Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #25

Shodancho Supriyadi

Oleh: Jendra Wiswara

Paginya pukul tujuh, sewaktu jalanan dipadati orang-orang berangkat ke kantor, kukebut motorku sekencang-kencangnya. Meninggalkan semua kenangan di Denpasar. Angin berhembus mengiringi mesin motor dan debu jalanan. Kurasakan kebebasan kembali menemaniku.

Bayangan Yoga muncul: Sahabat, bagaimana kabarmu. Sudahkah kau urus anak dan isterimu, apakah isterimu sudah melahirkan?

Aku merangkak terus tanpa mempedulikan belakangku. Sesekali saja bayangan Selin dan Astrid muncul menyertaiku. Al, kau lelaki sekaligus manusia paling bodoh sedunia. Mengapa kau tinggalkan Selin dan Astrid. Kau bisa saja memintanya menjadi kekasihmu seperti dulu. Bukankah mereka cantik? Kenapa cintanya kau sia-siakan. Dasar bebal. Goblokmu tidak ketulungan. 

Lalu bayangan lain menyepakku. Tidak, Selin dan Astrid bukan milikku. Lagipula, aku sudah punya Kayla.

Kebolongan dan kekosongan hati ini terasa menggerumuti pedalamanku. Hanya dua insan yang tahu mengapa. Karuan semua bayangan Selin dan Astrid buru-buru kupeti-eskan. Semakin lama memikirkan mereka, justru aku yang paling menderita dibuatnya. Aku yakin sebentar lagi ia bakal melupakanku. Kututup buku untuk selama-lamanya, dan…selamat tinggal sahabat tercinta. 

Selama empat jam berkendara tak terasa aku sudah tiba di Gilimanuk. Penyebrangan kali ini cenderung mudah dan tidak berbelit-belit. Pemeriksaan rutin yang dilakukan petugas kepolisian tidak terlalu memberatkan.

Keluar dari Bali tak perlu mengeluarkan isi barang bawaan. Cuma, seorang petugas sempat bikin aku jengkel. Sewaktu memeriksa STNK dia bilang begini, Lho, ini pajaknya mati. Bagaimana kok 2 tahun belum bayar pajak. Mau coba-coba melawan hukum ya. Kamu bisa ditilang ini! 

Sontoloyo, tahu apa dia soal pajak. Atau dia memang sengaja mencari-cari kesalahanku. Aku menduga mungkin dulunya dia masuk akademi dengan cara menyuap, karena kebanyakan aparat seperti itu. Nah, untuk mengembalikan modal awal, segala cara dipakainya termasuk mencari kesalahan orang lain, yang sebetulnya kesalahannya tidak seberapa bila dibandingkan peringatan yang diberikan.

Di Surabaya oknum polisi bermental suap semacam ini dapat ditemui di sudut-sudut kota. Malah ada petugas bersembunyi di balik keramaian dimana ketika ada seorang pelanggar dia tiba-tiba muncul bagai pahlawan kesiangan. Acara tilang pun dimulai. Ujung-ujungnya damai. Benar-benar memalukan korpsnya

Yang mengherankan justru perbuatan oknum polisi lalu lintas yang bertugas di jalan-jalan protokol. Begitu melihat mobil berplat luar kota, nyaris semua distop dan ditilang. Dapat ditebak bagaimana kemudian endingnya. Atau perhatikan jalanan sepanjang pantura, agar tidak mendapat masalah selama perjalanan semua pengendara truk wajib menyetor pajak ‘dadakan’ di pos-pos polisi. Pungli namanya. Menjijikan.

Aku sampai mengelus dada melihatnya. 

Dan kini petugas yang kuhadapi tak jauh beda dengan mereka. Demi sebungkus rokok atau tambahan biaya susu anaknya, dia menghalalkan cara memanfaatkan kesalahan orang lain.

“Kamu harus ditilang?” Katanya. 

