Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #6

Lautan Lumpur 

Oleh: Jendra Wiswara

Sore, berjubel-jubel penumpang memadati stasiun Wonokromo. Sambil menunggu loket buka, mereka menjejalkan pantatnya ke lantai berdebu.

Sejumlah anak kecil berlarian memutari orang tuanya tanpa peduli orang sekelilingnya. Canda tawa mereka memecah di keramaian. 

Penjual makanan tertunduk-tunduk memejamkan mata, sesekali terbangun melihat dagangan. Masih aman.

Penjaga pintu masuk berseragam biru laut, bertopi mirip polisi berusaha terlihat gagah di depan orang-orang. Dadanya dibusungkan. Sorot matanya mengarah ke puluhan penumpang. 

Dengan kumis tipis menempel di bawah hidung, pria tersebut menyambut orang-orang dengan senyuman kecil tapi bengis. Beberapa pria bertubuh kekar dan berparas menyeramkan berjejalan di pintu masuk. Mereka silih berganti keluar masuk mengangkat barang-barang penumpang, baik yang turun atau hendak naik kereta.

Sementara deru roda-roda kereta tak henti-hentinya meraung. Suaranya memekakkan telinga. Pun mesin uap mendesis mengeluarkan asap berwarna putih. Satu tiupan peluit Sang Masinis akan mengantar dia pergi menjauh dari stasiun. 

Satu kereta datang, diiringi yang lain, lalu kereta lain dan kereta lain. Pada akhirnya mereka tetap akan pergi juga menuju tujuan keberangkatan dan akan datang lagi membawa ratusan penumpang.

Di depan pintu seorang pria berambut gondrong bercelana pendek, mengenakan kaos warna hitam, tampak sedang bersusah payah merayu wanita paruh baya yang terkantuk-kantuk. Pria itu: aku.

“Gimana Bu, apa masih bisa?” Rayuku.

Wanita tersebut tak menggubris. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya.

Sudah sejak pagi aku mondar mandir stasiun untuk mendapatkan kejelasan mengenai jadwal keberangkatan. Setelah kudatangi lagi, dia bilang gerbong barang sedang bermasalah. Saat itu sedang ada pergantian roda.

“Paket barang tidak bisa hari ini mas, mungkin besok!” Buru-buru ia meminta maaf.  

“Tidak bisa Bu, soalnya saya harus tiba di Bali besok,” sanggahku, “bagaimana kalau naik atas? Saya akan bayar berapa saja?”

“Bagaimana pak!” Wanita itu menoleh ke petugas jaga pintu masuk.           

Pria itu menggeleng kepala.

“Tidak bisa. Nanti akan ada masalah di stasiun berikutnya. Lebih baik motornya dipaketkan besok aja.”

Motor beserta barang bawaan sudah kupaketkan melalui travel, kini tinggal motor satunya.

Rencananya akan kita naikkan kereta. Sesampai Banyuwangi motor kita naiki menuju Denpasar. Sayang, kami harus menelan kekecewaan. Rencana gagal total. Yoga sudah menunggu di depan stasiun dengan harap-harap cemas.

“Bagaimana?” Dari kejauhan dia berteriak sambil membentangkan kedua tangannya.           

“Kenapa tidak Mas naiki aja, toh Surabaya-Banyuwangi tidak jauh-jauh amat.” Pria berseragam membuyarkan lamunanku.

Semula aku enggan mengikuti nasehat penjaga pintu karena rute Surabaya-Banyuwangi terlalu berbahaya, apalagi bila hari menjelang malam. Berangkat sore sampai di sana malam. Kata orang perjalanannya sangat rawan. Tapi setelah kupikir-pikir tidak ada salahnya dicoba. Toh, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. 

Kalau sore berangkat sampai Denpasar siang. Lagipula kita tidak dikejar deadline. Yang pasti kita harus sampai Denpasar besok; pagi, siang atau malam.

Aku keluar stasiun. Yoga sudah menunggu lama. Entah berapa batang rokok telah dihabiskan. 

