Bahu Laweyan #36

Tulisan Sahid 

Oleh: Jendra Wiswara

Mulut Suud tak henti-hentinya mengucap istigfar usai membaca kertas berisi tulisan Arab gundul. Sesekali dia memejamkan mata. Mengenangkan risalah yang sudah lama sekali dia lupakan.

Gara-gara tulisan itu, pengetahuannya seperti kembali. Seperti ditiupkan di atas ubun-ubun, menerobos ke bumi, meluncur deras tanpa angin, mencapai titik puncak, dan membuat lengkungan-lengkungan panjang. Lalu menghilang. Namun dengan sedikit pengetahuannya, Suud tetap mampu memaknai seluruh tulisan.

“Mas Suud, ada apa. Kok kelihatannya bingung?” Nunuk membuyarkan kebingungan Suud.

“Kertas ini,” Suud menunjukkan ke pemiliknya dan menggoyang-goyangkan, “Siapa yang menulis, Ning?”

“Ada yang salah dengan isinya, Mas?” Nunuk bertanya penasaran.

“Tidak ada,” Suud menggeleng, “Aku sudah lama tidak membaca Arab Pegon. Selepas dari mondok. Begitu berumah tangga dan punya 5 anak, aku tak pernah lagi membaca Arab Pegon.”

“Lalu kenapa Mas Suud kelihatan kebingungan. Apa Mas Suud masih bisa membaca tulisan itu?”

“Bisa. Cuma isi di dalamnya yang membuatku bingung, Ning!”

“Bisa bacakan padaku, Mas,” pinta Nunuk.

“Tulisan ini seperti sajak. Aku bacakan ya.”

Suud kembali membuka kertas tersebut. Membaca lantang di depan Nunuk. Begini isi tulisan kertas tersebut:

Kekasihku ada, aku yang tiada

Kekasihku awal dan akhir, aku yang baru

Kekasihku kekal, aku yang rusak

Kekasihku berbeda, aku yang sama

Kekasihku tidak bertempat, aku yang menetap

Kekasihku tunggal, aku yang banyak

Kekasihku berkuasa, aku yang lemah

Kekasihku berkehendak, aku yang terpaksa

Kekasihku mengetahui, aku yang bodoh

Kekasihku hidup, aku yang mati

Kekasihku mendengar, aku yang tuli

Kekasihku melihat, aku yang buta

Kekasihku berbicara, aku yang bisu 

Kadilangu, Demak…(di balik kertas tertulis alamat lengkap dalam bentuk Arab Pegon berikut nama seseorang wanita Fatimah Azzahra).

Suud berhenti. Menatap Nunuk yang sedang merenung. Menunggu respon dari perempuan bahu laweyan itu. Sajak itu indah tapi sulit dicerna. Yang dia ingat, Sahid dulu sering menyebut nama ‘kekasih’. Sekarang, di tulisan itu, nama kekasih disebut berulang kali.

“Sajak yang indah, Mas!” Seru Nunuk melepaskan diri dari renungannya.

“Awalnya kukira juga demikian, Ning. Tapi lamat-lamat kuperhatikan, ini bukan sajak.”

“Maksud Mas Suud?” Nunuk ganti menatap Suud.

Pria itu lantas berdiri. Berjalan mondar mandir di hadapan Nunuk. Tampak tas kecil yang diikatkan di pinggangnya bergoyang ke sana kemari mengikuti gerakan tubuh Suud. Di dalam tas itu berisi uang hasil jualan berdagang. Esok, uang itu akan digunakan untuk kulakan lagi. Saat ini, Suud tak mempedulikan tas maupun isinya. Pikirannya tertuju pada isi kertas.

“Biar kubacakan sekali lagi, Ning,” ujar Suud sambil berdiri dan berputar-putar di tempat itu-itu juga. Kertas dalam genggaman. Sepintas pria itu mirip sastrawan sedang membaca puisi.

“Kekasihku ada, aku yang tiada. Kekasihku awal dan akhir, aku yang baru. Kekasihku kekal, aku yang rusak,” bacaan Suud berhenti di situ, dan balik menatap Nunuk.

Nunuk mengangkat pundak. Tidak paham maksud Suud berhenti di tiga baris kalimat.

“Menurutmu apa artinya, Ning?” Suud bertanya.

Nunuk menggeleng kepala.

Lalu Suud menerangkan, “Semua yang tertulis di sini adalah sifat-sifat Allah. Aku baru sadar setelah membaca keseluruhannya.”

“Benarkah?”

Nunuk kaget. Hampir dia berdiri karena keterkejutannya.

Suud meletakkan kertas di atas meja. Agar Nunuk juga ikut melihat dan membacanya.