“Maaf, pak. Bagaimana Anda akan menilang saya? Kesalahan apa yang telah saya perbuat?” Bantahku meski hati ini ketar-ketir dibuatnya.

Pajakmu belum dibayar,sambut polisi yang usianya seumuran denganku.      

“STNK saya tidak mati, cuma saya belum bayar pajak. Bagaimana mungkin Anda menilang saya karena pajak. Setahu saya di undang-undang tidak disebutkan orang ditilang karena belum bayar pajak. Dalam undang-undang disebutkan seorang pengendara dapat ditilang bila melanggar rambu-rambu, bila tidak memiliki kelengkapan kendaraan bermotor, tidak memiliki surat-surat lengkap, tidak mengenakan helm.”

Polisi muda itu diam. Raut mukanya berubah merah. Ia merasa terpojok dengan kata-kataku. Aku berhasil memadamkan kesombongannya. Beruntung aku masih ingat ajaran teman-teman dari fakultas hukum. Sehingga sedikit banyak dapat kupraktekkan di hadapan polisi muda bermental korup tersebut. 

Namun mengingat egonya terlalu besar sebagai polisi muda agar dianggap berprestasi oleh atasan, dia berusaha mempertahankan argumennya.

“Pokoknya kamu salah dan harus ditilang.” Nadanya meninggi. 

Tilang karena apa. Apakah di surat tilang disebutkan kesalahan tidak bayar pajak. Kalau pun Anda menilang saya karena belum bayar pajak, seharusnya ada petugas Dispenda di sini. Itu pun mereka dapat memberi sanksi jika saya tidak bayar pajak dalam kurun waktu 5 tahun.

Dia mulai kelabakan. Wajahnya kian memerah. Geram. 

“Kamu ini masih ngotot juga ya. Berani kamu sama polisi?”

“Polisi bukan profesi untuk ditakut-takuti. Tugas polisi adalah melayani masyarakat dan menghimbau serta memperingatkan mereka jika berbuat salah. Menindak mereka jika kelewat batas.” 

Soal hukum aku sendiri masih compang-camping; asal argumen bisa diterima dan masuk logika. Itulah hukum. Di mana-mana bisa diperjual-belikan dan dipermainkan. Bahkan dapat dijadikan modal untuk memperkaya diri. Membohongi dan menipu orang.

Bukankah hukum di negeri ini sudah sangat bobrok, jika kita melongok sistem peradilan di negeri ini yang berbelit-belit. 

Seorang pencuri ayam apabila tertangkap dapat langsung divonis hukuman. Tapi seorang koruptor yang jelas-jelas mencuri uang negara masih harus menjalani peradilan berliku-liku, bahkan jika memungkinkan bebas.

Kenapa kamu tidak membayar pajak. Secara tidak langsung kamu sudah merugikan negara,nada bicara polisi muda itu mulai mengendor, tak seangkuh sebelumnya. 

“Maaf, pak. Saya belum punya uang!” Jawabku jujur.

“Kamu kerja dimana?” 

Saya biasa nulis berita.”

“Kamu jurnalis!” Serunya.

Aku mengangguk.

Kenapa tidak bilang dari tadi.”

Polisi muda itu langsung pergi.

*** 

Aku dan motor kesayangan sudah mendekati Ketapang. Sebentar lagi menginjakkan kaki di daratan Banyuwangi. Saat itu ada perasaan bangga yang meliuk-liuk menghinggapi dada. Membubung tinggi ke angkasa dan hilang diterpa angin kota Banyuwangi.

Dalam telingaku tengiang sebuah ungkapan yang lama terpendam, dan kemudian muncul menjadi kerinduan tak menentu: kau sudah tiba di Jawa lagi.  

Seandainya aku tak punya malu, saat itu aku akan mencium daratan. Tapi tidak, terlalu banyak orang. Aku malu. Lebih baik kerinduan pulau Jawa kusimpan dalam hati. Dan sejauh ini cukup berhasil.

