Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #34

Hasan Besari

Oleh: Jendra Wiswara

Nama seseorang yang nyaris dilupakan tapi menyisakan sebuah ketenaran, menggagalkan niatku meninggalkan Ponorogo. Nama itu Hasan Besari atau Hasan Basri atau Kyai Ageng Hasan Bashari. Seorang ulama besar sekaligus pewaris ilmu ketatanegaraan, ahli strategi perang, dan kesusastraan. Karena nama besarnyalah kuputuskan mengurungkan perjalanan dan berbalik arah menuju Tegalsari, sebuah desa terpencil lebih kurang 10 km ke Selatan Ponorogo.

Perjalanan menuju ke desa sedianya kulakukan esok. Malam itu aku menginap di rumah Muksin. Sebelumnya aku sempat menolak tawaran baiknya, dengan alasan tidak mau merepotkan. Bukan itu saja yang membuatku tidak enak, kadang aku sering risih terhadap kebaikan orang lain karena kunjunganku selalu mendatangkan kesusahan. Namun rupanya desakan Muksin membuatku tak berdaya. Hal ini didukung cerita Muksin bahwa perjalanan menuju lokasi makam Kyai Ageng lumayan jauh. Apalagi hari sudah malam.

Bila malam tiba kawasan tersebut lebih mendekati cerita kehoror-hororan ketimbang kebesaran nama Sang Kyai. Selain medannya rawan, terjal, rusak dan sempit untuk dilalui, beberapa orang yang ketiban sial mengaku sering dihantui perasaan aneh tentang sosok makhluk dari dunia gaib. Oleh karenanya jika malam tiba banyak pengendara motor tidak berani melintas.

Mereka pikir lebih baik berjalan pagi daripada malam yang cuma mendatangkan penderitaan. Cerita Muksin mungkin benar, juga salah. Namun bagaimana pun aku terpaksa membenarkan ceritanya, mengingat kondisi motorku memang tidak sedang fit. Belum lagi ketakutan-ketakuan akan ban bocor selalu menyebabkan pendalamanku seakan padam.

Malam itu aku duduk di balai-balai. Memperhatikan bulan di atas kepala yang menyinari pelataran rumah. Mataku terpaku pada sebuah penanggalan di atas dinding: tanggal 15. Tak kusangka saat itu bulan purnama. Pantas orang-orang sibuk mempersiapkan diri. Mereka hendak melakukan latihan Reok.

Muksin sebelumnya menemaniku, tapi kemudian dia lebih banyak menyibukkan diri membantu rekan-rekannya sesama seniman. Dan seperti biasa jika bulan purnama muncul dari peraduannya, selalu memberi kesan tersendiri bagi masyarakat Ponorogo. Rumah Muksin kerap menjadi jujugan orang-orang kampung yang ingin menyaksikan tabuhan gamelan Reok. Bagaimana pula gamelan selalu membawaku pada sebuah keindahan, ketenangan perasaan yang menyangkal wujud, ke suasana yang membawa pikiran terayun dalam tidur abadi.

Dan kegiatan tersebut sudah merupakan rutinitas yang menghibur bagi warga setempat. Dalam kesendirianku menyelami dunia Reok, tiba-tiba sebuah kekuatan besar menohok mataku. Mata itu dengan sendirinya memudar dan meninggalkan pandangan kabur. Kesadaranku semakin sulit kusuruh terjaga. Aku pun jatuh terlelap beralaskan lantai-lantai balai dengan ditemani bantal penahan kepala.

Esoknya sayup-sayup kudengar di sekelilingku suara-suara orang. Tak jelas siapa. Mungkin keluarga Muksin. Aku mencoba membuka mata, tapi kelopak mataku menolak kuperintah. Dengan sendirinya tanganku bergerak memilin-milin mataku. Mengocok-ngocoknya. Dan kini mulai terasa badanku seperti dipukuli ratusan orang. Punggung serasa ditekuk-tekuk. Ngilu.

Ketika Muksin mengajak bicara, aku mengangguk lemah menyiyakan pemberian kopi kentalnya. Kemudian aku gerakkan tangan dan jari-jari yang masih terasa kaku untuk meraih gelas kopi di sampingku. Semakin bebas kugerakkan badan, yang kurasakan malah persendianku seakan ditusuk-tusuk paku. Aku limbung. Kepala bagai copot dari ragangannya.