“Ini lihat Ning,” Suud menunjukkan tulisan, “Kekasihku ada, aku yang tiada. Ada adalah sifat wujud. Kekasihku awal dan akhir, aku yang baru. Awal dan akhir adalah sifat qidam. Kekasihku kekal, aku yang rusak. Kekal adalah sifat baqo’. Semua yang disebut di sini adalah sifat-sifat Allah.”

“Subhanallah!” Seru Nunuk.

Suud pun manggut-manggut mengenangkannya.

“Lalu ada kata ‘aku’ di sini maksudnya apa?” Tanya Nunuk penasaran.

“Di sini penulisnya seolah-olah menempatkan dirinya sebagai muhal alias kemustahilan. Penulisnya memposisikan dirinya sebagai makhluk. Artinya dari sifat-sifat Allah itu tidak ada makhluk yang menyamai.”

Nunuk kembali merenung. Tulisan Sahid membuatnya bingung sekaligus merinding, terutama setelah Suud menjelaskan arti dari tulisan tersebut.

“Ning, kalau boleh tahu siapa yang menulis ini?” Suud kembali menanyakan pertanyaan serupa.

“Mas Sahid,” sahutnya lirih. Dia lalu meraih kertas yang tergeletak di atas meja, tidak mempedulikan Suud. Kertas itu dipandanginya untuk waktu yang lama. Kepalanya geleng-geleng.

“Sahid…Sahid…Sahid…” Sementara Suud terus mengulang-ulang nama itu. Sebatang rokok diambil, dihisap dalam-dalam, kiranya dapat membawa kenikmatan saat merenung kata-kata dalam tulisan.

***

Dalam suasana penuh kebatinan, Nunuk mulai bicara terbuka dengan Suud yang sudah dianggapnya seperti saudara. Lagipula Suud adalah jebolan pondok, sedikit banyak pasti tahu dunia Sahid.

“Mas Suud, apa yang kamu lihat dari suamiku?” Nunuk membuka obrolan.

“Ya seperti yang kubilang Ning. Dia bukan sembarang orang. Apalagi setelah melihat tulisan dia.”

“Apa Mas Suud percaya dia berada di sini secara kebetulan, hingga kami menikah?”

“Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semua kejadian sudah ada yang mengatur. Walaupun terkadang kita sebagai manusia selalu luput dari kesalahan. Kita tidak tahu kebetulan seperti apa yang sedang diatur oleh Allah.”

Walau gayanya cengengesan, rupanya pemahaman ilmu agama Suud juga tinggi. Sayangnya Suud cerita kalau dia jarang mempraktikkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dia mengaku lebih banyak lupanya ketimbang ingatnya. Kendati begitu, Suud tidak pernah tersesat dari jalannya.

Alangkah beruntungnya Nunuk dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Sahid, Iksan, dan Suud. Perempuan bahu laweyan itu menemukan hal-hal baru dalam hidupnya. Terutama soal agama.

“Saya senang bicara dengan Suud. Dia memiliki ilmu agama mumpuni meski terkadang gayanya urakan. Yah, itulah Suud, wong ganteng yang selalu riang pada setiap pelanggan. Tidak pernah hitung-hitungan pada pelanggan, apalagi pada teman seperti saya. Suud sering menolong pelanggan yang kesusahan. Mereka disuruh mengambil dagangannya secara gratis agar mereka bisa makan. Dia juga tidak keberatan dagangannya dibayar belakangan. Mau dilunasi atau tidak, dia tidak pernah menagih. Semua pelanggannya suka dengan Suud.”

Sebelum menceritakan soal Sahid, Nunuk kembali melemparkan pertanyaan pada Suud.

“Mas Suud percaya tujuanku tinggal di hutan ini bukan sebuah kebetulan?”

“Aku percaya, Ning. Cuma aku tidak tahu tujuan sampeyan tinggal di sini. Aku melihat sampeyan orangnya cantik. Kadang sempat terlintas di pikiranku kenapa wanita secantik ini mau tinggal di hutan. Aku dulu mau bertanya soal itu, takut sampeyan tersinggung.”

“Iya Mas, sebenarnya aku tidak kebetulan tinggal di hutan ini. Selama 6 tahun ini aku memang sedang menunggu calon suamiku. Dan, akhirnya yang ditunggu datang. Mas Sahid.”

“Bagaimana sampeyan yakin kalau Mas Sahid datang dan menjadi suami?”

Suud penasaran dengan kehidupan perempuan bahu laweyan tersebut. Nunuk tanpa canggung menceritakan peristiwa-peristiwa di luar nalar yang dialaminya, dari mulai makhluk halus bernama Gendro Swara Pati yang bersemayam di tubuhnya, kematian suami-suaminya, pernikahannya dengan ustad hingga dikaruniai tiga anak, hingga pertemuannya dengan Sahid.