Selepas turun dari kapal, motor segera kupacu sekencang-kencangnya. Meski hanya motor butut peninggalan ayah, kecepatan motor ini masih bisa disejajarkan dengan motor-motor keluaran terbaru. 

Kali ini aku tidak melewati jalur Situbondo-Probolinggo. Aku mengambil rute Jember-Lumajang.

Setelah melewati Kota Banyuwangi kupacu motor memasuki Rogojampi. Di sepanjang jalan kutemui puluhan penjual buah-buahan. Rata-rata mereka menjual buah-buahan yang baru dipetik dari ladang. 

Memang, sebagian besar mata pencaharian masyarakat di sekitar sini adalah bertani dan nelayan. Masyarakat nelayan kebanyakan tinggal di wilayah Muncar, yang merupakan salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa, dan di wilayah Grajagan. Mayoritas penduduk di sekitar kawasan memeluk agama Islam, namun banyak pula yang beragama Hindu terutama di Desa Kedungasri dan Desa Kalipait.

Sebaliknya jika berkunjung ke Taman Nasional Alas Purwo, masyarakat Alas Purwo digolongkan sebagai masyarakat Jawa tradisional. Mereka masih menjaga budaya-budaya leluhur seperti bertapa, semedi, sayan (gotong-royong sewaktu mendirikan rumah), bayenan serta selamatan-selamatan lain yang berkaitan dengan pencarian ketenangan batin masih dilaksanakan. Pada hari-hari tertentu seperti satu suro, bulan purnama, bulan mati, masyarakat datang ke kawasan Alas Purwo untuk bersemedi.           

Selama puluhan tahun Banyuwangi didiami Suku Using. Suku Using menempati beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon. Di sini pula Kerajaan Blambangan berdiri sejak runtuhnya Majapahit.

Cerita sumir mengenai kehebatan masyarakat Banyuwangi yang memiliki ilmu-ilmu gaib juga menjadi perhatianku. Kata orang, santet yang paling terkenal adalah Banyuwangi. Hal itu tidak diragukan lagi. Tak jauh dari Rogojampi ada Genteng. Kata orang di sinilah tempat berkumpulnya orang-orang berilmu tinggi. Wallahua’lam.   

Pukul satu siang aku menyempatkan mampir di Grajagan. Seorang teman pernah bercerita padaku mengenai kejadian yang hampir-hampir membuatku tidak percaya. Sewaktu sedang melakukan peliputan di Grajagan tahun 2000. Teman ini mengaku pernah bertemu dengan sosok yang disebut-sebut sebagai pemimpin pemberontakan PETA di Blitar. Namanya Shodancho Supriyadi. Setelah pemberontakan itu Supriyadi menghilang.

Ya, di sebuah rumah tepatnya di perkampungan nelayan, kata teman, Supriyadi pernah muncul. Sayangnya, tak satu pun penduduk mengenalnya. 

Sejarah mencatat, Supriyadi turut andil dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Atas jasa-jasanya beliau pun dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Rumornya setelah Supriyadi hilang setelah pemberontakan, ada yang bilang ia masih hidup sampai sekarang. Lainnya mengatakan Supriyadi sudah tewas dalam persembunyian.

Berkaitan dengan misteri keberadaan Supriyadi, seorang teman tidak mengiyakan, juga tidak membantah bahwa yang ditemuinya adalah pahlawan besar. 

Entah cerita ini begitu hebatnya atau sekedar kebetulan hingga memunculkan keragu-raguan di pendalamanku. Bagi temanku, barangkali suatu kebetulan atau boleh disebut keberuntungan. Orang lain tentu berpandangan lain, bahkan tajam. Apalagi bila berkenaan dengan masyarakat luas, suatu kebuntuan dan kemandegan akan memunculkan sebuah reaksioner untuk bergerak. Pun aku.

