Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerjasama Ekonomi
Oleh: Radhar Tribaskoro
GEOPOLITIK dunia sedang mengalami transformasi yang signifikan. Pergeseran kekuatan dari dominasi unipolar ke multipolar ditandai dengan meningkatnya peran negara-negara berkembang, termasuk Tiongkok, India, dan negara-negara Asia Tenggara.
Di tengah dinamika ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran kunci dalam menciptakan stabilitas dan kemakmuran di kawasan, terutama dengan menerapkan pendekatan realisme ofensif seperti yang dikemukakan oleh John Mearsheimer. Pendekatan ini, yang berakar pada pemahaman akan kecenderungan negara untuk terus memperkuat posisinya di dunia yang anarkis, dapat membantu Indonesia untuk mengoptimalkan posisinya di kawasan, khususnya dalam konteks Laut Cina Selatan.
Geopolitik Dunia: Tren dan Tantangan
Sejak akhir Perang Dingin, tatanan geopolitik dunia berangsur-angsur berubah dari unipolar, yang didominasi oleh Amerika Serikat, menuju multipolar. Kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok, sebagai pemain utama dalam sistem internasional, terus tumbuh dengan pesat, menjadikannya kekuatan besar yang sulit diabaikan. Di sisi lain, muncul kekuatan lain seperti India, Brasil, dan negara-negara Uni Eropa yang berusaha mempertahankan atau memperluas pengaruhnya. Tren multipolar ini memperlihatkan bahwa kekuatan ekonomi dan politik dunia tidak lagi terkonsentrasi pada satu kekuatan besar, tetapi terbagi dalam berbagai pusat kekuatan.
Di tengah ketidakpastian ini, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan dalam memastikan bahwa kawasan ini tidak hanya menjadi medan kompetisi antara kekuatan-kekuatan besar, tetapi juga bisa mencapai stabilitas dan kemakmuran. Stabilitas kawasan, yang dicapai melalui kerja sama dan diplomasi yang cermat, merupakan prasyarat untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, memiliki posisi strategis untuk memimpin upaya kolektif di kawasan ini, terutama dalam hal menjaga stabilitas di tengah meningkatnya rivalitas kekuatan besar. Namun, untuk mencapai kemakmuran tersebut, Indonesia harus memprioritaskan stabilitas kawasan dan menghindari keterlibatan langsung dalam konflik militer, sambil tetap mempertahankan kekuatan diplomasi dan militer yang cukup untuk mempertahankan kepentingan nasional.
Menciptakan Kemakmuran Melalui Stabilitas Kawasan
Kunci kemakmuran kawasan adalah stabilitas. Stabilitas hanya bisa dicapai melalui kebijakan luar negeri yang konsisten, diplomasi yang kuat, dan, jika diperlukan, sikap defensif yang jelas. Pendekatan realisme ofensif, yang dikemukakan oleh Mearsheimer, memberikan pandangan yang relevan tentang bagaimana negara-negara di kawasan dapat menegosiasikan posisi mereka untuk mencapai keseimbangan kekuatan yang menguntungkan, sambil tetap menghindari konflik bersenjata.
Mearsheimer berargumen bahwa negara selalu mencari kekuatan untuk menjamin kelangsungan hidup mereka di lingkungan internasional yang anarkis. Menurut realisme ofensif, negara tidak hanya perlu mempertahankan diri, tetapi juga harus aktif berusaha memperluas pengaruh mereka untuk meminimalkan ancaman dari negara lain.
Dalam konteks Asia Tenggara, ini berarti bahwa Indonesia perlu mengadopsi sikap yang lebih aktif dalam membangun aliansi dan memperkuat kapasitas pertahanannya guna menjamin stabilitas kawasan. Hal ini bukan untuk tujuan ekspansionis, tetapi untuk memastikan bahwa Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya tidak mudah didikte oleh kekuatan eksternal.