Ah, kau, pantas saja badanmu terasa berat karena semalaman kau tidur di lantai. Dan kini, kau masuk angin. Jadi jangan menyalahkan badanmu. Kau sendiri yang membuatnya, kau sendiri biang keladinya. Di hadapanku kudapati berbagai macam suguhan diletakkan di atas piring. Sepintas bau bekas penggorengannya menyebarkan aroma yang merong-rong perut. Namun demikian, tak kudapati satu pun obat penangkal masuk angin. Sehingga keinginan untuk meraih panganan menjadi hambar. Ditambah lagi tenggorokanku terasa pahit.

Panganan kutolak mentah-mentah. Rupanya kesakitanku telah mengalahkan semua kenikmatan yang tersedia di hadapanku. Aku bangun dan berlari, celingukan kesana kemari, mencari warung terdekat. Sebuah obat penangkal masuk angin segera kusorongkan ke dalam tenggorokan. Tinggal tunggu reaksinya. Pagi itu aku berusaha menguatkan diri bersopan-santun kepada keluarga Muksin, meski badan ini masih diliputi demam tinggi. Tak berapa lama mereka mempersilahkanku menikmati hidangan pagi sebelum akhirnya aku minta diri meneruskan perjalanan menuju Tegalsari, tentunya setelah badan kembali pulih.

Perjalanan menuju Tegalsari memang seperti kuduga dan sesuai gambaran Muksin. Beruntung semalam aku menginap di rumah Muksin. Kalau tidak begitu mungkin aku sudah menyesali diri di tengah perjalanan. Setelah meninggalkan rumah Muksin, akhirnya aku tiba di makam Kyai Ageng Hasan Besari.

Memasuki makam nampak pintu besar menghalang-halangi. Setiap hari-hari tertentu pintu tersebut ditutup. Beruntung kedatanganku bukan pada hari-hari tertentu, sehingga aku masih punya kesempatan memasuki makam. Di dalamnya terdapat dua kuburan. Pada batu nisannya menempel dua buah papan bertuliskan Jawa kuno.

Kata juru kunci, makam yang satu adalah Kyai Hasan Besari, satunya isterinya. Pada dinding-dinding makam terbentang kain kafan mengelilinginya. Lantainya berbahan keramik. Pun kuncup makam telah direnovasi dengan batu marmer. Setiap malam-malam tertentu makam tersebut sering didatangi keturunan Kyai Hasan Besari guna melakukan doa bersama.

Tak jauh dari makam terdapat sebuah masjid. Masjid tersebut konon pernah digunakan Kyai Ageng menyebarkan ilmunya. Peninggalan Kyai Ageng yang masih terlihat adalah Pondok Tegalsari.

Dalam sejarah, pondok ini pernah mengalami masa keemasan dan menyumbangkan jasa yang besar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Ribuan santri datang menuntut ilmu di pondok ini. Setelah Kyai Ageng Hasan Besari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh yaitu Kyai Hasan Yahya. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Namun pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Dari tangan Kyai Ageng Hasan Besari telah lahir orang-orang besar, seperti Paku Buana II atau Sunan Kumbul, Raden Ngabehi Ronggowarsito dan tokoh pergerakan nasional H.O.S Cokroaminoto.

Saat kepemimpinan Kyai Khalifah, ada seorang santri yang sangat menonjol dalam segala bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin. Karena kedekatannya dengan Kyai maka Sulaiman diangkat menjadi mantu bahkan dipercaya untuk mendirikan pesantren sendiri di Desa Gontor. Pada saat itu Gontor masih merupakan hutan belantara yang jarang didatangi orang. Hutan ini dekenal sebagai tempat persembunyian perampok, penjahat, penyamun dan pemabuk.

Jelasnya, tempat ini adalah tempat kotor dan sumber dari segala kotoran. Dalam bahasa Jawa, tempat yang kotor disebut nggon kotor (tempat kotor), yang disingkat menjadi “gon-tor”. Di desa inilah Kyai Sulaiman Jamaluddin diberi amanat untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari dengan bekal 40 santri. Pondok inilah yang menjadi cikal bakal dari Pondok Modern Gontor saat ini.

Sebenarnya masih banyak orang-orang besar lahir dari jasa-jasa Kyai Hasan Besari, namun rasanya tidak pas jika aku tidak mengupas profil Sang Kyai. Karena keterbatasan dan minimnya informasi, maka aku cuma bisa mengulas sosoknya sebatas pengetahuanku saja.