Meski tidak mengalaminya sendiri, namun rumor yang beredar di kalangan teman-teman membikin gidikku meninggi. Banyaknya asumsi-asumsi dan perspektif mengenai Supriyadi telah membutakan diri sendiri maupun orang lain dalam kegelisahan sistematis dimana propadanda murahan mengalahkan segalanya. 

Sebuah pembiusan akhirnya muncul di tengah-tengah kondisi yang sekarat guna menipu diri sendiri. Dan, manifesto-manifesto, surat-surat pengakuan, dokumen-dokumen rahasia, dan program-program aksi yang melampiri namanya pada pertemuan teman ini dengan Sang Pahlawan, sepatutnya mewujudkan pengalaman sejarah yang belum terekspresikan, meski cuma sekecil biji jagung yang didapat.

Soal Supriyadi ada banyak sejarah yang mengisahkan. Cuma aku penasaran dengan pertemuan teman ini dengan sosok Supriyadi di Grajagan. Benarkah Supriyadi telah gugur? Atau ia menghilang secara misterius pasca gagalnya pemberontakan tentara PETA? 

Masalahnya, di mana Supriyadi setelah pemberontakan itu? Kalau dia gugur dikebumikan di mana jasadnya? Atau kalau tertangkap mengapa tak ada bukti atau saksi mata? Tetapi kalau ternyata ia hidup, mengapa tak seorangpun tahu keberadaannya?

Dan anehnya, Presiden Soekarno malah menunjuk Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan kemudian Panglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Apakah itu berarti bahwa sebenarnya Supriyadi tetap hidup dan terus berjuang di balik layar? 

Supriyadi tidak gugur. Ia tetap hidup dan berkiprah sampai sekarang, begitulah cerita temanku meski dalam dadanya masih menyimpan keragu-raguan.

Kata Anak Agung, nama temanku ini, dari pengakuan ajudan-ajudan Supriyadi dan Supriyadi sendiri tidak membantah, bahwa dirinya selama ini menetap di Lampung. Ia sudah menikah, punya anak juga cucu serta cicit.

Hidupnya dihabiskan untuk bertani dan menanam jagung. Sekelumit cerita pertemuan Anak Agung dengan seseorang yang hebat pada masanya ini, pada akhirnya kurangkum dalam bentuk penuturan “si pencerita” yang pernah mengalaminya sendiri. 

Menurut versi dia demikian: 

Di ruang tamu beralaskan kursi-kursi bambu, aku duduk di hadapan seorang spiritualis dari Grajagan. Di antaranya seorang lelaki tua bersama dua lelaki tua lain yang dengan setia mendampinginya. Kami berbincang panjang lebar, selebihnya obrolan banyak dibumbui cerita kehoror-hororan mengenai orang berilmu tinggi. Dalam keheningan alam Grajagan, kata-kata lelaki tua tadi membuyarkan kehampaan kami. 

“Aku malu pada negeri ini!” Ceritanya. 

Kata-katanya tidak kupahami sama sekali, bagaimana ia memulai, bagaimana pula mengakiri. Ia mengucapkan kata-kata tersebut seolah sangat memahami kondisi bangsa sekarang ini. Aku tidak membalas, cuma mendengarkan. Sesekali bulu kuduku dibuat merinding, apalagi ketika ia menyebut sosok Bung Karno. 

Lelaki itu sudah tua, sangat tua sekali. Kuperkirakan usianya 90 tahun. Ia seperti orang-orang tua pada umumnya, nyaris tak ada perbedaan. Semua orang kalau sudah tua memiliki kesamaan, keriput, beruban, dan botak. Pun semua bayi di dunia yang baru dilahirkan punya kemiripin. Yang membedakan cuma kulit. Tangisannya sama. Besar kecilnya juga sama.

Seorang dari kedua orang yang kemudian kuketahui adalah ajudan lelaki tua tadi, memperkenalkan diri: Ini Eyang Supriyadi! 

