Bahu Laweyan #44

Siti Maimunah

Oleh: Jendra Wiswara 

Tak terasa sudah seminggu Nunuk menetap di pondok pesantren. Selama itu pula dia dipertontonkan rutinitas anak-anaknya yang sangat luar biasa.

Sesungguhnya Allah memberi anak-anak Nunuk warid, agar kepadaNya mereka mendekat. Allah memberi warid untuk menyelamatkan mereka dari cengkeraman dunia dan membebaskannya dari diperbudak oleh makhluk apapun. Allah memberi mereka warid untuk melepasnya dari penjara wujudnya menuju alam syuhud (penyaksian). Mungkin nanti, tidak sekarang. Yang jelas anak-anak Nunuk sedang berproses menuju ke sana.

“Nak, entah kalian tinggal di dunia apa. Baru kali ini aku melihat orang-orang begitu tawadhu. Melihat kalian lalu melihat diriku, aku benar-benar malu menjadi seorang ibu yang telah melahirkan kalian. Seolah-olah hidupku tiada gunanya. Hati kalian selalu dikelilingi cahaya, sementara hatiku abu-abu. Apalagi bila kalian melihat masa laluku, betapa pedihnya untuk dikenangkan,” batin Nunuk berteriak.

Pikiran Nunuk memang masih terpaut dengan masa lalu. Gendro Swara Pati telah membuatnya remuk redam. Andai saat itu tidak ditolong oleh Iksan dan Sahid, barangkali Nunuk tidak bakal seperti sekarang ini. Dulu sewaktu makhluk halus itu bersemayam di tubuhnya, dia sama sekali tidak memikirkan orang lain.

Namun seiiring perjalanan waktu, dan dengan pengorbanan yang sangat besar, Nunuk akhirnya dapat terbebas dari cengkeraman makhluk jahat tersebut.

Dan di atas sajadah yang tergelar di hadapannya, Nunuk mendadak jadi penghuni pikiran. Allah telah menghindarkan orang-orang yang menujuNya dan juga orang-orang yang telah sampai kepadaNya dari melihat amal mereka dan syuhud. Bagi orang-orang yang tengah dalam perjalanan menuju kepadaNya, itu adalah karena mereka belum benar-benar ikhlas dalam amal mereka. Dan bagi orang-orang yang telah sampai kepadaNya, adalah karena mereka sibuk menyaksikanNya hingga tak ada waktu untuk menengok ama-amal mereka.

Dia pun langsung teringat Sahid. Entah butuh pengorbanan sebesar apa bagi suaminya hingga sampai kepada Kekasih. Bila dihitung semua pengorbanan Nunuk tak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan sang suami. Melihat anak-anaknya di pondok pesantren yang setiap hari menyimak berlembar-lembar kitab, membaca Alquran di luar kepala setiap hari, tidak pernah meninggalkan sholat wajib dan sunah, berpuasa Senin Kamis, itu juga bagian dari pengorbanan menuju Kekasih.

Nunuk merasa kerdil sebagai manusia. Dia bisanya hanya mengaduh, mengeluh, dan protes. Padahal dia lupa dan kebanyakan manusia lain juga, bahwa hidup harus disyukuri. Tanpa mensyukuri nikmat Allah, berarti membuat jalan bagi hilangnya nikmat itu. Dan siapa yang mensyukurinya, maka berarti dia telah secara kuat mengikat nikmat tersebut.

“Mas Sahid, apa sekiranya yang sekarang sedang kau lakukan?” Nunuk berbicara pada diri sendiri.

“Mas Sahid, aku sekarang di sini bersama anak-anakku. Melihat mereka tawadhu pada agamanya, seperti melihat dirimu. Kukira didikan Mas Iksan dan guru-guru pondok telah membentuk jiwa-jiwa mereka. Mereka tak pernah mengeluh seperti aku. Anak-anak tak pernah kecewa dengan kehidupannya. Mereka selalu riang mencari pengetahuan dan mengamalkannya. Mereka tak pernah diseret oleh angan-angan. Sebab angan-angan hanya kejahilan semata.”

“Mas Sahid, di pondok ini semua orang dikelilingi oleh cahaya. Cahaya adalah tentara qalbu sebagaimana kegelapan adalah tentara nafsu. Ketika Allah hendak menolong hambaNya, maka Dia membantunya dengan pasukan cahaya dan memutus bantuan kegelapan serta kepalsuan.”

“Mas Sahid, doakan aku agar senantiasa bisa terus beristiqomah di jalanNya. Agar aku mendapat cahaya seperti mereka. Agar cahaya itu dapat menjadi kendaraan hati dan rahasia hatiku untuk menatap masa depan, terutama dalam pencarianku padamu.”

***

Lama Nunuk merenung, tiba-tiba Muhammad mengagetkannya. Anak itu duduk bersila di belakang ibunya.