Beberapa kisah kudapatkan dari cerita warga sekitar makam. Beberapa cerita kutambahi untuk menghaluskan kata-katanya saja. Bila kuuraikan akan menjadi demikian:

Pada abad ke-18, dua pemuda sedang melakukan perjalanan mencari seorang guru. Keduanya berjalan mengelilingi hampir separuh kepulauan nusantara. Sampailah keduanya di perkampungan penduduk dimana banyak ditumpuhi pepohonan kelapa. Saat terik mentari menjalar ke pori-pori kulit, seketika rasa haus mengakibatkan tenggorokan keduanya mengering.

Di desa tersebut mereka melihat pohon kepala menjulang ke atas beserta buah kelapanya yang ranum. Rasa haus dan lelah membuat kesadaran keduanya tersulut. Tanpa meminta ijin kepada ‘si empunya’ mereka segera mengambilnya.

Pohon tersebut tidak dipanjatnya, terlalu tinggi, lagipula mereka tidak tahu cara memanjat kelapa. Dengan bebatuan di samping mereka, keduanya melempari buah kelapa. Tak urung beberapa kali lemparan mereka meleset, mengena pun tidak menjatuhkan kelapa.

Pada saat itu muncullah seorang lelaki tua renta dengan dandanannya layaknya petani. Rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban. Kulitnya keriput. Namun demikian, gerakannya masih gesit. Kepada kedua pemuda tadi, lelaku tua tersebut menegur, “Wong kelopo kok disawat. Yo ora iso yo, Tole!” (Buah kelapa kok dilempari, ya tidak bisa lho, Nak).

“Maafkan kelancangan kami, Kek. Kami melakukannya karena haus dan kalau memanjat juga tidak tahu caranya.” Kata seorang dari mereka.

“Caranya begini lho, Tole!”

Lelaki tua tersebut lalu menginjakkan kaki kanannya pada batang pohon. Dengan kaki tuanya pohon kelapa didorongnya hingga melengkung ke bawah.

“Sudah cepat ambil saja!” Serunya.

Kedua pemuda tertegun. Dengan hanya menggunakan satu kaki dia sanggup melenturkan pohon kelapa seperti melenturkan karet. Tentu dia bukan sembarang orang, melainkan seorang yang berilmu. Kedua pemuda tersebut segera bersimpuh dan meminta dijadikan muridnya.

Singkat cerita, keduanya diterima oleh lelaki tua yang tidak diketahui namanya. Namun orang menyebutnya Kyai Sopo Nyono.
Kedua pemuda haus ilmu itu kemudian diajari ilmu tingkat tinggi, hingga tibalah ajal Kyai Sopo Nyono. Sebelum pergi sang guru berpesan kepada kedua muridnya agar mendakwahkan ilmunya kepada masyarakat.

Sepeninggal Kyai Sopo Nyono, kedua murid menyebarkan agama Islam hingga ke pelosok-pelosok desa. Satu murid yang tidak diketahui namanya berdakwah dengan cara berkeliling. Sementara murid satunya yang belakangan diketahui adalah Hasan Besari berdakwah di daerah Ponorogo.

Dengan warisan ilmu gurunya, seketika nama Hasan Besari mulai dikenal kalangan pemuka agama, cendekiawan, raja-raja, hingga rakyat jelata. Tidak sedikit orang-orang dari penjuru nusantara yang datang kepadanya untuk menimba ilmu. Beliau bukan saja pandai mengajar agama, melainkan juga mahir dalam ketatanegaraan, ahli strategi perang dan kesusastraan.

Dengan karomah yang dimiliki Hasan Besari, tak pelak semakin menumbuhkan keyakinan orang-orang bahwa Hasan Besari adalah orang besar. Dalam waktu singkat Hasan Besari telah mendirikan pondok pesantren. Ribuan orang tak surut memadati pesantren Hasan Besari.

Hingga suatu ketika terjadilah perselisihan antara beliau dengan raja dari keraton Solo. Saat itu raja melihat pengaruh Hasan Besari sangat besar terhadap masyarakat. Saking besarnya sampai-sampai menimbulkan kekhawatiran terhadap kedudukannya sebagai raja. Kebesaran nama Hasan Besari dinilai raja bakal meruntuhkan kekuasaannya. Memang, semenjak Hasan Besari berdakwah di Ponorogo, wilayah tersebut seakan-akan memiliki hukum dan perundang-undangan sendiri.