“Husy, jangan sebut-sebut nama itu. Supriyadi sudah lama mati.” Lelaki tua tadi bersikeras menentangnya.

Pandangannya tajam kepada para ajudannya, seolah melarang mereka berbicara tanpa persetujuannya. Apalagi sampai mengumbar nama di sembarang tempat. 

Seketika pikiranku bergejolak dengan hebatnya, mereka-reka kebenaran, menebak tidak pasti, mengurai pengetahuan para guru-guruku terdahulu, mengenang peristiwa masa lampu, mendoktrin diri sendiri antara realita dan bukan realita.

Benarkah ia itu, atau jangan-jangan ia…ah 

Memasuki babak selanjutkan pikiranku melemah karena tak kudapati sesuatu pun dalam diri lelaki tua itu. Tapi kemudian timbul pertanyaan yang kian tak menentu. Tidak mungkin ia adalah Supriyadi, bukankah pahlawan itu sudah lama mati? Bukankah jasadnya sudah dikebumikan di makam pahlawan? Tapi di mana? Kapan? Bukankah dia menghilang semenjak berakhirnya pemberontakan PETA?

Ada yang bilang itu masih hidup. Aku dilanda kekalutan. Seandainya aku duduk di antara teman-teman yang sepantaranku, barangkali aku sudah melepas emosiku. Akan kuteriakkan pada dunia bahwa Supriyadi masih hidup, dan ia kini duduk berdampingan denganku. 

Benarkah lelaki tua itu Supriyadi ataukah wujud dari panamaan sekedar menyerupai Supriyadi yang juga mengalami peristiwa bersejarah di masanya. Dari balik baju ajudan-ajudannya nampak olehku sebuah senapa api tertenteng di pinggang masing-masing. Jenis FN. Tidak terawat. Seorang ajudan melirik padaku yang mungkin sudah mengetahui gerak-gerik mataku mengawasi mereka.

Berarti benar lelaki tua yang didampingi para ajudan bersenjata api itu adalah Supriyadi, setidaknya itulah penilaian awalku. 

Selanjutnya kuperhatikan dengan seksama seluruh gerak-gerik lelaki tua tersebut. Dari ujung kepala hingga ujung rambut. Lelaki tua yang kata ajudan tak lain Supriyadi itu, mengenakan sarung bermotif kotak-kotak. Ia mengenakan destar tipis warna putih dengan dilengkapi jaket menutupi kedua lengannya. Tidak ada kopiah yang ia kenakan seperti umumnya orang-orang tua. Sehingga jidat kepalanya yang nyaris tidak ditumbuhi rambut nampak jelas.

Rambutnya sendiri beruban. Pada wajahnya yang berbentuk lonjong terlihat banyak guratan keriput telah menghilangkan usia kemudaannya. Bibirnya tebal. Tidak berkumis maupun berjamban. Telinganya besar. Hidungnya tidak mancung, juga tak pesek alias sedang-sedang saja. 

Untuk ukuran lelaki seusianya, ia masih nampak bugar. Cara berjalannya masih tegap, tidak membungkuk seperti kebanyakan orang tua. Ingatannya belum sepenuhnya pudar.

Beberapa kisah yang disampaikannya masih membekas dan diceritakan secara runtut serta gamblang. Dari sekian penampilannya, aku lebih salut pada semangatnya yang berapi-api. Gaya tuturnya sopan, lebih banyak mengumbar senyum. 

Dan, sebagai seorang yang pernah memperjuangkan kemerdekaan ini, ia seperti anak kecil yang menahan malu. Sedikit ngomong. Kukira lisannya benar-benar dijaga. Baginya bicara seakan-akan kebutuhan jiwa raga dalam kehidupan bangsa manusia.