Suud mendengarkan cerita Nunuk dengan sangat serius. Tak ada canda tawa. Tak ada pertanyaan, hanya menyimak seperti dia menyimak kitab kuning semasa mondok dulu. Tak ada lagi tampang ‘wong ganteng’, yang ada tampang ‘wong ndeso’ menaruh iba.

Yang membuat Suud terhenyak ketika Nunuk bercerita soal karomah pada diri Sahid. Sejauh ini, Nunuk beruntung dapat menyaksikan dengan mata kepalanya karomah luar biasa yang dimiliki Sahid.

Nunuk menceritakan secara runtut dari awal pertemuannya dengan Sahid, soal kejadian unik di surau, soal sholat Sahid di dua tempat berbeda, soal hobi Sahid yang menyukai dan disukai kucing, soal Suud yang dagangannya diborong, soal Sahid menjadi imam dan hafal Alquran, terakhir soal Sahid yang mengumpulkan ribuan jin penghuni hutan dan para jin tunduk padanya, bahkan Gendro Swara Pati berhasil diusirnya.

“Masya Allah, Ning!” Suud mengelus dada mendengarkan cerita Nunuk.

“Jadi begitu ceritanya, Mas. Sepertinya semua kejadian yang kualami tidak ada kebetulan.”

“Aku sudah menyangka Mas Sahid. Dia…dia…ah, beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Wali Allah itu. Mungkin juga ini pertemuan pertama dan terakhirku dengan beliau.”

“Kenapa Mas Suud bilang begitu?”

Suud menjelaskan, “Ning, kalau kata kyaiku di pondok, yang namanya Wali Allah itu sulit dijumpai. Apalagi oleh orang-orang seperti kita yang masih berlumuran dosa. Kalau pun dari kita dapat bertemu, kita tidak bakal menyangka bahwa dia seorang wali. Kita dapat bertemu dengan dia hanya atas seizin dia.”

“Mas Sahid sekarang sudah jadi suamiku. Kita bisa bertemu lagi!” Seru Nunuk meyakinkan diri sekaligus meyakinkan Suud.

“Apakah saat Mas Sahid pergi, sampeyan dapat mencegah kepergiannya?”

Nunuk menggeleng.

“Saat Mas Sahid datang, apakah sampeyan tahu dia seorang wali, apakah sampeyan mengundangnya?”

“Tidak.”

“Meski sampeyan menunggunya, dan mungkin dia sudah tahu bahwa sampeyan menunggunya, pertanyaannya mengapa harus menunggu hingga 6 tahun?”

Nunuk menggeleng lagi.

“Setelah kalian menikah. Apa yang kalian lakukan di malam pertama?”

“Dia menjadi imam sholatku?”

“Tidak ada hubungan suami istri?”

“Tidak ada.”

“Apakah sampeyan tidak ingin berhubungan layaknya suami istri dengan Mas Sahid, dan saya yakin Mas Sahid pasti tidak mempunyai keinginan itu?”

“Tidak ada keinginan seperti itu. Aku tidak memiliki keinginan kenikmatan atas jasadku. Yang kuinginkan saat itu hanya Allah.”

“Itulah Mas Sahid, Ning. Saya kira beliau telah meleburkan urusan duniawi maupun ukhrawi. Dia tidak lagi mencari Tuhan, karena dia sudah bersama Sang Kekasih seperti dalam tulisannya. Kehendak dia adalah kehendak Allah. Kuasa dia adalah kuasa Allah. Akal dan budinya menyatu atas nama Kekasih. Dia telah meng-esa-kan Kekasihnya. Tidak ada yang lain selain Kekasih.”

Mendengar penjelasan Suud, sekujur tubuh Nunuk merinding. Tidak disangka Suud bisa menjelaskan secara detil gambaran Sahid.

“Mas Suud tahu banyak soal wali,” sahut Nunuk.

“Itu cerita yang kudapat dari para ulama di pondok, Ning. Mas Sahid itu orang-orang pilihan. Tidak mudah bagi kita untuk bertemu dengannya, meski sekarang sampeyan sudah menjadi istrinya. Karena itu aku tidak yakin dapat bertemu dengan beliau lagi.”

“Lalu aku harus bagaimana, Mas?”

“Mas Sahid meninggalkan pesan apa ke sampeyan sebelum pergi?”

“Dia menyuruhku ke Demak bersama anak-anakku. Tapi dia bilang belum tentu dapat bertemu dengannya.”

“Kalau begitu lakukan saja apa apa yang sudah dipesan Mas Sahid. Beliau tahu apa-apa yang belum kita lakukan. Barangkali sampeyan masih diberi kesempatan untuk bertemu sekali lagi dengannya.”

“Iya, Mas,” sahut Nunuk.

[bersambung]

bahu laweyan
Komentar (0)
Tambah Komentar