“Gimana?” Pertanyaan yang dilontarkan masih sama, sekedar menghibur rasa penasarannya.

“Tidak bisa. Terpaksa kita naiki sendiri.” 

“Tapi ini Bali, Al!”

Kelihatannya dia masih ragu. 

“Bali atau Jakarta sama saja Yog. Kamu takut?”

“Oke, kita berangkat.” 

Merasa terpojok dengan tantanganku dia langsung mengubah pendiriannya.

Pukul setengah lima sore, kami berangkat mengendarai motor. Bisa kurasakan dunia baru menyambutku. Anginnya menerpa sekujur tubuh. Kulihat puluhan mobil, motor, sepeda gayung, dan becak, berebut jalan di sepanjang jalan Ahmad Yani yang kami lalui. Mereka membentuk iring-iringan yang membuat jalan makin sempit. 

Inilah pemandangan kota kelahiranku, Surabaya, kota dengan jutaan manusia, jutaan mesin, jutaan gemerlap lampu di malam hari, jutaan sistem yang tak mungkin dipahami satu persatu.

Inilah wajah Surabaya. 

Semakin banyak penghuni makin banyak pula tuntutan. Manusia mengalami putus asa dan demoralisasi.

Pemandangan ini sangat berbeda ketika aku masih kecil. Kala itu Surabaya adalah sebuah kota yang damai dan tentram. Jumlah penghuninya masih kecil. 

Aku selalu yakin hal yang tak orang pilih yang membentuk dirinya: kotamu, lingkunganmu, keluargamu. Orang-orang bangga akan hal-hal ini, seolah-olah itu hal yang mereka capai. Tubuh di sekitar jiwa mereka. Kota mencakup hal-hal tersebut.

Seumur hidup aku tinggal di kota ini. Jika pekerjaanmu adalah mencari sebuah peristiwa, pekerjaan, cinta, penderitaan, atau kebahagiaan, maka sangat membantu untuk tahu darimana mereka berasal. 

Aku temukan orang dari hidup yang susah lalu menghilang. Kehidupan kota bisa jadi sulit. Saat aku masih kecil, kutanya guruku bagaimana bisa masuk surga dan tetap terlindungi dari kejahatan di dunia. Dia bilang patuhi perintahNya dan jauhi laranganNya, maka kau akan selamat.

Saat ini semua orang merasa dirinya sok, paling pintar termasuk pintar menggurui, berlomba mencari kesalahan orang lain padahal dirinya belum tentu benar. Di mana-mana yang kulihat hanya penghormatan saja dan sembah menyembah. 

Mereka telah kehilangan keseimbangan. Tidak ada seorang pun yang memperingatkan, bahwasannya di balik kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup ada maut. Di balik kebesaran ada kehancuran. Di balik persatuan ada perpecahan. Di balik sembah ada umpat.

Maka, jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah adalah jalan ke arah kelestarian. 

***

Tanpa sadar kami sudah meninggalkan Surabaya. Di depan telah menunggu Sidoarjo. Kota ini tidak terlalu besar. Namun belakangan Sidoarjo mulai dilirik orang dengan problema lumpur Lapindonya. 

Memasuki Porong, kami bisa melihat gundukan pasir setinggi sepuluh meter. Orang menyebutnya tanggul lumpur Lapindo. Jalanan Porong tak lagi semulus paha perempuan.

Lubang-lubang jalan mulai memperlihatkan keperkasaannya. Tidak sedikit kendaraan yang melintas terpaksa mengurangi kecepatan, kecuali jika mereka ingin terperosok ke dalamnya.

Melihat orang berjubel menaiki tanggul seakan melihat anak-anak kecil di taman bermain. Ramai. Sepertinya lumpur Lapindo bukan lagi bencana ancaman melainkan sudah bergeser menjadi taman rekreasi. 

