Bahu Laweyan #42

Tinggal di Pondok Pesantren 

Oleh: Jendra Wiswara

Matahari mulai tenggelam. Udara pedesaan terasa segar. Badan mulai bebas digerakkan. Sudah waktunya untuk sholat Magrib berjamaah. Iksan mengajak Nunuk pergi ke masjid.

“Hari ini jadwalku mengimami. Nanti obrolan kita lanjut ba’da Magrib,” jawab Iksan.

“Iya, Mas.”

Nunuk mengikuti langkah Iksan. Sesampai di masjid, dia melihat Aisyah dan Fatimah bersama santriwati lain.

“Bu, kita sholat bersama ya,” ajak Aisyah.

“Iya, Nak. Kamu masuk dulu ke dalam. Ibu menyusul,” jawab Nunuk.

Namun Fatimah tidak beranjak masuk ke dalam masjid. Gadis itu tetap menunggui ibunya hingga selesai wudhu. Anak itu masih kangen dengan ibunya. Bahkan saat sholat berjamaah, dia meminta berada di samping ibunya.

Dan untuk kesekian kalinya setelah 6 tahun, Nunuk dihadapkan kembali pada kenangan masa lalu. Dulu sewaktu masih menjadi istri ustad muda tersebut, saben hari Iksan selalu mengimaminya. Itu jika Iksan sedang di rumah.

Hari ini, mantan suaminya berdiri menjadi imam di antara ratusan santri. Dan, di antara mereka ada Nunuk yang menjadi makmum.

Masih tergambar jelas dalam pikirannya saat-saat indah itu. Semua kejadian yang dialami bersama terbayang dalam pelupuk mata. Seolah-olah keindahan itu baru terjadi kemarin. Iksan saat itu menjadi suami, sahabat, sekaligus imam. Nunuk membayangkan semua itu. Tersenyum dia. Betapa indahnya. Nunuk serasa menjadi wanita paling beruntung di dunia.

“Allahu Akbar,” suara takbir Iksan membuyarkan angan-angan Nunuk.

“Allahu Akbar,” Nunuk mengikuti dengan suara lirih, sama dengan makmum lain.

Selepas Magrib, para santri mulai mempersiapkan diri masuk ke kelas. Menyibukkan diri dengan kitab-kitab, dengan guru-gurunya, dengan kedisiplinannya.

Aisyah dan Fatimah buru-buru pamit pada Nunuk dan menyalami tangannya.

“Bu, kita masuk kelas dulu ya,” kata Aisyah.

“Malam ini aku mau tidur sama ibu,” pinta Fatimah manja.

Keduanya pun melengos sembari membawa sebuah kitab yang didekap di dadanya. Mereka berjalan bersama lalu berpisah. Masuk ke kelasnya masing-masing.

Tak lama Muhammad menghampiri. “Bu, malam ini Ahmad mau tidur sama ibu. Ibu tidak boleh pergi lagi,” kata Muhammad sedikit memaksa.

“Iya, Nak. Malam ini ibu menginap di pondok. Itu jika diijinkan sama ayahmu.”

“Harus boleh. Nanti ibu tidur di kamar ayah. Dan ayah tidur di kamar santri putra,” jawab Muhammad tidak memberi kesempatan ibunya membantah.

Dan, anak itu pun pamit pergi. Dia menuju kelas lain.

Tak lama terdengar suara menggema. Saling sahut-sahutan. Ada kelas yang melantunkan sholawat. Ada kelas yang menghafalkan ayat-ayat Allah. Ada kelas yang tidak terdengar suara santrinya tapi yang terdengar suara gurunya sedang membaca kitab.

Nunuk kembali ke balai-balai bambu. Tak lupa dia mengajak bapaknya. Namun ajakannya ditolak. Bapaknya ingin pergi jalan-jalan ke kampung dan mencari warung kopi. Udara malam di pedesaan sekiranya sangat sayang untuk diabaikan oleh bapaknya Nunuk. Itu lebih baik ketimbang harus mendengarkan Nunuk dan Iksan bernostalgia, pikirnya.

