Titik Nadhir #20
Goodbye
Oleh: Noviyanto Aji
Malam itu kami tidak jadi menginap di hotel. Kuputuskan untuk menghabiskan waktu semalaman di pantai Kuta. Tentunya bersama Selin. Sementara Yoga dan Tessa, mereka tetap asyik bercengkraman. Mereka, otomatis mengikuti aku.
Dapat kulihat tatapan Yoga sebentar-sebentar melirik ke aku, berharap aku segera menyudahi bercengkraman dengan Selin dan memutuskan masuk ke hotel untuk mengeksekusi gadis bule tersebut. Namun tak kugubris. Aku berpura-pura tetap dengan keasyikanku. Memeluk Selin.
Sementara Selin tampak manja. Dia berusaha untuk mengganti posisinya. Kali ini dia duduk di depanku. Tanganku ditariknya ke depan agar dapat memeluknya. Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dengan posisi seperti itu, aku bebas memeluk Selin meski membelakanginya. Bahkan sesekali Selin menoleh ke belakang dan meminta aku menciumnya. Dan lagi-lagi, bibir bertemu bibir. Ah, romantis sekali.
Sesekali aku melepaskan ciuman. Hanya ingin menatap mata birunya. Ya, mata itu berkilau seperti bintang kejora. Selin pun memandangiku tanpa berkedip. Dan bibirnya, benar-benar meruntuhkan iman. Ia tidak keberatan aku menciumnya berkali-kali.
“Mengapa diam, Al,” tegur Selin.
Sepertinya aku lebih tertarik memandang wajah Selin ketimbang bersuara. Wajah itu telah menggugah semua pendalamanku. Aku seperti terhipnotis oleh kecantikannya.
“Malam ini indah, Sel. Tapi tak ada yang lebih indah darimu,” pujiku.
“Ah, kau bisa saja.”
Selin tersipu malu. Lalu kembali menciumku. Jantungku kembali menggila. Lalu kulepas Selin. Kupandangi lagi. Giginya nampak gemerlapan, lebih indah dari semua mutiara di bumi ini.
Sungguh kecantikan Selin memang memukau. Aku mengagumi sekaligus memujanya. Beruntung aku dapat menikmati anugerah itu, walau sebenarnya aku sangat ingin lebih dari itu. Tak pernah aku merasa sebahagia itu. Apakah aku harus ikut dengan Selin ke negaranya?
Ah, ini hanya halusinasi saja. Budaya kami berbeda. Penyatuan jiwa kami hanya berlaku pada malam itu saja. Bali yang telah menyatukan kami. Setelah kami pulang, semuanya akan baik-baik saja.
“Setelah ini, apakah kita akan bertemu lagi, Al!” Selin berkata dengan suara agak serak. Sepertinya ia tidak merelakan berakhirnya malam tersebut.
“Entahlah, Sel. Aku juga tidak ingin ini berakhir.”
“Kenapa kita diciptakan seperti ini.”
“Aku tidak paham maksudmu.”
“Kau dan aku, kita beda budaya. Beda bahasa. Beda negara. Beda agama. Kita berjauhan. Kenapa aku dan kau tidak dicipta dalam satu tempat saja.”
Pertanyaan Selin menenggelamkan kemewahan dan perbedaan. Kata-kata Selin seperti mempertanyakan awal mula penciptaan Tuhan pada makhlukNya. Memang banyak sekali manusia berontak pada Tuhan. Tidak terhitung banyaknya. Semua mengeluh pada Tuhan. Karena berada pada situasi dan kondisi yang tidak diinginkan. Aku merasa Selin seperti itu. Jujur, aku pun demikian.
“Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu, Sel,” jawabku.
“Aku iri pada orang-orang yang bisa bersatu, meski budaya mereka beda. Aku ingin seperti itu, Al.”
“Aku juga, Sel,” kusahuti harapan Selin.
“Aku tidak suka perbedaan. Aku merasa semua manusia sama. Adanya perbedaan hanya membuat kemunafikan saja. Orang-orang gampang terpancing gara-gara perbedaan. Dunia perang karena perbedaan. Apa yang sebenarnya diharapkan dengan perbedaan itu.”
Kudengarkan kata-kata Selin makin tajam dan menusuk. Aku terpesona dengan gadis bermata biru itu. Ia tidak cuma cantik, juga punya pikiran luas.
Selin menatap aku. Kepalanya agak meneleng. Seperti berharap aku membenarkan kata-katanya. Tentu saja aku menyiyakan. Tapi di sisi lain, terdengar peringatan pada batinku, awas perbedaan juga menjadi tameng bagi kehidupan manusia. Adanya perbedaan, menjadi sebuah aturan bagi manusia agar tidak sembarangan melangkah. Tak semua perbedaan buruk. Hanya manusia-manusianya saja yang menganggap perbedaan itu tidak adil. Yang benar, perbedaan itulah yang harus disatukan.
Aku tidak mungkin saat ini bisa bersama Selin jika kami memiliki kesamaan. Aku bersama dia, begitu pula Yoga dan Tessa, karena kami dipisahkan dengan perbedaan. Di situ kami mencari perbedaan agar bisa menyatu, meski hal itu sangat sulit.
