Bahu Laweyan #53

Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk bersedia masuk kelas. Meski dia sendiri tidak tahu apa yang akan disampaikan pada para santriwati. Seumur-umur, tak pernah sekalipun Nunuk menjadi guru, terlebih mengajar soal agama. Dia tidak paham kitab. Jangankan membuka kitab, membaca huruf Arab saja masih gratul-gratul. Apalagi membaca kitab Arab Pegon yang dipelajari Aisyah, Fatimah dan Muhammad di pesantren. Sama sekali tak bisa. Sementara anak-anak yang akan ditemuinya merupakan santriwati yang sudah lama mengenyam pendidikan di pesantren. Untuk urusan kitab, mereka lebih mumpuni.

Lalu apa yang mesti diajarkan Nunuk pada mereka? Soal kehidupan. Kehidupan yang mana? Kehidupan seperti apa? Apakah Nunuk akan menceritakan Gendro Swara Pati? Mana mungkin cerita gaib diceritakan di hadapan anak-anak pesantren. Apakah Nunuk akan menceritakan kehidupannya yang gonta ganti suami? Itu sama saja membuka aib sendiri.

Bingung Nunuk.

Selepas Isya, Tyas dan Kalim kembali mendatangi kamar Nunuk. Seperti biasa mereka uluk salam.

“Assalamualaikum. Maaf bu, anak-anak sudah menunggu di kelas. Jika ibu berkenan mengajarkan kami,” kata Tyas.

Tyas, gadis asal Semarang terlihat sangat cantik malam itu. Badannya yang bongsor dan hidungnya yang bangir membuatnya seperti keturunan Timur Tengah. Sementara Kalim juga tidak kalah cantiknya. Kecantikan keduanya sangat sempurna. Tuhan menciptakan mereka hanya sekali saja dan pada tubuh yang satu itu. Tinggal manusia bagaimana memanfaatkannya. Tyas dan Kalim memanfaatkannya dengan baik. Melalui akhlak dan aqidah itulah cara mereka menjaga pemberian Tuhan.

Nunuk mengawasi Tyas dan Kalim. Kedipan matanya lambat. Titik pusat pandangnya adalah puncak hidungnya. Dia lantas teringat dengan Asiyah dan Fatimah yang juga beranjak dewasa.

“Melihat kalian, saya jadi ingat anak-anak. Usia mereka masih di bawah kalian, tapi…”

“Tapi apa bu?” Tanya Kalim.

Ah, tidak apa-apa. Saya cuma kangen saja. Melihat kalian seperti melihat mereka,” balas Nunuk.

“Anak-anak ibu sekarang di mana?” Tanya Tyas.

“Sama dengan kalian. Mereka di pesantren. Di Kediri,” jawabnya ringkas.

Tyas dan Kalim mengangguk. Mereka tak berani lagi bertanya lebih jauh. Tetapi mereka sangat memahami kesedihan orangtua apabila terpisah jauh dari anak-anaknya. Mungkin bukan orangtua saja yang merasakan kehilangan, Tyas dan Kalim pun merasakan hal sama ketika orangtua mereka lama tidak berkunjung.

“Ya sudah, ayo kita temui teman-temanmu,” Nunuk membuyarkan lamunan dua gadis itu.

Selang beberapa menit, Tyas dan Kalim mengiringi langkah Nunuk. Kedua santriwati itu mengapit Nunuk. Mereka berjalan dengan langkah sigap. Menatap ke depan dengan pasti. Tanpa sedikit pun diliputi keragu-raguan.

Malam itu udara terasa sangat sejuk. Bulan ditutupi awan. Ada sedikit rintik hujan. Namun, air hujan nampaknya masih malu-malu untuk membasahi seluruh bumi.

Tiba di kelas, ada 30 santriwati yang duduk sembari membaca kitab. Saat mengetahui temannya masuk bersama Nunuk, mereka buru-buru menutup kitab masing-masing. Sebagian memasukkan kitab ke dalam tas, sebagian lagi membiarkan tergeletak di atas bangku.

“Assalamualaikum,” Nunuk uluk salam.

“Waalaikumsalam,” para santriwati menjawab kompak.

Tyas dan Kalim lantas mempersilahkan Nunuk. Keduanya langsung berbaur dengan teman-temannya dan mengambil tempat duduk di deretan paling depan. Suasana khidmat. Semua mata mengawasi.

Perempuan bahu laweyan itu sedikit canggung. Masih terdiam. Terpaku di tempatnya berdiri. Meski usia Nunuk sudah tidak lagi muda, namun masih ada kecantikan di sana. Bedanya, kini kecantikannya terpancar di hati. Kecantikan yang lebih agung dari kecantikan fisik yang mulai menua. Kecantikan hatinya lebih mulia daripada segala perbuatan yang pernah dilakukan orang, lebih kaya dari semua makna yang terkandung dalam untaian-untaian kata indah. Dia adalah karunia agung dari Allah yang tiada duanya.

