, kami akan membawa diri melewati segala rintangan. Untuk sementara kami memandang Heru bukanlah sosok pemimpin yang pas. Dia lebih tepatnya seorang penguasa.
Ketika teman-teman di Surabaya bilang kami kalah sebelum berperang, sesungguhnya kami bersyukur karena pengalaman kami tentang kepasrahan akhirnya bertambah.
Mungkin, kami bukan orang yang baik. Terkadang masih melenceng dan belum bisa genap menjalankan kewajiban.
Kalau sudah begini keadaannya, ya bismillah saja. Semoga pilihan yang kami ambil tidak salah. Menyerah bukan akhir segala-galanya. Mundur di tengah kegagalan dan kesuksesan tidak sama dengan menyerah.
Kadang dalam peperangan kita menang, atau bahkan kalah sekalah-kalahnya.
Kata orang, mengakui kekalahan adalah suatu tindakan gentlemen. Menyerah demi pembenaran diri, demi perdamaian bukankah lebih baik. [bersambung]