Bahu Laweyan #47

Bertemu Fatimah Azzahra di Tulisan Sahid 

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk tak mengubah arah pandangannya. Dia terus memandangi ketiga buah hatinya. Aisyah, Fatimah, dan Muhammad. Ini waktunya berpisah. Padahal pertemuan mereka baru terjadi tiga bulan lalu. Dan sekarang, mereka hendak berpisah lagi.

Namun perpisahan kali ini tidak seperti awal pertemuan. Tak ada kesedihan. Tak ada tangis. Yang ada justru kebahagiaan. Pasalnya, ketiga buah hati Nunuk telah memahami kondisi ibunya.

Bahkan mereka telah mengijinkan ibunya pergi ke Demak untuk bertemu dengan Sahid.

“Ibu jangan pulang sebelum bertemu Kyai Sahid,” pesan Muhammad.

Meski usianya paling kecil, anak laki-laki itu sangat bersyukur ibunya dapat menikahi seorang Wali Allah. Sebab atas pertolongan Wali Allah itu ibunya terbebas dari Gendro Swara Pati. Dengan bebasnya Nunuk dari cengkraman makhluk halus itu, kini dia dapat berkumpul lagi dengan keluarga terutama anak-anaknya, meski keadaan tidak lagi sama.

“Ibu harus bisa mengajak Kyai Sahid ke sini,” tegas Muhammad.

Sementara Aisyah berpesan sama, tapi lebih halus. Dia mendoakan agar ibunya segera dipertemukan dengan suaminya.

“Semoga ibu dipertemukan dengan Kyai Sahid. Kalau sudah bertemu, sampaikan salam Aisyah untuk beliau,” kata Aisyah.

Fatimah tidak jauh beda. Dia berharap dapat bertemu dengan suami ibunya. Sehingga dapat menimba ilmu dari sosok Wali Allah.

“Aku berharap kelak dapat bertemu Kyai Sahid. Meski beliau ayah tiriku, aku akan tetap menganggapnya sebagai ayah,” tutur Fatimah.

“Ibu akan usahakan bertemu Kyai Sahid. Dan sebelum bertemu, ibu tidak akan kembali,” balas Nunuk pada ketiga anaknya.

Dukungan anak-anaknya inilah yang membuat Nunuk bersemangat. Namun dia juga tidak tahu apakah setiba di Demak dapat bertemu Sahid. Kalau pun tidak, Nunuk akan menunggu Sahid hingga kepulangannya. Supaya dia dapat mengajak Sahid bertemu dengan ketiga buah hatinya.

Hanya saja dalam hati kecil Nunuk masih tersimpan keragu-raguan. Dia memikirkan pesan Kyai Sepuh, bahwa Sahid meninggalkan sebuah surat di Demak. Itu artinya dia tidak bisa langsung bertemu dengan suaminya. Lalu apa isi surat tersebut. Ini yang membuatnya penasaran.

Mobil pun telah siap di depan pondok pesantren. Hari itu Iksan yang mengantarkan Nunuk ke Demak. Ustad muda itu tidak sendirian. Dia ditemani dua santri yang duduk di belakang. Iksan duduk di depan kemudi. Sementara Nunuk di sebelahnya. Selepas mengantar Nunuk di rumah Sahid, sedianya Iksan langsung kembali.

Kali ini perjalanan menuju Demak memakan waktu sangat lama. Sepanjang perjalanan Nunuk tak mampu berkata barang sesuatu. Kiranya Demak telah menyihir kesadarannya. Dalam pikirannya selalu terbayang-bayang Sahid. Laki-laki yang menikahinya itu bukan saja mampu membuat para makhluk halus bersujud pada kemauannya, tapi juga seorang Wali Allah yang memiliki ilmu seluas samudera.

Nunuk kembali membuka kertas yang ditinggalkan Sahid dalam sebuah buntelan di surau. Dia membaca ulang tulisan tersebut. Alamatnya tetap sama tidak berubah. Sebelumnya ditulis dalam huruf Arab Pegon. Kemudian ditulis ulang oleh Suud dalam bentuk latin.

Yang menjadi penasaran Nunuk adalah nama Fatimah Azzahra. Tentu semua orang tahu nama ini. Dia adalah putri cantik Rasulullah. Selain cantik, kepribadiannya juga mulia. Fatimah lahir dari rahim wanita hebat bernama Khadijah. Yang menjadi pertanyaan, siapa Fatimah Azzahra yang tertulis di kertas tersebut.