Para pengunjung dikenakan tarif dua ribu untuk sekali masuk. Sebuah harga yang tak sepadan dengan teror yang ditebarkannya. Nyaris tiap hari tempat ini dikunjungi puluhan orang dari berbagai daerah–yang kebetulan melintas–untuk melihat keganasan lumpur Lapindo menenggelamkan tujuh desa: Kedungbendo, Reno Kenongo, Jati Rejo, Mindi, Besuki, Siring, Pajaragan atau Pejarakan, itu belum termasuk desa-desa yang terkena dampaknya.

Bertahun-tahun lumpur Lapindo menghimpit kehidupan masyarakat Porong. Bencana lumpur Lapindo telah membuyarkan masa depan mereka. Rumah-rumah terendam, sekolah-sekolah tutup, perusahaan kecil gulung tikar, sawah-sawah gagal panen, mata pencaharian hilang dalam sekejab, lingkungan tercemar, tempat beribadat cuma terlihat kubahnya, bahkan kuburan moyang mereka hilang tertimbun lumpur. 

Bukan itu saja, perekonomian Jawa Timur sempat lumpuh total karena akses jalan tol yang menghubungkan Surabaya dengan daerah lain, seperti Malang, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo, Banyuwangi, terputus.

Semua kendaraan dialihkan ke Porong. Siang hari, kau akan melihat jalanan Porong berubah menjadi lautan berdebu. 

Penderitaan seolah tak ada matinya. Setelah ratusan rumah terendam lumpur, mereka pun harus tinggal di tempat-tempat pengungsian yang jauh dari nyaman dan layak. Air bersih sulit didapatkan. Ratusan pengungsi rentan diserang disentri dan muntaber. Sedang nyamuk-nyamuk nakal manari-nari mengitari mereka sembari menebar teror bahaya demam berdarah dan cikungunya.

Selain itu, derita kelaparan kerap menimpa para pengungsi. Banyak makanan yang disediakan terkesan ogah-ogahan dan seenaknya, sehingga tidak sedikit pengungsi mendapati makanannya basi dan atau dikerubuti ulat. 

Entah sampai kapan penderitaan warga Porong akan berakhir: lima tahun, sepuluh tahun atau tiga puluh tahun mendatang. Tak ada orang yang sanggup memprediksi.

Setidaknya setiap gerak umat manusia terlahir dari yang minus ke plus, dan itu dinamai gerak juang–demikian kata guru matematikaku. 

Warga Porong tidak boleh berhenti berjuang. Kemiskinan harus dibenahi, yang bodoh harus menjadi pintar, yang sakit jangan hanya menunggu sakratul maut saja. Dan semua perjuangan bisa dimulai pada gerakan yang paling minus pada yang paling plus: Permohonan pada Tuhan.   

Ada pelajaran positif yang dapat dipetik dari bencana lumpur Lapindo. Kini dunia mengenal kejadian alam unik tersebut. 

Lumpur Lapindo telah memikat dunia luar dengan kehebohannya. Syahdan, ribuan orang dari belahan dunia silih berganti menginjakkan kaki ke Porong seolah-olah mereka menginjakkan kaki di planet Mars, mulai profesor, peneliti, mahasiswa, dan turis. Dari sekedar menyaksikan, mempelajari, mengkaji, hingga bahkan menghentikan semburan.

Memang melintasi jalanan Sidoarjo menjadi perjalanan termudah, sekaligus mengajari kami menghargai nilai jarak. Entah nanti kami berhasil atau tidak, yang pasti perjalanan berikutnya akan terasa berat. 

Perjalanan melintasi Porong semakin mengasikkan manakala kami saling mengutuk, menertawai, dan membual mengenai ketidakbecusan pemerintah menangani bencana lumpur Lapindo, yang semestinya menjadi bagian akhir perjalanan. Padahal dalam kenyataannya kami baru saja mulai.

Kami pikir perbuatan ini sedikit berlebihan. Sekali lagi kami bertekad untuk membuktikan bahwa kami bisa melanjutkan perjalanan dan menampik anggapan orang bahwa kami pecundang. Namun kecemasan alami menahan kami untuk tak menggembar-gemborkan kepercayaan diri kami yang sudah mendarah daging. 

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...