Bahu Laweyan #26

Menyepi Di Hutan

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk dan Iksan resmi bercerai. Sesuai kesepakatan, Iksan membawa anak-anak ke pesantren. Sementara bagi Nunuk, perceraian itu masih terasa menyakitkan. Sudah delapan kali Nunuk menikah. Yang terakhir ini paling berat.

Dulu, Nunuk pernah menceraikan suami keempatnya Bayu. Sakitnya biasa saja. Kini, keadaan berbalik. Dia dicerai suami. Yang paling berat, anak-anak dibawa serta. Padahal Nunuk sangat sayang terhadap ketiga buah hatinya.

Ya, semua itu rela dilakoni demi keselamatan dan masa depan anak-anaknya. Nunuk ikhlas meski hal itu menyakitkan.

Namun hatinya sedikit terobati dengan bisikan terakhir suaminya. Bisikan itu membangkitkan semangatnya untuk tetap kuat menjalani hidup, terutama melawan makhluk jahat yang menganggu keluarganya.

Tekad Nunuk sudah bulat. Dia harus menyingkirkan Gendro Swara Pati agar tidak ada lagi tumbal ketujuhnya atau tumbal terakhir.

Nunuk sudah lelah sepanjang hidupnya dipermainkan makhluk jahat tersebut. Makhluk itu telah lama bersemayam di tubuhnya dan menumbalkan orang-orang tak berdosa. Meski ada sebagian dari mereka yang memang layak untuk mati. Tapi, tetap saja urusan mati hanya Allah Swt yang berhak menentukan.

Setelah makhluk itu dikeluarkan oleh Iksan dari tubuh Nunuk, Gendro Swara Pati masih datang menganggu. Gagal menyerang dirinya dan suami, anak-anaknya yang justru mau dijadikan sasaran.

Karena itu Nunuk memutuskan untuk melawan Gendro Swara Pati. Dia memilih menyepi di tengah hutan. Jauh dari keramaian.

“Saya memilih menyepi di hutan. Saya dibantu bapak bangun semacam rumah dari kayu yang kemudian digunakan untuk membuka warung kopi. Jika malam, bapak ikut tidur di tempat itu. Sekedar menemani saja. Paginya bapak turun untuk mengurusi sawah. Hutan itu tidak terlalu sepi. Masih ada banyak orang lalu lalang setiap pagi dan malam. Mereka ada yang mencari kayu bakar, cari rerumputan untuk pakan ternak, dan belanja kebutuhan warung. Ya, beberapa di antara mereka ada yang buka warung kopi. Lokasinya di bawah kaki gunung Penanggungan. Dekat dengan tempat wisata.”

Dengan pergi menjauh dari keramaian, Nunuk merasa lebih tenang. Hatinya tak lagi dihinggapi was-was. Dia bersyukur sejak berpisah dari suami dan anak-anaknya, tidak ada lagi insiden Gendro Swara Pati.

“Ya, meski kami berpisah. Mas Iksan tetap menghubungi melalui SMS. Dia mengatakan bahwa anak-anak baik-baik saja. Mereka bahagia di pesantren. Punya banyak teman dan dapat belajar ilmu agama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Soal Gendro Swara Pati, Mas Iksan bilang makhluk itu tidak lagi menganggu anak-anak. Selain faktor perceraian, mungkin juga faktor lokasi yang membuat Gendro Swara Pati tidak berani menganggu anak-anak.”  

Hidup di tengah hutan awalnya berat. Selain tidak terbiasa, Nunuk juga harus berhadapan dengan kondisi alam yang kerap tidak bersahabat. Kalau musim hujan, jalanan becek dan sulit dilalui. Jika kemarau, udara pegunungan terasa sangat dingin sampai menusuk ke tulang.

Beruntung sebagian jalan sudah diaspal. Sehingga bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Karena memang lokasinya yang dekat dengan tempat wisata.

Di tempat itu, setiap malam Nunuk mendengarkan suara-suara hewan yang saling bersahut-sahutan. Sesekali terdengar suara orang menyeret-nyeret kakinya. Setelah ditengok, tidak ada orangnya. Lalu, ada suara ketukan pintu, juga tidak ada wujudnya. Awalnya, hal itu menakutkan bagi Nunuk. Lama-lama menjadi biasa.

“Banyak keanehan terjadi di awal-awal saya menempati hutan. Kadang ada suara orang tertawa tapi tidak ada wujudnya. Ada suara anak kecil di malam hari. Pokoknya banyak keanehan di tengah hutan.”

Meski mengalami banyak keanehan, hal itu tidak membuat Nunuk lupa akan Tuhannya. Dan seperti pesan mantan suaminya, di manapun dia berada jangan pernah meninggalkan sholat. Sebab sholat adalah tiang agama. Tanpa sholat, maka robohlah bangunan itu. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Nunuk tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat. Dia selalu puasa. Selalu ngaji. Berada di hutan membuat ibadahnya semakin khusyuk.

Di samping warung, bapaknya membangun sebuah surau. Terbuat dari bambu. Sementara atapnya terbuat dari bahan ijuk yang diambil dari serat alami. Atap ijuk ini bisa bertahan lama. Tahan terhadap asam, rayap, dan bisa menyerap air maupun panas.

Sayangnya, surau itu hanya mampu menampung empat orang. Setidaknya, para pembeli bisa sholat di situ. Dan di situ pula Nunuk menghabiskan banyak waktu untuk beribadah.