Nampak pikiran Nunuk mengalir begitu saja. Nama itu seakan-akan terus memanggil di pikirannya. Setiap jam. Sepanjang perjalanan. Mengapa nama itu selalu terbayang? Dan mengapa nama itu tak juga pergi dari bayangannya?

“Apakah dia istri Mas Sahid? Apakah dia anak Mas Sahid? Namanya persis sama dengan nama anakku. Apakah ini hanya kebetulan saja?” Batin Nunuk.

Andai Fatimah istri Sahid, akankah Nunuk cemburu? Tidak. Dia tidak boleh cemburu. Apa hak dia untuk cemburu? Apakah karena Nunuk punya impian yang bukan-bukan sehingga merasa berhak untuk cemburu?

Dalam beberapa jam sebelum tiba di Demak, Nunuk mencoba meyakinkan dirinya. Apapun yang terjadi di rumah Sahid, dia akan menerima apa adanya, dalam keadaan apapun. Tidak ada petunjuk gaib yang mengharuskan Nunuk membenarkan impiannya sendiri.

Setelah hampir seharian menempuh perjalanan, akhirnya Nunuk dan Iksan sampai di Demak. Mereka berhenti di masjid yang pernah didirikan oleh Raden Patah, raja pertama di Kesultanan Demak. Masjid itu pernah dipakai para Walisanga untuk berkumpul. Dulu masjid itu dibangun sebagai media penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Sayangnya, pikiran Nunuk tetap tertuju pada rumah Sahid. Dia tidak sabar untuk bertemu pemilik rumah. Usai sholat, Nunuk dan Iksan bergegas menuju Kadilangu. Itu sesuai alamat yang tertera di kertas Sahid. Di Kadilangu ini juga ada makam wali besar yakni Sunan Kalijaga. Nama aslinya Raden Sahid. Sama dengan nama suami kesembilan Nunuk.

Nampak perempuan bahu laweyan itu dihinggapi rasa gusar mendalam. Mendadak dia jadi perasa. Betapa mengibakan hati Nunuk. Jauh-jauh dari Kediri ke Demak untuk mencari cintanya. Sejak bertemu Sahid di hutan dan kemudian melamarnya menjadi suami, sejatinya Nunuk telah jatuh hati. Meski semua yang dijalaninya atas nama Allah, namun dia tidak seperti Sahid yang begitu saja mengesampingkan urusan duniawi. Nunuk tetap manusia biasa. Dia masih memendam perasaan rindu, terutama pada suaminya.

Nunuk berada dalam kesulitan semenjak memutuskan menjadi istri Sahid. Kesulitan itu adalah cinta. Walau beberapa kali dia berusaha menyingkirkan urusan cinta, tetap saja perasaannya tidak bisa dibohongi. Dalam hatinya dia ingin memiliki Sahid untuk dirinya sendiri. Sayangnya Nunuk takut pada pendapat umum. Terlebih dia sangat menjaga perasaan Iksan yang pernah menjadi suaminya.

Ya, cinta itu memang sangat indah. Bahkan terlalu indah untuk dikenang dan diusik. Pendalaman akan meronta-ronta apabila berbicara soal cinta. Itulah yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. Itulah anugerah Tuhan pada manusia ke manusia.

Nunuk juga mengenang, cinta bisa membinasakan bagi yang membuntutinya. Tapi orang harus berani untuk menghadapinya. Sudah sembilan kali Nunuk merasakan kehadiran cinta, walau datangnya dalam bentuk berbeda-beda, mencintai maupun dicintai. Dan selama delapan kali pula cintanya binasa. Salah satu penyebabnya adalah Gendro Swara Pati. Dan kini Nunuk merasai cinta itu kembali padanya. Cinta sama yang pernah dia rasakan saat bersama Iksan.

Barangkali Sahid tidak atau belum mencintai dirinya, karena suaminya punya Kekasih sejati. Namun bagi Nunuk hal itu tidak masalah. Cinta manusia pada manusia memang tidak bisa dibandingkan cintanya manusia pada Allah. Yang jelas urusan cinta bukan dia yang menentukan. Nunuk tidak pernah meminta dirinya bakal mencintai Sahid sepenuh hati. Sebab rasa itu datang tiba-tiba. Seperti air hujan turun dari langit. Bagaimana pun Nunuk tetap harus menguji kedalaman cinta di hatinya.