“Ibu lama sekali kalau dzikir. Dari tadi Ahmad tunggu. Hayo, ibu lagi mikir Kyai Sahid ya,” tebak Muhammad seperti dapat membaca jalan pikiran ibunya.

Ah, kamu bisa aja,” elak Nunuk lalu balik bertanya ke Muhammad, “Kamu baru pulang sekolah, Nak?”

“Iya, Bu.”

“Kamu sudah sholat?”

“Sudah tadi di sekolah.”

“Sudah makan?”

“Belum,” Muhammad tertawa renyah.

Nunuk pergi ke dapur dan kembali ke kamar membawakan makan siang. Muhammad tampak tidak sabar untuk menyantapnya.

Sambil menunggui Muhammad makan, Nunuk bertanya lagi, “Mbak-mbakmu ke mana?”

“Masih ada kelas, Bu. Mbak Ais masih mengikuti kelas Ustad Rois. Kalau Mbak Fat masih di kelasnya ayah.”

“Nak, apa rumah saudaramu Uwais jauh dari sini?” Tiba-tiba Nunuk bertanya.

“Maksudnya ibu Siti Maimunah?”

“Iya.”

“Dekat. Dari sini jalan kaki 500 meter. Apa ibu mau ke sana?”

“Boleh, kalau kamu mau mengantar ibu. Tapi kalau kamu masih ada jam kelas, sebaiknya tidak usah.”

“Aku sudah bebas, Bu. Nanti kembali ke kelas pukul 3 sore,” sahutnya.

Usai makan, Muhammad segera mengantar ibunya ke rumah Siti Maimunah. Sepanjang perjalanan Muhammad bercerita pada Nunuk betapa baiknya ibu yang menyusuinya. Muhammad mengibaratkan ibunya itu seperti malaikat.

“Selain ibu, tidak ada ibu sebaik ibu Siti Maimunah. Beliau orang yang sangat sabar terhadap anak-anaknya. Beliau ibarat malaikat yang diturunkan Allah untuk menjagaku.”

“Apakah kamu masih mengunjunginya?”

“Hampir setiap hari, Bu. Apalagi aku sekarang punya saudara sepersusuan, adik Uwais. Sudah tugasku menjaga adik. Kadang kalau bosan tidur dengan ayah, aku minta izin tidur ke rumah ibu Siti Maimunah. Atau jika Uwais kangen, ibu Siti Maimunah datang ke pondok terus aku diajak pulang ke rumah.”

Betapa bahagianya Nunuk mendengar cerita anaknya tentang Siti Maimunah. Dan betapa irinya dia saat Muhammad menyebut ibu yang menyusuinya itu seperti malaikat. Tak sabar Nunuk ingin segera bertemu dengan Siti Maimunah.

Perjalanan dari pondok ke rumah Siti Maimunah akhirnya berhenti. Muhammad langsung mengajak Nunuk masuk ke dalam rumah. Ya, rumah itu jauh dari kata mewah. Sebagian bangunannya terbuat dari kayu. Sebagian dari semen. Dinding-dinding rumah nampak ada bekas retakan panjang melintang dari bawah hingga ke atas. Sepertinya penghuni rumah tidak punya keinginan untuk memperbaiki. Tapi, rumah itu tetap menjadi hunian yang menyenangkan.

Di rumah itu Muhammad sejak kecil diasuh oleh ibunya. Setelah dirasa cukup, Muhammad kemudian dikembalikan ke ayahnya.

Tak banyak yang diketahui Nunuk soal sosok Siti Maimunah, kecuali dari cerita anaknya yang mengibaratkan sebagai malaikat. Namun dari pengetahuan yang sedikit itu, Nunuk dapat menduga, bahwa wanita menyusui dan merawat anaknya adalah sosok yang tangguh. Jarang di jaman sekarang ini, ada wanita baru melahirkan kemudian bersedia menyusui dan merawat anak yang bukan darah dagingnya. Nunuk tidak bisa membayangkan betapa sulitnya Siti Maimunah saat merawat dua anak sekaligus.

Muhammad mempersilahkan ibunya duduk di rumah tamu. Sementara dia pergi ke dalam memanggil ibunya. Terdengar suara wanita tergopoh-gopoh dari belakang begitu mendengar cerita Muhammad.

Dari balik tirai, seorang wanita keluar buru-buru menghampiri Nunuk.

“Ya Allah, Mbak Nunuk. Maaf rumahnya berantakan dan kotor,” sapa Siti Maimunah menyalami tamunya dan memeluknya.

Ah, tidak apa-apa, Mbak,” sahut Nunuk.