“Al, setelah ini kau mau ke mana?”
“Entahlah, Sel. Aku tidak tahu dengan jalan hidupku sekarang ini. Kemarin aku bercita-cita menjadi manusia bebas. Setelah itu terwujud, aku kini yang bingung mau bebas seperti apa.”
“Apakah kamu akan kembali ke Surabaya?”
“Sudah terlanjur malu aku kembali. Baru beberapa hari aku pergi.”
“Terus kamu mau ke mana?”
Aku menggeleng.
Selin bisa merasakan kebingunganku. Ia membalikkan badan. Menciumku lagi.
“Aku ingin kita tetap berhubungan meski nanti dipisahkan oleh jarak yang jauh.”
“Sama Sel. Kita tidak tahu apa yang dilakukan oleh waktu terhadap kita. Mungkin suatu hari nanti kita dipersatukan dalam perbedaan.”
“Harapanku demikian.”
***
Tak terasa fajar mulai menyingsing di pantai Kuta. Terlihat pasir memutih. Ombak pantai bergulung-gulung riangnya. Sebagai pengingat bahwa inilah waktunya aku dan Selin berpisah. Kulepaskan dekapanku dari Selin.
Kami bangkit. Namun gadis bermata biru itu tak mau melepaskan tanganku. Langkah kami diikuti oleh Yoga dan Tessa. Entah bagaimana cerita dua sejoli itu. Aku yakin mereka tetap menggunakan bahasa isyarat, lalu bahasa tubuh, agar memudahkan berkomunikasi.
“Inilah saatnya kita berpisah, Al!” Seru Selin.
Ya, kami sepertinya sudah tahu jalan hidup masing-masing. Aku kembali ke jalanku, dan Selin ke jalannya.
“Aku akan menghubungimu, Sel.”
Kupandangi wajah cantiknya sekali lagi sebagai pengingat.
“Kamu bisa menghubungiku di nomer ini,” Selin menyodorkan kontaknya, buru-buru kutolak.
“Lebih baik kita berkomunikasi lewat email saja,” jawabku.
Selin rupanya tahu jalan pikiranku. “Itu lebih baik,” balasnya.
Kami pun melangkah meninggalkan pantai Kuta. Menuju hotel tempat mereka menginap. Aku dan Selin terus bergandengan tangan. Temanku melakukan hal yang sama.
Sesampai di depan hotel, Selin untuk kesekian kalinya mengajukan penawaran menggiurkan.
“Kamu yakin tidak mau menginap bersamaku!”
“Jawabanku tetap sama, Sel.”
“Kamu orang baik, Al. Kudoakan yang terbaik buatmu.”
Selin memelukku dan mencium untuk terakhir kalinya. Tak lama ia melepas pelukan dan meninggalkan diriku. Langkahnya diikuti Tessa. Dari jauh gadis bule itu sempat menoleh dan melambaikan tangan.
“Goodbye,” ucapnya tanpa terdengar suara tapi aku bisa membaca gerak bibirnya.
Kubalas lambaian tangan serupa.
Bayangan mereka pun hilang di balik kemewahan hotel. Temanku melakukan hal yang sama. Namun aku mengetahui ada ruang kekecewan tertinggal di temanku.
Saat menuju parkiran, Yoga terus-terusan berkata padaku.
“Semalam aku dan Tessa menunggu kalian.”
“Menunggu ke mana?”
“Kan kita mau menginap di hotel. Mereka yang bayar. Aku dengan Tessa, kamu dengan Selin.”
“Kamu yakin itu. Dari mana kamu yakin mereka mau diajak tidur. Kamu kan tidak bisa paham bahasa mereka,” kataku memastikan kata-kata Yoga.
“Buktinya kita bercengkrama di pantai sampai pagi.”
“Selin bilang padaku dia tidak mau diajak tidur. Kalau Selin mau, sudah pasti sekarang kita tidur di hotel.”
“Oh begitu. Ya sudah, kita balik ke kos-kosan saja,” ujar Yoga tidak bersemangat.
Beruntung temanku tidak paham bahasa bule-bule itu. Sehingga aku mudah berpura-pura di hadapannya. Temanku itu tidak paham betapa terbebaninya aku dengan dosa-dosa jika sampai hal itu terjadi. Mungkin dia telah disilaukan dengan kemolekan gadis-gadis bule itu. Sehingga lupa bahwa di rumah ada istrinya sedang menunggu dalam keadaan hamil tua.
Kadang kebohongan ada baiknya juga.
Soal Selin, entah apa yang ia sampaikan pada Tessa selepas kami berpisah. Aku yakin gadis bermata biru itu tidak berbohong pada temannya. Aku yakin Selin akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajaknya tidur. Apakah Tessa kecewa seperti kecewanya temanku, apakah Selin kecewa, apakah aku kecewa, tentu kami semua kecewa. Tapi kekecewaan ini suatu saat akan berbalas kebaikan bagi diri kami. Aku tak mau menduga-duga lagi. Biarlah waktu mengiringi langkah kami.
[bersambung]