Bagi raja, Hasan Besari dianggap telah menodai kekuasaan kerajaan dengan menerapkan hukum sendiri. Sesuai titah raja, para prajurit diutus untuk menangkap Hasan Besari. Beliau kemudian diasingkan ke luar Jawa. Namun ketika Hasan Besari dinaikkan kapal, tiba-tiba kapal berhenti dengan sendiri. Meski layar telah dikembangkan, kapal itu tetap tidak bergerak. Diam di tempatnya seakan ada bongkahan batu raksasa telah menahan laju kapal. Sebaliknya manakala Hasan Besari diturunkan, justru kapal dapat melaju dengan kencang.

Karena kurangnya keyakinan para prajurit terhadap nama besar Hasan Besari, hal ini dilakukan berkali-kali hingga membuat mereka menyerah dan membawa kembali tawanannya ke hadapan raja.

Melihat kejadian di luar nalar ini, raja lantas mengutus prajuritnya menjebloskan Hasan Besari dalam tahanan. Selama dalam tahanan, setiap malam Hasan Besari selalu melantunkan ayat-ayat Alquran. Suaranya sangat merdu sekali. Sampai-sampai hewan yang biasa melolong di malam hari seketika terdiam mendengarkan alunan Hasan Besari.

Dengan suara keemasannya pula, beliau mampu menggetarkan dinding-dinding istana. Seluruh kadipaten seakan ikut berdzikir mendengarkan suara Hasan Besari. Pepohonan dan dedaunan menari-nari. Angin barat, timur, selatan, utara telah dibuatnya membisu dalam keheningan malam. Bahkan hati seorang putri raja tersayat-sayat mendengarkan lantunan Hasan Besari. Ia luluh. Air mata menetes dari kedalamannya dan meninggalkan beribu tanda tanya, siapakah pelantun ayat-ayat tersebut?

Tanpa mengetahui orangnya, sang putri rupanya telah jatuh hati terhadap Hasan Besari. Keinginannya ini kemudian disampaikan kepada ayahandanya. Namun keinginan putrinya ini sempat ditentang lantaran sang pelantun hanyalah seorang tahanan.

“Ayahanda, aku sangat menyukai sang pelantun. Bolehkah kiranya ayahanda menikahkan aku dengannya.”

“Anakku, dia itu seorang tahanan, seorang pelawan hukum. Tidak sepatutnya kamu jatuh cinta kepadanya.”

“Kalau ayahanda tidak bersedia menikahkan aku dengannya, maka aku akan bunuh diri!” Ancam sang putri.

Karena tekadnya yang kuat itulah, maka raja tak kuasa menolak keinginan anaknya. Ia pun mengabulkan permintaan anaknya untuk menikah dengan Hasan Besari. Selama pernikahan itu banyak kejadian-kejadian aneh terjadi di halaman istana.

Tersebutlah seorang patih juga paman putri raja yang memiliki kesaktian, merasa iri dengan kelebihan serta kedudukan Hasan Besari sebagai menantu raja. Maka, dengan ijin raja, Sang Patih ingin menguji kesaktian Hasan Besari.

Suatu hari dalam perjamuan makam malam, tiba-tiba Sang Patih berkelakar, “Aku sanggup menghidupkan ayam ini,” katanya menunjuk ayam panggang di depan meja makan. Dengan kesaktiannya, ayam tersebut dipegangnya dan tiba-tiba hidup lagi.

Hasan Besari tidak mau kalah. Ia ingin menghentikan kesombongan Sang Patih. Saat itu Hasan Besari melihat sebuah telur yang telah dimasak. Dipeganglah telur tersebut, dan atas ijin Allah, telur matang mendadak menetes dan keluarlah anak ayam. Kejadian ini bukan sekali saja. Beberapa kali Hasan Besari ditantang Sang Patih mengadu kesaktian. Akan tetapi kesaktian yang dimiliki Sang Patih tiada apa-apanya dibanding karomah yang diberikan Allah kepada Hasan Besari.

Dalam setiap tantangan, Hasan Besari tidak pernah berkeinginan mengalahkan kesaktian Sang Patih. Yang beliau lakukan hanyalah mengimbangi. Tiada pula ada keinginan dari beliau untuk mencederai, mencelakakan maupun mengalahkan. Sebab meski Sang Patih orangnya angkuh dan sombong, beliau masih menganggap ia sebagai kerabatnya.

Pada jamuan makan berikutnya, Sang Patih dengan sombongnya mengajak Hasan Besari keluar istana menuju halaman kaputren. Di situ Sang Patih menantang Hasan Besari memanah. Sang Patih giliran pertama. Ia memanah sebuah pohon besar. Dengan kesaktiannya, pohon besar tersebut terbelah menjadi dua.