Sosok Siti Maimunah terlihat biasa-biasa, bahkan mengesankan wanita desa pada umumnya. Dandanannya juga biasa-biasa, tidak mengesankan dandanan wanita seumurannya. Siti Maimunah tidak bersolek dan mungkin jarang bersolek kecuali pas ada undangan hajatan kampung. Nampak dari parasnya yang ayu itu tak ada bekas solek. Selebihnya, Siti Maimumah menjadi ibu rumah tangga. Tugasnya hanya di rumah, merawat anak, memasak, dan menunggu suami pulang kerja.

“Kok sepi, Mbak!” Seru Nunuk sekedar basa basi.

“Bapaknya tole lagi ke sawah. Biasanya sore baru pulang. Mbak Nunuk bagaimana kabarnya?” Tanyanya balik.

“Alhamdulillah, kabar baik.”

Keduanya tak pernah bertemu. Tapi sama-sama saling mengenal nama satu sama lain. Barangkali Iksan yang menceritakan prihal mantan istrinya pada Siti Maimunah, seperti halnya Nunuk mendapat cerita yang sama soal ibu yang menyusui anaknya.

“Tole, kamu dari tadi dicari Uwais,” kata Siti Maimunah pada Muhammad, mengalihkan pembicaraan.

“Sekarang adik dimana, Bu?”

“Dia di rumah Idrus. Coba kamu ke sana.”

Muhammad lantas meninggalkan kedua ibunya. Keduanya saling memandang satu sama lain, lalu tersenyum berbarengan. Mereka sepertinya tahu apa yang hendak disampaikan.

“Maafkan saya telah merepotkan Mbak Siti dan keluarga.”

“Lho, kok tiba-tiba minta maaf, Mbak. Kan gak ada yang salah.”

“Maksud saya soal Muhammad. Jika ada salah dari anak saya, mohon dimaafkan.”

Walah, Mbak Nunuk ini bisa saja. Muhammad kan juga anak saya. Tak ada yang salah dari Muhammad. Dia seorang anak yang baik dan patuh pada orangtua,” balas Siti Maimunah.

“Saya juga mau mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya karena Mbak Siti bersedia menyusui Muhammad.”

“Itu sudah menjadi tugas seorang ibu, Mbak. Yang namanya anak adalah titipan. Meskipun Muhammad bukan darah daging saya, tetap saja dia adalah titipan dari Allah. Saya pun berkewajiban untuk merawatnya.”

Nunuk manggut-manggut mendengarnya. Sepertinya perempuan bahu laweyan itu ingin mendengar banyak cerita dari Siti Maimunah saat pertama kali menyusui anaknya.

Dari Siti Maimunah, Nunuk mendapatkan cerita yang menakjubkan.

Usai melahirkan anak pertama, Siti Maimunah mendengar kabar dari para tetangga ada seorang anak laki-laki yang terus-terusan menangis di pondok pesantren. Para penghuni pondok kebingungan. Sebab sang anak dibawa pergi dari ibunya saat masih menyusui.

Tanpa pikir panjang, Siti Maimunah langsung meminta suaminya untuk mengambil anak tersebut untuk disusui. Itu pun jika ayahnya setuju. Dia juga tidak bertanya alasan anak tersebut dibawa menjauh dari ibunya.

“Saya sebenarnya ragu untuk menyusuinya. Bukan karena tidak mau, tapi ragu apakah si anak bersedia meminum ASI saya. Saat suami saya menyampaikan hal ini ke para pengasuh pondok, Mas Iksan langsung setuju dan membawanya ke sini.”

Awalnya Siti Maimunah menyusui Muhammad di sebelah kiri seperti yang dia lakukan pada Uwais. Entah mengapa dia menolak. Bahkan menangis sekeras-kerasnya.

“Saya bingung. Suami saya bingung. Mas Iksan juga bingung. Para ustad pondok juga bingung. Muhammad tak mau menerima ASI saya. Apakah karena rasanya beda,” kenang Siti Maimunah.

Beruntung saat itu ada kyai sepuh yang turut datang dan menyarankan pada Siti Maimunah untuk mencoba ASI di sebelah kanan. Eh, ternyata Muhammad bersedia menyusu. Dia tak lagi menangis. Tak berontak. Yang ada malah senyum yang membuat semua orang ikut tersenyum.

“Atas petunjuk kyai sepuh, saya disarankan untuk terus memberi ASI di sebelah kanan. Sebenarnya saya juga heran, ASI sebelah kanan saya tidak keluar. Begitu saya dekatkan ke mulut Muhammad, mendadak air susunya keluar dengan deras.”

Menurut Siti Maimunah, sejak masih disusui, Muhammad sebenarnya adalah menjadi anak yang berbakti pada orangtua. Dia tidak pernah menyusahkan. Tidak pernah menangis sejak menerima ASI. Bahkan tidak mau mengambil hak saudaranya Uwais.