Stabilitas kawasan tidak hanya bergantung pada kemampuan diplomasi, tetapi juga pada penciptaan mekanisme kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Misalnya, inisiatif seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan berbagai mekanisme kerja sama ekonomi ASEAN dapat menjadi platform untuk memastikan bahwa negara-negara di kawasan ini memiliki kepentingan bersama dalam menjaga perdamaian dan stabilitas. Dengan menciptakan interdependensi ekonomi yang lebih dalam, negara-negara di kawasan dapat membatasi kemungkinan konflik militer karena setiap bentuk ketidakstabilan akan merugikan ekonomi semua pihak yang terlibat.
Realisme Konflik di Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan adalah salah satu contoh nyata di mana pendekatan realisme ofensif dapat diaplikasikan. Kawasan ini menjadi titik panas geopolitik karena klaim teritorial yang tumpang tindih antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN, termasuk Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Bagi Indonesia, meskipun secara langsung tidak terlibat dalam klaim teritorial di Laut Cina Selatan, keamanan di kawasan ini sangat penting karena berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia.
Mearsheimer, dengan pendekatan realisme ofensifnya, mungkin akan menyarankan Indonesia untuk mempertahankan postur pertahanan yang kuat dan meningkatkan kapabilitas militernya, terutama dalam menjaga kedaulatan di wilayah perbatasan yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan. Namun, alih-alih meningkatkan potensi konflik dengan memamerkan kekuatan militer, pendekatan yang lebih strategis adalah dengan menggunakan kekuatan tersebut sebagai alat untuk memperkuat posisi diplomasi Indonesia di meja perundingan.
Realisme ofensif mengakui bahwa setiap negara akan berusaha untuk meningkatkan kekuatannya, dan Indonesia dapat menggunakan realitas ini untuk mendorong negara-negara lain di kawasan untuk bekerja sama daripada berkonflik. Caranya adalah dengan memperkenalkan inisiatif-inisiatif kerja sama ekonomi yang menciptakan kepentingan bersama. Dengan demikian, Laut Cina Selatan dapat diubah dari kawasan yang penuh dengan ketegangan menjadi pusat kerja sama ekonomi, di mana negara-negara di kawasan memiliki insentif untuk menjaga perdamaian dan stabilitas.
Transformasi ini membutuhkan pendekatan yang realistis: Indonesia harus memainkan peran sebagai penengah yang tegas namun konstruktif, dengan mengadvokasi inisiatif-inisiatif ekonomi seperti pengembangan bersama sumber daya alam di kawasan yang diperebutkan. Misalnya, melalui pembentukan zona ekonomi bersama di Laut Cina Selatan, yang memungkinkan negara-negara yang bersengketa untuk bersama-sama mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di kawasan tersebut, sehingga mengurangi motivasi untuk berkonflik.
Transformasi Laut Cina Selatan: Pusat Kerja Sama Ekonomi
Untuk mengubah Laut Cina Selatan menjadi pusat kerja sama ekonomi, diperlukan upaya yang konsisten dalam memperkuat institusi kawasan seperti ASEAN dan memperluas kemitraan ekonomi dengan negara-negara besar, termasuk Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Stabilitas Laut Cina Selatan tidak hanya relevan bagi keamanan regional tetapi juga bagi arus perdagangan global, mengingat sekitar sepertiga dari total perdagangan dunia melewati kawasan ini.
Mearsheimer menekankan pentingnya kekuatan untuk meminimalisasi risiko agresi dari negara lain. Dalam konteks ini, Indonesia dapat mendorong ASEAN untuk membangun kekuatan kolektif yang mampu mengimbangi Tiongkok tanpa harus terlibat dalam konflik terbuka. ASEAN dapat menjadi platform untuk memperkuat diplomasi kolektif dan memastikan bahwa tidak ada negara yang mendominasi kawasan secara sepihak. Upaya seperti Code of Conduct (CoC) di Laut Cina Selatan yang sedang dinegosiasikan antara ASEAN dan Tiongkok perlu diperkuat agar dapat menjadi kerangka kerja yang efektif untuk mengelola konflik di kawasan tersebut.