***

Malam kian senyap meski matahari baru tenggelam. Itu karena semua orang sedang sibuk di kelas. Tak seorang melintas di depan Nunuk. Hanya sekali saja, seorang laki-laki mengenakan sarung, baju gamis, dan songkok mendatanginya. Laki-laki itu begitu ramah pada Nunuk.

“Bu, maaf adanya ini saja,” kata dia menyajikan minuman teh untuk Nunuk dan cemilan pohong rebus. Dia juga membawa secangkir kopi dan diletakkan di depan Nunuk. Kopi itu kelihatannya untuk Iksan.

“Tidak apa-apa, Dik. Maaf merepotkan ya.”

“Tidak apa-apa, Bu.”

Sebelum pergi, Nunuk bertanya pada laki-laki itu.

“Apakah adik juga santri sini?”

“Injeh, Bu.”

“Adik sudah lama di sini?”

“Alhamdulillah, sudah 5 tahun.”

“Adik asalnya dari mana?”

“Saya dari Ngadiluwih, masih dekat-dekat sini. Maaf saya tinggal dulu ya.”

Nunuk menyiyakan. Sepeninggal laki-laki itu, pandangan Nunuk tertuju pada pohong rebus. Sepertinya enak. Sejak siang tadi perutnya belum diganjal makanan apapun. Dia mengambilnya satu. Digigit dan dikunyah.

Dari kejauhan Nunuk melihat Iksan keluar dari masjid. Perempuan itu buru-buru menghabiskan pohongnya. Dia tidak mau saat bersama Iksan, dirinya terlihat seperti orang kelaparan.

“Apakah kamu sudah makan, Dik,” Iksan datang dan menawari Nunuk.

“Ini sudah cukup, Mas.”

Keduanya tersenyum. Keduanya juga agak canggung meneruskan obrolan.

“Mas, apa…”

“Dik, apa…”

Hampir keduanya mengucap bersamaan.

“Silahkan kamu dulu,” jawab Iksan.

“Kamu dulu, Mas.”

Perempuan bahu laweyan itu sebenarnya berharap Iksan dapat mengijinkannya tinggal di pondok. Bukan sekedar ingin tahu, terutama karena Nunuk ingin mendekatkan diri lagi dengan anak-anaknya. Selain itu, Nunuk juga ingin mengenal kehidupan di pondok. Apalagi, banyak hal yang harus dilakukan Nunuk di pondok tersebut. Salah satunya dia masih berhutang janji pada Iksan untuk menemui Siti Maimunah, ibu yang menyusui Muhammad.

Nunuk sebenarnya sudah punya rencana untuk pergi ke rumah Sahid bersama anak-anaknya. Tapi hal itu sepertinya terlalu cepat baginya. Soal Sahid, masih banyak waktu. Yang utama dulu, anak-anak.

“Dik, apa rencanamu setelah ini?” Tanya Iksan.

“Sepertinya aku akan mencari Mas Sahid. Dia berpesan untuk mengunjunginya di Demak,” Nunuk membuka kertas bertuliskan Arab Pegon milik Sahid dan memberikannya ke Iksan.

Laki-laki itu meraihnya dan membacanya dengan singkat. Nunuk tidak perlu bertanya apakah Iksan dapat membaca tulisan itu, tentu dia dapat membacanya. Setiap hari dia mengajarkan pada santri-santrinya kitab kuning.

Lalu terlihat senyum mengembang di wajah Iksan usai membaca tulisan tersebut.

“Benar-benar seorang Wali Allah.”

“Mas pasti paham isinya!”

“Ini sifat-sifat Allah. Kyai sepuh sering mengajarkan ilmu tauhid pada santri yang sudah cukup dewasa. Kadang aku juga ikut mengaji bersama santri-santri senior. Bagi santri yang masih muda akan kesulitan memahami ini. Aku kira Mas Sahid lebih dari ini.”

“Lebih dari ini maksudnya Mas?”

“Ini hanya tulisan. Setiap orang dapat memahami isinya. Ya, Mas Sahid lebih dari sekedar tulisan. Dalam ilmu tasawuf, dia sudah melewati makrifat (mengetahui), dia sudah melewati musyahadah (menyaksikan), dia sudah melewati mukasyafah (menyingkap, membuka tirai). Dia sudah mahabah (cinta kasih). Antara dia dan Allah tidak ada batas lagi.”