“Muhammad sepertinya tahu ASI sebelah kiri untuk saudara sepersusuannya. Pernah saya coba untuk memberinya ASI di sebelah kiri, dia menolak. Bahkan kepalanya selalu geleng-geleng dan menangis jika saya paksa meminum ASI di sebelah kiri. Begitu saya pindah ke ASI sebelah kanan, dia mau menerima. Saya juga heran, anak seumuran itu bisa membedakan mana ASI untuk saudaranya dan untuk dia.”

Hanya setahun Siti Maimunah menyusui Muhammad. Namun selama hampir 4 tahun, Muhammad tetap dalam pengasuhan ibunya.

“Apakah Mbak Siti tidak kerepotan mengasuh dua anak kecil sekaligus?” Nunuk bertanya.

“Alhamdulillah, jika semua dijalani dengan ikhlas, akan dimudahkan urusannya oleh Allah. Selama ini saya tidak pernah direpotkan oleh anak-anak. Bersama Muhammad dan Uwais, saya justru mendapatkan nikmat yang tiada tara.”

Nunuk diam-diam menaruh kekaguman pada Siti Maimunah. Tak pernah sedikitpun terlihat raut kekecewaan di wajah ibu muda tersebut. Dia tak pernah mengeluh pada kehidupan, meski terkadang kesulitan datang menghampiri. Semua yang dijalani Siti Maimunah dilandasi oleh keikhlasan dan kesabaran. Pantas saja anaknya mengibaratkan dia seperti malaikat.

“Bagaimana dengan Mas Iksan?”

“Mas Iksan justru setiap hari datang ke rumah. Dia menganggap kami seperti saudara. Bahkan kasih sayangnya terhadap Uwais sama besarnya dengan Muhammad. Setiap kali selesai mengajar atau keliling berdakwah, Mas Iksan selalu datang ke sini. Saya tahu betapa lelahnya Mas Iksan membagi waktu antara dakwah dan anak-anak. Apalagi dia punya Aisyah dan Fatimah yang harus diurus. Saya sempat menyarankan pada Mas Iksan, kalau lelah gak usah dipaksa datang ke rumah. Dia bilang rasa lelah dapat diobati dengan melihat anak-anak. Dia bilang tak bisa melepas Muhammad begitu saja. Dia tak ingin anaknya lupa terhadap orangtua kandung, meski saya yang mengasuhnya.”

Setelah 4 tahun atau tepatnya Muhammad berusia 6 tahun, Iksan kemudian mengajak anak laki-lakinya tinggal ke pondok. Sebelumya Iksan sempat meminta izin pada Siti Maimunah agar bersedia membawa anaknya ke pondok.

“Apakah Mbak mengizinkan?”

“Ya namanya juga seorang ibu, pastilah susah melepas Muhammad pergi. Meski jarak antara pondok dan rumah dekat. Muhammad sudah saya anggap seperti anak kandung sendiri. Saat melihat saya berat memutuskan kepergian Muhammad, Mas Iksan malah mengajak Uwais untuk tinggal di pondok. Lha, kalau semua anak-anak saya dibawa sama Mas Iksan, terus saya bagaimana,” jawab Siti Maimunah tersenyum mengenangkan hal itu.

“Sejak Muhammad tinggal di pondok, saya selalu berdoa pada Allah agar anaknya itu tidak lupa padanya. Alhamdulillah, sampai sekarang Muhammad masih mengunjungi saya. Bahkan dia sering merayu adiknya untuk tinggal di pondok. Saya sebenarnya masih ragu melepas Uwais ke pondok. Saya bilang ke Mas Iksan, jika dizinkan mondok, Uwais untuk sementara diperbolehkan pulang ke rumah. Sebab usianya masih 6 tahun. Kata Mas Iksan boleh. Oleh Mas Iksan dan guru-guru pondok, Uwais dididik dengan baik. Sama seperti Muhammad, Uwais saat ini sudah hafal 19 juz.”

Meleleh hati Nunuk mendengar penuturan Siti Maimunah. Kesabaran dan keikhlasan Siti Maimunah, tak pernah Nunuk menemukan sosok wanita seperti itu. Allah telah menjadikan Siti Maimunah senantiasa berkhidmat kepadaNya, dan sebagian lainnya Allah istimewakan dengan mencintaiNya. Kemurahan Rabbmu tidak dapat dihalangi.

Nunuk tak dapat membalas segala kebaikan Siti Maimunah, bahkan ditukar dengan apapun takkan cukup membalas kebaikannya, kecuali balasan dari Allah yang menjadikan negeri akhirat sebagai tempat untuk membalas hamba-hambaNya yang beriman. Sementara dunia tempat manusia berpijak, takkan mampu menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Semoga Allah memuliakan mereka dengan balasan yang kekal.[bersambung]

bahu laweyan
Komentar (0)
Tambah Komentar