Atau, boleh jadi Sahid juga mencintainya. Buktinya dia menitipkan pesan pada Kyai Sepuh untuknya. Karenanya urusan cinta pada sesamanya akan terus berlaku dari jaman ke jaman, dari kehidupan manusia yang sederhana ini.

***

Nunuk sudah dekat dengan rumah Sahid. Sebentar lagi segala pertanyaannya soal Fatimah Azzahra akan terjawab.

“Kita sudah dekat, Dik,” jawab Iksan usai turun dari mobil dan menanyakan alamat pada seseorang di jalan.

“Benarkah, Mas!”

“Iya, Dik.”

Tak lama mobil berhenti di depan sebuah rumah. Iksan memeriksa alamatnya sekali lagi. Cocok. Rumah itu sesuai alamat yang tertera.

“Ini rumahnya,” ucap Iksan.

“Benar ini, Mas.”

“Kita turun di sini,” ajak Iksan, diikuti Nunuk dan dua santrinya.

Rumah itu sangat sederhana. Tidak mewah. Tidak besar. Tapi bersih. Halamannya luas. Terdapat taman bunga. Pemiliknya pasti selalu merawat bunga-bunga itu. Bangunan rumah itu seluruhnya terbuat dari kayu jati. Sementara lingkungan di sekelilingnya nampak asri.

Tidak nampak penghuni rumah. Suasananya sepi. Tak ada lalu lalang orang. Nunuk juga tidak mendapati sebuah pesantren. Padahal Sahid pernah bercerita punya pesantren di Demak.

“Apa benar ini rumahnya, Mas?” Tanya Nunuk memastikan.

“Kalau sesuai alamatnya ya di sini.”

“Mas Sahid bilang dia punya pesantren. Kok aku tidak melihat pesantrennya?”

“Mungkin tidak di sini pesantrennya.” Jawab Iksan.

“Mungkin juga, Mas.”

Baik Nunuk dan Iksan, keduanya celingukan ke sana kemari. Mereka ragu masuk ke halaman rumah. Tak berapa lama, seorang pencari rumput melintas. Buru-buru Iksan menghentikan langkah orang tersebut.

“Assalamualaikum, Pak. Maaf menganggu. Apa benar di sini rumah Kyai Sahid?” Tanya Iksan.

“Benar, Mas. Di sini rumah beliau. Sepertinya Bu Nyai ada di dalam,” jawab pria pencari rumput itu.

“Terima kasih, Pak.”

Lega hati Nunuk. Namun dia masih penasaran dengan penghuni rumah. Nunuk terus celingukan di depan rumah.

“Apakah Kyai Sahid ada di rumah, Pak?” Tanya Nunuk.

“Wah, susah jawabnya, Nak.”

“Kenapa, Pak!”

“Beliau tidak pernah ada di rumah. Tapi coba saja masuk,” sahut pria pencari rumput kemudian berlalu begitu saja.

Dengan perasaan ragu-ragu, Nunuk melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah. Pintu rumah terbuka. Hanya saja dia tidak mendapati penghuninya.

“Assalamualaikum,” Nunuk uluk salam.

Tidak ada jawaban.

“Assalamualaikum,” uluk salam kedua, kali ini suaranya lebih keras.

“Waalaikumsalam,” terdengar jawaban dari seorang perempuan dari dalam.

Dari dalam keluarlah seorang perempuan berusia paruh baya. Usianya diperkirakan 55 tahun. Sosok perempuan itu berkulit putih. Masih terlihat cantik meski usianya tidak lagi muda. Hidungnya mancung seperti Nunuk. Tinggi hampir sama dengan Nunuk. Dari cara dia menemui tamu, sosoknya mengesankan penyabar. Terpancar aura kuat padanya.

Perempuan itu nampak tergopoh-gopoh menyambut tamu-tamunya. Dia mempersilahkan tamunya masuk tanpa menanyakan maksud dan tujuan kedatangan mereka.

“Maaf rumahnya seadanya. Maklum di desa. Tadi saya sedang di belakang memasak air jadi tidak dengar ada tamu. Kebetulan pas ada tamu, sebentar ya saya bikinkan minum dulu.”

Perempuan itu meninggalkan tamunya ke belakang. Belum apa-apa Nunuk sudah dikejutkan dengan kebaikan perempuan tersebut. Tidak ada rasa curiga sama sekali padanya terhadap tamu-tamunya. Yang utama, tamu harus dilayani dulu.