Dalam alam totaliter bicara merdeka merupakan tindakan jantan. Ada waktunya kapan berbicara dan kapan diam. Namun sekali ia bicara maka seluruh ruangan dibuatnya bergoncang. Dinding-dinding serasa ambruk terdorong kekuatan bicaranya yang mengaum seperti singa di tengah-tengah gurun pasir: 

“Negeri ini sudah melupakan perjuangan moyangnya. Sekarang negeri ini telah diinjak-injak oleh pendatang dari luar. Bahkan yang nyata-nyata oleh mata, orang-orang kita malah bersedia diperlakukan seperti budak di negeri sendiri. Mau disuruh begitu, diperintah begitu. Rakyat bisanya cuma tunduk. Bangsa ini yang dalam berabad bergelimang kekalahan, dan sempat kami perjuangkan, kini kembali menuai kekalahan yang kian menuju kehancuran. Bangsa ini telah kehilangan segala-galanya, laut dan darat dan dirinya sendiri. Yang tertinggal hanya beban sejarah,” kata dia.

Kendati nadanya terkesan datar-datar saja, namun dari pedalamannya aku bisa merasakan emosi yang meronta-ronta sangat tinggi. 

Aku masih ingat seruan nasionalis yang dikumandangkannya saat Supriyadi memimpin pertemuan rahasia yang dihadiri beberapa anggota PETA sesaat sebelum melakukan pemberontakan melawan pemerintah Jepang.

Saat itu ia berseru: kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan ataupun gaji yang tinggi. 

Kata-katanya benar-benar mulia. Jauh lebih mulia daripada orang-orang masa kini yang hanya mengandalkan jabatan dan kedudukan demi meraih tujuan. Perjuangan Supriyadi pada masa itu jauh mengungguli perjuangan demokrasi saat ini.

Sekiranya aku boleh bilang: perjuangan Supriyadi adalah perjuangan terhebat. Ia serta pengikut-pengikutnya merupakan perintis kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan perjuangan serentak di penjuru tanah air. 

Bahkan perjuangan Supriyadi telah membangkitkan semangat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang seruannya dimuat dalam harian “Matahari”. Kala itu Sri Sultan menyeru pada rakyatnya (termasuk seluruh anggota PETA) bahwa semua, tidak ada yang terkecuali, harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama, ialah menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa.

Anjuran itu sebenarnya sudah ada dalam pikiran para pejuang negara kala itu, seperti Presiden Soekarno, Jendral Soedirman, Sundjoyo Sudarto, Sudomo, Syaifudin, Maya Retno, Sudirjo, Marsudi, serta Soeharto. 

Dari situ kemudian menghasilkan pertempuran seru dan hebat, di antaranya pertempuran lima hari di Semarang dan Palagan Ambarawa atau pertempuran di Ambarawa yang terkenal itu.

Namun seiring dengan susutnya sejarah jaman, kini loyalitas bangsa–menurut orang yang tidak mengaku tapi juga tidak membantah dirinya Supriyadi–sudah lama runtuh. 

Sementara yang kulihat Supriyadi sudah kehilangan kecintaan serta kebanggaannya terhadap negeri yang dahulu pernah diperjuangkannya itu. Moralitas serta kedaulatan bangsa ini tidak nampak dalam pandangan Supriyadi. Perjuangannya bersama pendahulu-pendahulunya selama ini sia-sia bahkan tidak menghasilkan apa-apa.

“Bukan ini cita-cita bangsa terdahulu. Lebih baik bertani dan makan jagung daripada menyembah-nyembah pada penguasa,kata lelaki yang selama hidupnya mengkonsumsi jagung. 

Seketika dadaku serasa dihujam martil berpuluh-puluh ton saat mendengarnya. Jiwa nasionalisme berapi-api yang dikumandangkan Supriyadi di hadapanku hingga kini masih dalam ingatan. Sulit membayangkan jika seorang yang duduk bersebelahan denganku adalah pahlawan bangsa. Mungkin ia memang Supriyadi, inilah penilaianku yang kedua.   