Penjelasan Iksan lebih dalam lagi dari penjelasan Suud. Bahkan Nunuk tidak paham dengan yang dimaksud oleh mantan suaminya.

“Apa maksud dari semua itu, Mas?” Tanya Nunuk.

“Untuk mengenal Allah, dia harus mengetahui sifat, asma dan af’al. Setelah itu dia baru dapat melihat/menyaksikan. Seperti orang saat bersyahadat. Dia bersaksi. Kalau bersaksi berarti dia melihat. Setelah melihat, semua panca inderanya tidak berfungsi. Nafsu dapat diredam. Barulah perjalanan dia lebih dominan pada ruh. Sebab di situ tabir akan terbuka. Semua yang dilihatnya adalah Sang Kekasih. Orang yang sampai di maqam ini sudah mampu menggunakan mata dan telinga batinnya untuk mengungkap sesuatu yang bukan saja bersifat fisik, melainkan juga hal-hal yang bersifat gaib.”

“Bagaimana dengan mahabah?”

“Allah adalah tujuan tertinggi dan paling hakiki dalam kehidupan manusia. Dengan dia mahabah, mencintai Allah dan tak ada yang lain selain Dia, maka dia telah meninggalkan segala urusan di dunia maupun di akhirat. Dia seperti hidup dalam kematian, dan mati dalam kehidupan. Dia telah mengosongkan hatinya dari segala-galanya kecuali hanya Allah. Dia telah menemukan jati dirinya. Segala akal, gerak, nafas, hingga nufus tertuju pada Sang Kekasih.” 

“Masya Allah. Apakah aku tidak salah mengenal orang seperti Mas Sahid. Apakah aku orang yang penuh dosa ini layak bersanding dengan Mas Sahid.”

“Semua itu bukan keputusanmu, Dik. Allah yang memutuskan jalan hidupmu. Allah pula yang mengutus Mas Sahid menolong kesulitanmu.” 

Tanpa sadar airmata Nunuk meleleh. Iksan melihat itu, dan membiarkannya. Keduanya terdiam untuk sesaat. Membiarkan suasana kebatinan itu merasuk dalam jiwa mereka.    

“Jadi, dari semua penjelasan tadi, Mas Iksan ada di tingkatan mana?” Nunuk bertanya sambil menyeka airmatanya.

“He…he…he…”

“Kok ngguyu, Mas,” dengus Nunuk dalam bahasa Jawa.

“Aku hanya guru pondok, Dik. Aku mungkin paham agama sedikit-sedikit dan secara teori saja. Pemahamanku itulah yang kuajarkan pada santri-santri. Tapi untuk mengamalkan dan mendekatkan pada Dia seperti yang dilakukan Mas Sahid, perlu proses panjang. Aku memang mencoba melangkah ke sana. Setiap orang pasti ingin melangkah ke sana. Dan sekali lagi, semua ada prosesnya, semua manusia di dunia juga sedang berproses. Aku yakin Mas Sahid sudah melewati semua proses yang berat itu.”

“Iya, Mas.”

Mata Nunuk yang tidak besar itu sedikit melotot dan tak berkedip, mungkin karena seriusnya mendengarkan ucapan Iksan. Sepertinya Nunuk memang harus belajar banyak dari ustad muda tersebut. Terutama bagaimana dia menempatkan dirinya menjadi seorang istri dari Wali Allah.

“Menurutmu aku harus bagaimana, Mas?” Nunuk meminta pertimbangan pada Iksan.

“Apa pesan terakhir Mas Sahid?” Iksan balik bertanya.

“Dia minta aku datang ke Demak bersama anak-anak.”

“Kalau begitu berangkatlah. Tapi tunggu waktu yang pas untuk pergi ke sana.”

“Kapankah waktu yang pas itu?”

“Kau menginaplah di sini. Hutangmu masih banyak pada anak-anak.”

“Sampai kapan aku diijinkan menginap di sini, Mas?”

“Sampai selamanya jika kau mau. Atau setidaknya sampai kau merasa siap untuk pergi ke Demak,” jawab Iksan enteng dan seperti dapat membaca isi hati Nunuk.[bersambung]

bahu laweyan
Komentar (0)
Tambah Komentar