Namun, pendekatan realisme ofensif ini harus diimbangi dengan langkah-langkah ekonomi yang dapat mendorong integrasi kawasan. Misalnya, dengan mendorong investasi bersama di bidang perikanan, energi, dan pariwisata di Laut Cina Selatan. Ketika negara-negara di kawasan memiliki ketergantungan ekonomi yang lebih besar satu sama lain, motivasi untuk memulai konflik akan menurun, karena biaya yang harus ditanggung akan jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapat.
Dalam hal ini, Indonesia dapat memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin informal ASEAN untuk mengadvokasi solusi ekonomi yang kreatif dan inovatif, seperti pembangunan infrastruktur maritim yang didanai secara kolektif oleh negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya. Dengan memastikan bahwa manfaat ekonomi dari Laut Cina Selatan dapat dinikmati oleh semua negara yang terlibat, Indonesia dapat membantu mengurangi ketegangan dan menciptakan kawasan yang lebih stabil dan sejahtera.
Realisme Ofensif dan Diplomasi Indonesia
Pendekatan realisme ofensif mendorong Indonesia untuk selalu siap mempertahankan kepentingannya di kawasan yang anarkis. Namun, dalam konteks dunia yang semakin terintegrasi, penggunaan kekuatan tidak harus selalu berarti kekuatan militer. Indonesia dapat menggunakan diplomasi ekonomi dan diplomasi publik sebagai instrumen untuk memperkuat posisinya di kawasan. Dengan demikian, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih besar dalam menciptakan norma-norma regional yang mendukung stabilitas dan kerja sama.
Diplomasi ekonomi, seperti yang tercermin dalam inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia. Meski BRI sering kali dianggap sebagai alat geopolitik Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya, pendekatan serupa dapat diadopsi oleh Indonesia untuk menciptakan mekanisme kerja sama yang dapat memperkuat posisi ASEAN secara keseluruhan. Investasi infrastruktur yang dilakukan secara kolektif, dengan tujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kemakmuran bersama, dapat menjadi cara efektif untuk menciptakan ketergantungan ekonomi yang mendorong stabilitas kawasan.
Menuju Stabilitas dan Kemakmuran di Asia Tenggara
Geopolitik dunia yang sedang bertransisi menuju multipolaritas menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Melalui pendekatan realisme ofensif, Indonesia dapat memainkan peran aktif dalam menciptakan stabilitas kawasan yang pada akhirnya akan membawa pada kemakmuran ekonomi. Laut Cina Selatan, yang selama ini menjadi titik panas konflik geopolitik, dapat ditransformasi menjadi pusat kerja sama ekonomi dengan pendekatan yang menggabungkan kekuatan diplomasi, ekonomi, dan pertahanan.
Dalam rangka mencapai tujuan ini, Indonesia perlu berperan sebagai pemimpin di ASEAN untuk mempromosikan kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan dan menciptakan mekanisme diplomasi yang mencegah konflik militer. Upaya ini tidak hanya membutuhkan komitmen politik yang kuat, tetapi juga strategi yang realistis dalam menghadapi berbagai dinamika kekuatan di kawasan. Dengan demikian, stabilitas dan kemakmuran di Asia Tenggara dapat dicapai, memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat di kawasan ini.
“In international politics, it is better to be Godzilla than Bambi.” – John Mearsheimer.
Kutipan ini menggambarkan bahwa dalam dunia internasional yang anarkis, hanya negara yang kuat yang mampu bertahan dan mengamankan kepentingannya. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari ini, bahwa untuk memastikan stabilitas dan kemakmuran kawasan, posisi yang kuat di bidang diplomasi, ekonomi, dan pertahanan harus senantiasa diperjuangkan.
Relevansi pendekatan realisme ofensif dalam konteks geopolitik Asia Tenggara menegaskan bahwa kekuatan dan kerja sama adalah dua sisi mata uang yang sama. Hanya dengan memiliki kekuatan yang cukup untuk mempertahankan diri dan memanfaatkan diplomasi untuk memperkuat kerja sama regional, Indonesia dapat mencapai visi kemakmuran yang berkelanjutan dan stabilitas kawasan yang kokoh.@
*) Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)