Dalam kesempatan itu, ajudan Supriyadi menunjukkan beberapa dokumen-dokumen penting negara. Beberapa dokumen tertulis dalam bahasa Belanda, Jepang, Melayu, serta Jawa. 

Aku tidak tahu apa isinya, dan aku juga tidak berusaha untuk tahu. Seandainya dokumen itu bersifat rahasia, aku cukup melihatnya dari batas pandangan mataku.

Seorang spiritualis yang tadinya duduk bersama dan berbincang denganku, kali ini acuh tak acuh. Pandangannya kontan tertuju pada dokumen-dokumen yang disodorkan padanya. 

Aku, barangkali bukan apa-apa baginya. Hanya sekilas saja aku melihat sebuah dokumen terpapar di atas meja satu meter jauhnya dariku. Kop surat dalam dokumen tersebut menerangkan pengukuhan dan penggantian nama dari Supriyadi menjadi nama orang lain.

Dokumen tersebut ditandatangani Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Saat itu aku teringat cerita guruku bahwa semenjak Supriyadi menghilang, dalam persembunyiannya ia selalu berganti-ganti nama untuk menghindari pengejaran tentara Jepang atas dirinya. 

Pergantian nama Supriyadi ini dikukuhkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Walhasil, kemudian muncullah cerita-cerita sumir bahwa Supriyadi memiliki banyak nama atau identitas.

Seiring cerita-cerita tentang terbunuhnya Supriyadi di sini dan di sana, maka mencuatlah beberapa kali nama samaran Supriyadi yang menjadi omongan sepintas lalu. Dari dokumen-dokumen rahasia tersebut, meski aku tak perlu membaca dan atau memeriksanya di departemen negara, lambat laun penalaranku berani menyimpulkan bahwa lelaki tua di hadapanku adalah benar-benar Supriyadi, tokoh paling berpengaruh dalam pemberontakan PETA di Blitar. 

Begitulah cerita Anak Agung padaku. Anak Agung mengaku tidak sempat bercakap-cakap dengan lelaki tua tersebut. Namun temanku itu ingat pernah diberitahu oleh spiritualis di sana, bahwa lelaki tua tersebut mengaku bernama Restu Prabu.

Kabar terakhir sebelum Anak Agung berpisah, lelaki tua beserta ajudannya sedang menunggu kendaraan untuk pulang. Dari sini pada akhirnya hanya satu yang menggelora dalam benak Anak Agung, bahwa perjuangan manusia menurutnya ada dua, yakni perjuangan fisik seperti tergambar dari cerita-cerita lelaki tua itu, serta perjuangan batiniyah yang melibatkan perjuangan pribadi-pribadi manusia dalam menggapai tujuan hidupnya. 

Kiranya untuk mencapai semua itu tidak bisa lantas berbarengan, melainkan harus bertahap–kalem-kalem asal kelakon–bahkan kalau perlu merayap. Seperti halnya rel kereta api, di kanan adalah fisik dan kiri adalah batin. Keduanya sama-sama menciptakan kelaziman dan keselarasan tanpa ada yang saling mendahului.

Sementara, setelah tulisanku mengenai Supriyadi dari Anak Agung selesai. Sebuah kabar heboh sempat mencuat pada tanggal 13 Agustus 2008. Beberapa media cetak memberitakan kemunculan sosok Andaryoko Wisnu Prabu yang mengaku sebagai Supriyadi. 

Versi Andaryoko saat itu usianya 88 tahun ini. Rumahnya di Jalan Mahesa Raya No. 101, Pedurungan, Semarang. Dia bercerita saat pejuang PETA kalah karena Jepang meminta bala bantuan dari Kediri, Malang dan sekitarnya.

Semua bantuan itu adalah saudara sebangsanya sendiri. Akhirnya pejuang PETA pun lari menyelamatkan diri dan mengungsi ke huta-hutan mulai dari Blitar Selatan, Hutan Purwo atau Alas Purwo (Grajagan), dan Ketonggo (Ngawi). Mereka bersembunyi hingga Mei 1945. 