Karena kekhusyukan Nunuk, Gendro Swara Pati dan bala tentaranya tidak mampu mendekati. Mereka hanya bisa menganggu dari kejauhan dengan membuat suara-suara aneh.

Hidup di tengah hutan memang jauh dari materi. Tapi dengan kesederhanaan itu, segala kebutuhan Nunuk malah terpenuhi. Dia tidak pernah kehabisan air, sebab lokasinya dekat dengan sumber mata air pegunungan. Airnya jernih. Tidak perlu turun untuk beli air.

Untuk makan sehari-hari, dia tinggal menyisihkan beras hasil panen sawah. Sisanya dijual ke pasar. Untuk lauknya, tinggal beli dari hasil jualan warung kopi.

Jika perlu kebutuhan tambahan seperti sabun, odol, dan lain-lain, Nunuk tinggal turun ke bawah untuk belanja. Jika malas, dia bisa titip ke teman-teman sesama pedagang.

Di hutan rupanya ada pedagang sayur keliling. Dia sering naik ke atas dengan membawa sisa-sisa dagangannya usai berjualan ke kampung.

“Wong ganteng datang, wong ganteng datang,” teriak Suud, pedagang sayur dengan gaya khasnya.

Biasanya warung Nunuk menjadi persinggahan terakhir Suud usai keliling menjajakan sayur. Di situ Suud bisa melepas lelah selama berjam-jam. Sambil ngopi dan ngudut. Kadang ditemani Nunuk ngobrol. Cerita panjang lebar soal rumah tangganya. Jika kelelahan, Suud langsung masuk surau dan tidur. Satu jam kemudian bangun dan pulang.

Setiap Suud datang, Nunuk pasti membeli sisa dagangannya meski hanya tempe dan ikan asin. Jika tak mampu bayar, dia ngutang. Bayarnya sebulan kemudian. Atau, dibayar dengan beras hasil panen di sawah.

“Alhamdulillah, saya tidak pernah kekurangan suatu apapun selama di hutan. Ada banyak orang di hutan. Rata-rata mereka orang kampung. Saya dan mereka sama. Hidup sederhana di hutan dan jauh dari keramaian. Kami saling melengkapi. Tidak ada cekcok, tidak ada huru hara, tidak ada pertikaian, tidak ada cemburu, tidak ada curiga. Sebaliknya, hidup di tengah hutan membuat saya semakin tekun beribadah. Saya bisa berpikir lebih jernih atas semua nikmat yang diberikan Allah Swt.”

***

Tahun berganti tahun, tidak terasa hampir 5 tahun Nunuk menyendiri di tengah hutan. Bapaknya sudah jarang menemani. Sebab Nunuk dianggapnya sudah bisa beradaptasi dengan hutan. Justru bapaknya kini mulai sering mengunjungi cucu-cucunya di Kediri. Memastikan keadaan mereka dan sekaligus bertemu dengan Iksan.

Dari bapaknya itu Nunuk sering mendengar banyak cerita-cerita menarik soal Iksan dan anak-anak. Tidak sia-sia Nunuk melepas kepergian suami dan anak-anaknya.

Aisyah, Fatimah, dan Muhammad kini telah menjadi hafiz cilik. Mereka mampu menghafal 30 juz Alquran.

“Saya bangga dengan Mas Iksan. Dia seorang bapak yang baik dan bertanggungjawab. Dari bapak, saya juga mendengar banyak cerita menarik soal Mas Iksan dan anak-anak. Kata bapak, sampai sekarang Mas Iksan masih terus berdakwah keliling. Usai berdakwah, Mas Iksan kembali ke pesantren untuk mendidik santri-santrinya termasuk anak-anak. Dari bapak pula saya mendengar cita-cita anak-anak. Aisyah ingin kuliah di Mesir. Fatimah ingin mondok di Gontor. Dan Muhammad ingin meniru jejak bapaknya menjadi mubaligh.”  

Namun ada cerita menarik dari bapaknya Nunuk soal Iksan. Ya, laki-laki itu setelah hampir 5 tahun berpisah dengan istrinya, tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Iksan ingin fokus berdakwah dan membesarkan ketiga buah hatinya. Selain itu, Iksan sepertinya masih mencintai Nunuk. Bagi Iksan, Nunuk adalah cinta pertama dan terakhirnya.

“Ya, bapak cerita kalau Mas Iksan tidak mau menikah lagi. Baginya mencintai satu perempuan sudah lebih dari cukup. Kini, dia tinggal fokus mendidik anak-anak, mengajari ilmu agama, dan mengarahkan mereka mengapai cita-citanya. Jujur, setiap kali mendengar cerita bapak, saya tidak kuasa menahan tangis. Anak-anakku, buah hatiku, cintaku, semoga kalian baik-baik saja di sana. Maafkan ibu tidak bisa mendampingi kalian. Ibu hanya bisa mendoakan kalian semoga selalu mendapat ridhoNya. Semoga apa yang kalian cita-citakan dapat tercapai. Setelah urusan ibu selesai, ibu janji akan datang ke kalian. Di sini ibu masih menunggu datangnya calon suami ibu kesembilan. Sebab hanya dia yang sanggup membunuh Gendro Swara Pati.”

[bersambung]

bahu laweyan