Tak lama perempuan itu kembali ke rumah tamu dengan membawa empat gelas. Satu teh, tiga kopi.

“Jadi merepotkan ibu,” sahut Nunuk.

Ah, tidak apa-apa. Tadi saya juga heran kok tiba-tiba ingin memasak air. Saya sempat mikir, apakah akan ada tamu. Eh, ternyata benar ada tamu.”

Nunuk dan Iksan saling beradu pandang mendengar perempuan tersebut. Mungkin saking takjubnya. Tidak disangka, naluri perempuan itu cukup kuat. Dia sudah tahu sebelum tamu-tamunya datang.

“Jadi apa yang bisa saya bantu?” Perempuan itu membuka obrolan.

“Maaf bu jika kedatangan kamu menganggu. Apa benar ini rumahnya Kyai Sahid?”

“Benar. Ini memang rumahnya. Cuma yang kalian cari tidak ada di sini. Kalau boleh tahu Mbak ini siapa?” Perempuan itu balik bertanya.

“Saya Nunuk. Dan ini Mas Iksan. Kami ke sini untuk bertemu dengan Kyai Sahid.”

“Apakah ini Nunuk dari Kediri?” Serunya.

“Benar, Bu. Kok ibu bisa tahu?” Heran Nunuk.

“Subhanallah akhirnya bertemu juga.”

Perempuan itu bangkit dan duduk di samping Nunuk seraya memeluknya.

“Aku sudah menunggumu, Dik.” Tiba-tiba perempuan itu memanggil Nunuk dengan sebutan ‘adik’. Lalu melepaskan pelukannya.

“Kamu benar-benar cantik, Dik,” sejenak dia memandangi wajah Nunuk, membelai rambutnya.

“Terima kasih, Bu!”

“Jangan panggil ibu. Panggil saja Mbak.”

“Iya, Mbak.”

“Kalau boleh tahu Mbak namanya siapa?”

“Panggil saja Fatimah.”

Nunuk terperanjat mendengar nama itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah ini Fatimah Azzahra yang ada di tulisan Sahid? Lalu siapakah dia? Sayangnya Nunuk tak berani menanyakan lebih jauh sosok Fatimah Azzahra seperti dalam tulisan Sahid.

“Saya Fatimah Azzahra. Saya istrinya Mas Sahid,” seperti dapat menyelami pikiran Nunuk, Fatimah langsung menjelaskan dirinya.

Terjawab sudah nama Fatimah Azzahra yang ada di tulisan Sahid. Nunuk segera memeluk Fatimah cukup erat. Antara bahagia dapat bertemu Fatimah dan merasa bersalah karena menikahi suaminya.

“Maafkan aku, Mbak,” Nunuk segera mencium tangan Fatimah selanjutkan memeluknya.

Seakan-akan saling memahami keadaan masing-masing, Fatimah kemudian menjawab, “Eh, Dik Nunuk, tak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah digariskan. Kamu menikah dengan Mas Sahid itu karena Allah.”

Tanpa terasa airmata Nunuk meleleh mendengar jawaban Fatimah. Tak disangka perempuan itu sudah mengetahui dirinya dimadu, tetapi sama sekali tidak mengesankan kekecewaan di wajahnya. Justru Nunuk merasakan hati Fatimah dipenuhi kesejukan. Hal itu tergambar dari cara dia berbicara dan memandangi Nunuk.

Meski begitu Nunuk tetap meminta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya karena menikahi suami orang. “Maafkan aku jika telah membuat Mbak Fatimah kecewa dan sakit hati,” ucapnya.

“Dik,” Fatimah menatap ke Nunuk dan seperti hendak memberitahu bahwa dia baik-baik saja, “Saya tidak kecewa dan tidak sakit hati. Saya justru bahagia Mas Sahid dapat menikah denganmu. Dia banyak bercerita soal kamu.”

“Jadi Mbak Fatimah sudah tahu semuanya.”

“Aku sudah tahu semua ceritamu. Dan aku sudah lama menunggumu.”

“Sudah lama maksudnya, Mbak!”

“Aku sudah menunggumu setahun lalu.”

Tersentak Nunuk mendengar jawaban itu. Bagaimana Fatimah bisa menunggu selama itu. Padahal dia dan Sahid baru menikah beberapa bulan lalu.[bersambung]

bahu laweyan