Antara Kriminalitas Maju Tak Gentar dan Kriminalitas Akal Kancil
Oleh: Amang Mawardi
KEMARIN malam sebuah vlog pendek dari sebuah channel YouTube lewat di beranda saya. Vlog itu tentang warung kecil di pinggir jalan raya di kawasan Indonesia bagian timur.
Warung yang menjual sebangsa rokok, korek api, kopi sachetan, air mineral, dan lain sebagainya — termasuk cairan semprotan pembasmi nyamuk– bagian sisi depan dipasangi teralis besi. Dan, diberi lubang sebesar keramik ukuran 20×20 cm untuk melewatkan barang yang dibeli dan uang dari pembeli.
Penjual yang melayani konsumen seorang wanita sekira 25 tahun.
Pengunggahnya adalah channel ‘Kupas Tuntas Motor’ (183.000 subcriber) dimana vlog ini sudah ditonton 7,4 juta viewers.
Seperti biasanya jika menikmati tontonan yang lagi viral, paling asyik membaca pendapat viewers di kolom komentar. Antara lain begini:
– Ya, gak papalah diberi teralis demi keamanan dan kenyamanan bersama.
– Heran saya, di Indonesia apa benar-benar sudah tidak aman, kok sampai ada warung diberi teralis.
– Kalau di Manila, banyak tuh warung diberi teralis.
Tapi ada keanehan saya lihat, mbak si penjual ini melewatkan lebih dulu barang yang dibeli via lubang seukuran keramik itu, baru kemudian menerima uang pembelian.
Banyak penonton yang menyarankan di kolom komentar bahwa sebaiknya uang diterima dulu, baru barang diberikan.
Apa perlunya diberi teralis seperti ruang tahanan di markas polisi, jika uang pembelian diterima belakangan? Bagaimana kalau barang dibawa kabur, uang pembelian tidak diberikan?
Di Surabaya jarang ada warung (antara lain ‘mracangan’) yang diberi teralis. Apa mungkin karena sudah ber-CCTV sebagaimana semuanya terpasang di
mini market.
Sebetulnya setting yang mirip warung di Indonesia bagian timur di atas adalah warung-warung Madura yang buka 24 jam. Tetapi pemilik warung Madura ini tidak memasang teralis, setidaknya di kawasan dekat rumah saya.
***
Meski bukan semacam di atas, saya punya pengalaman traumatik pada semacam warung.
Tahun 1988-2000, saya pernah mengontrak tempat seukuran 3 x 5 meter di pinggir jalan raya sekitar 500 meter dari rumah, yang lantas saya buat toko alat tulis dan jasa titipan kilat Tiki. Juga saya jual 4-5 lukisan produksi Sokaraja, Banyumas, titipan tetangga yang asalnya sekitar kabupaten itu.
Di toko ini juga saya jual perangko dan meterai.
Adalah peristiwa dua kali perangko dan meterai lenyap dibawa kabur orang dengan cara mengelabui penjaga toko.
Penjaga toko pertama seorang wanita seusia 20 tahun — katanya, “Seperti tidak terjadi apa-apa. Tahu-tahu saat lelaki perlente itu pergi –setelah nunjuk-nunjuk barang yang lantas tak jadi dibeli– lha kok perangko-perangko dan sejumlah meterai hilang.”
Tak lama kemudian gadis itu keluar dan ikut kakaknya di luar kota.
Karyawan toko saya selanjutnya, ganti pemuda usia sama dengan karyawati yang keluar itu. Dan, terjadi kembali: lenyapnya perangko dan meterai.
Akhirnya saya putuskan, untuk seterusnya tidak menjual dua jenis kertas berharga tersebut.
Dari cerita tentang warung berteralis di Indonesia bagian timur di atas, dan toko stationary punya saya, akhirnya saya coba simpulkan: mungkin pernah ada pencurian dengan pemberatan di warung teralis. Sedang penipuan (boleh jadi penggendaman) ada di toko saya yang tidak berteralis.
Atau untuk sementara saya elaborasi begini, “orang sana” melakukan perbuatan kriminal dengan tatag maju tak gentar. Sementara “orang sini” dengan akal kancil yang boleh jadi: licik.@
*) Penulis wartawan senior