Pada bulan itu, Andaryoko keluar hutan dan menemui Bung Karno di Jakarta. Pada saat bersamaan Bung Karno sedang mengikuti siding BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Akunya Andaryoko pada media, “Ketika itu saya diterima pengawal presiden. Bung Karno pada awalnya tidak percaya. Tapi setelah saya katakan; Bung, Anda itu pemimpin. Kalau tidak mempercayai orang sendiri, saya harus percaya kepada siapa,” papar Andaryoko. 

Akhirnya Andaryoko diajak ke ruang belakang dan berbincang macam-macam. Saat itulah dia berhubungan langsung dengan Bung Karno. Presiden pertama itu memanggil Andaryoko dengan sebutan ‘Sup’, diambil dari nama depan Supriyadi. Bung Karno berpesan kepada Andaryoko atau Supriyadi begini: Sup, kamu kan mengalami sendiri sejarah bangsa ini. Tolong kalau kamu diberi umur panjang, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui.

Dan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Andaryoko mengaku sempat diminta Bung Karno untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat, namun ia menolak. Bung Karno kemudian meminta Supriyadi ke Semarang menemui Wakil Residen Semarang, Wongsonegoro. 

“Saya diterima menjadi staf kantor Residen Semarang. Nama saya diganti menjadi Andaryoko,” katanya.

Dalam perkembangan politik selanjutnya, ia sangat kecewa ketika Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat hasil dari Konfrensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda. Di sana ada Uni Indonesia yang diketuai Belanda. Supriyadi pun menghilang. 

Andaryoko atau Supriyadi tidak bercerita apa saja yang ia kerjakan selama menghilang itu. Hanya beberapa kali ia wira-wiri kesana kemari untuk keperluan keluarga. Selama di Semarang, Andaryoko mengaku sudah berpindah-pindah tempat. Pada awalnya ia tinggal di Jalan Majapahit. Dan terakhir, pada tahun 2001 hingga kini, ia menempati rumah di Pedurungan.

Andaryoko mempunyai empat anak, yakni Reni, Andarwanto, Akso dan Wening.

Memang sulit mengakui bahwa Andaryoko adalah Supriyadi. Namun bila dikaitkan keterangan Andaryoko dengan pertemuan versi Anak Agung, besar kemungkinan Andaryoko memang pernah singgah ke Grajagan. Apalagi bila mengingat namanya yang sama-sama menggunakan ‘Prabu’.

Menurut pengakuan Andaryoko, ia lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA usianya ‘dituakan’ tiga tahun. Sehingga ia mengikuti pendidikan tentara saat berusia 25 tahun. Jika dirunut sampai tahun 1945, maka pemberotakan yang dilakukannya wajar karena usianya relatif muda.

Yang jelas kemunculan Andaryoko sebagai Supriyadi ini, telah membuka pemahaman baru bagiku mengenai fakta sejarah yang tidak lazim. Mengenai kemiripan sosok Andaryoko dengan Supriyadi, aku teringat pesan ayahku, bahwa beberapa orang meskipun usianya sudah tua dan keriput masih dapat dikenali dari ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dan hal itu tidak akan berubah baik semasa ia muda hingga mencapai ajalnya (tua).

Menurutku simpel saja membedakan apakah Andaryoko adalah Supriyadi, yakni ketika membandingkan potretnya (Supriyadi semasa muda) dan dirinya yang sekarang (Andaryoko), yang kulihat adalah daun telinganya yang sama-sama lebar serta bentuk lekukan-lekukan wajahnya yang mendekati kemiripan. Pun alisnya sama-sama tebal. Dari sini aku berani menyimpulkan bahwa Andaryoko memang Supriyadi, dan Supriyadi versi Anak Agung juga Supriyadi. Bisa jadi mereka memang satu orang. [bersambung]   

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...