Melihat kesaktian Sang Patih, beberapa orang yang hadir di istana, termasuk raja bersorak-sorai. Sang Patih tidak saja membuat orang-orang bangga, tapi kesaktiannya dianggap mampu mengalahkan menantu raja.

Saat itu giliran Hasan Besari tiba. Beberapa orang saling berbisik meragukan kesaktian Hasan Besari. Namun mereka tidak ingat dengan Allah, yang telah memberi Hasan Besari sebuah kelebihan. Dengan kelebihannya itu Hasan Besari mampu menandingin kesaktian Sang Patih. Sewaktu melontarkan panah ke arah pohon, mata panah tidak mengenai pohon, hanya melewati. Pohon tidak terbelah seperti yang dilakukan Sang Patih. Beberapa orang kemudian berbisik-bisik. Dikiranya panah Hasan Besari meleset.

Hasan Besari terdiam. Lalu dia berkata, “Lihatlah dedaunan pohon itu!” Serunya.

Pohon besar nan rindang tersebut memang tidak tumbang atau terbelah, tetapi semua daunnya berguguran ke tanah tanpa meninggalkan bekas apapun. Sehingga pohon itu lebih mirip pohon kering di padang pasir yang tandus. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu sempat tertegun. Padahal panah beliau sama sekali tidak menyentuh pohon alias meleset, lalu mengapa dedaunan bisa terlepas dari ranting-rantingnya. Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi, tentu tidak bakal sanggup melakukan hal seperti itu.

Pada perkembangan selanjutnya, Hasan Besari memboyong isterinya ke Ponorogo. Sebagai catatan, semenjak putri keraton Solo pindah ke Ponorogo, kala itu Ponorogo pernah mendapat julukan sebagai Kota Batik.

Sisa-sisa batik yang masih ada hanyalah berupa nama-nama jalan yang ada di sekitar Kelurahan Kertosari dan Patihan Wetan.

Riwayat seni batik di daerah Ponorogo kala itu sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Waktu itu kesenian batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Dan ketika putri keraton Solo diperistri Kyai Hasan Basri, maka dibawalah kesenian batik keluar dari keraton menuju Ponorogo. Apalagi saat itu banyak keluarga kraton yang belajar di pesantren Tegalsari. Tak heran jika kemudian pemuda-pemudi yang dididik dalam lingkungan pesantren kemudian menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama yang sampai sekarang dapat dilihat ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan.

Dari sini kemudian meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut.

Begitu pula obat-obatan yang dipakai dalam pembatikan terbuat dari kayu-kayuan negeri sendiri, antara lain: pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong.

Kain putih impor baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19. Pembuatan batik cap Ponorogo sendiri baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik asal Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Sekiranya urusanku dengan Ponorogo selesai. Meski masih banyak tempat-tempat yang belum kujajaki dan belum sepenuhnya mengenal budaya serta adatnya, akan tetapi tekadku meneruskan perjalanan telah menyemangati pendalamanku untuk semakin mengangenkan perjalanan berikutnya yang tiada kuketahui bagaimana kelanjutannya.

Aku tidak tahu apakah aku harus mengambil rute Pacitan ataukah kembali ke Madiun menuju Ngawi hingga Solo. Yang jelas selama pemberhentianku di beberapa kota di Jawa Timur telah memberikan suatu pemahaman baru bahwa tidak selayaknya aku melupakan kehidupan masa silam, bahwa realisme, empirisme, dan serangan-serangan terhadap prinsip yang sifatnya abstrak maupun tidak, membawa sebuah tuntutan jalan keluar yang harus diuji kelayakan untuk situasi yang aktual, khususnya pada era kini.

Keyakinan yang kokoh dari masa lalu, bila tidak ditopang dengan kemampuan individunya menyelamatkan sesuatu yang sendirian, justru akan menghilangkan jalan suatu masa (waktu) dan pada akhirnya mati. Setidaknya dengan kita berpegang teguh dalam kerangka tunggal–mengilhami dunia silam–akan menyelamatkan kita dari tindakan-tindakan drastis dan penuh kenaifan.

Aku memang suka menyibukkan diri dengan kehidupan-kehidupan sebelumku bahwa dengan mengumpulkan bukti-bukti dan menyebarluaskannya, maka kebenaran-kebenaran baru secara sadar telah kutemukan guna menuju setiap lembar serat pemikiran, perkataan, dan tindakan.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...