Sebelum membuka mulutnya, Nunuk menghela nafas panjang. Kemudian dihembuskannya dengan kelegaan, menandakan alam pikirnya mulai bekerja. Bibirnya tersenyum. Juga matanya. Hanya mulutnya belum mengucapkan sepatah kata.

Semua mata menanti. Tidak sabar. Kira-kira apa yang hendak disampaikan oleh seorang musafir perempuan?

“Sebelumnya ibu mau berterima kasih karena kalian telah bersedia menampung ibu di sini,” suara Nunuk pelan tapi pasti. Semua kepala mengangguk. Sekedar membalas ucapan Nunuk. Sementara telinga mereka mendengarkan dengan seksama.

Saat Nunuk mulai berbicara, suasana seketika hehing. Kecuali bunyi rintik hujan di luar yang menandai adanya kekuasaan alam di malam itu.

“Ibu tidak tahu apa yang harus disampaikan di sini. Ibu sendiri bukan pengajar, apalagi pendakwah. Memang suami ibu adalah pendakwah, tapi bukan berarti ibu bisa berdakwah,” Nunuk bicara dengan jujur.

“Ibu bisa mengajarkan kami soal kehidupan,” seorang santriwati berkata dan diamini oleh lainnya.

“Insya Allah,” sahut Nunuk menundukkan kepala.

“Oh iya, kalau boleh ibu mau bertanya, apakah tujuan kalian datang ke pesantren ini?” Tanya Nunuk.

“Untuk belajar,” jawab seorang santriwati.

“Bagaimana dengan yang lainnya?” Tanya Nunuk kembali.

“Menimba ilmu,” sahut santriwati lainnya.

“Apakah cukup itu?”

Para santriwati saling berpandang-pandangan mendengar pertanyaan balik Nunuk. Sebagian mengangkat pundaknya. Lalu saling berbisik satu sama lain. Mereka merasa jawaban yang dilontarkan belum cukup menjawab pertanyaan Nunuk. Kata ‘cukup’ berarti masih banyak kelanjutan. Mungkin jawabannya bisa berjilid-jilid. Sehingga tujuan mereka datang ke pesantren bukan sekedar belajar menimba ilmu saja.

“Apakah kalian tidak ingin menggapai ridho Allah? Belajar menimba ilmu tanpa ridho Allah, apakah itu yang kalian mau?”

Semua santriwati terheran-heran mendengar kata-kata Nunuk.

“Semua makhluk di bumi ini butuh ridhoNya. Tumbuhan, hewan, manusia, jin, malaikat, dan iblis, pada hakekatnya butuh ridhoNya. Tanpa ridhoNya tumbuhan tidak akan bisa berkembang. Tanpa ridhoNya hewan tidak bisa beranak pinak. Tanpa ridhoNya kita tidak akan bisa dipertemukan hari ini. Tanpa ridhoNya kalian tidak akan bisa belajar ilmuNya. Tanpa ridhoNya malaikat tidak akan menjadi makhluk yang patuh dan tunduk. Tanpa ridhoNya iblis dan setan tidak akan punya kekuatan menganggu manusia. Semua atas kerelaan dan cinta kepada Allah. Dia Dzat yang wajib diimani dan wajib diibadahi,” kata Nunuk.  

Nunuk melanjutkan, untuk menggapai ridhoNya, sejatinya manusia diciptakan mempunyai misi. Misinya adalah mencari Tuhannya. Setelah itu mengenal Tuhannya. Setelah itu mencintai Tuhannya. Bahwasannya sebelum ruh ditiupkan, Allah telah mengambil perjanjian pada setiap hamba. “Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajak kamu beriman kepada Tuhanmu? Dan Dia telah mengambil janji (setia)mu, jika kamu orang-orang mukmin”.

Perjanjian antara Allah dan manusia sebelum dilahirkan ke dunia, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

“Itulah perjanjian kita dengan Allah, itulah penyaksian kita pada Allah. Allah telah mengambil janji manusia ketika di alam arwah. Janji mengenai persaksian manusia atas Rabb. Janji janin kepada Allah adalah Keesaan terhadap Allah. Hal itu disaksikan oleh Adam dan penduduk langit. Secara fitrah kita memang lupa akan perjanjian itu. Karena itulah diturunkan para utusan (nabi) untuk mengingatkan kembali kepada manusia agar mengingat siapa Tuhanya dan mau menyembahnya. Sayangnya, dunia ini terlalu luas. Dunia tempat kita lahir seperti lautan yang bisa menenggelamkan seiisinya. Jangankan mencari ridhoNya, betapa banyak dari kita yang kemudian mengingkarinya. Betapa mudahnya kita melupakan Dia.”

Sebagian dari santriwati terpekur mendengarkan kata-kata Nunuk. Sebagian lagi tak kuasa menahan tangis. Mereka merasa seperti hamba tak berdaya. Luruh pendalaman mereka. Hening makin menggerayapi jiwa-jiwa nelangsa itu. Berharap ada pertolongan dan rahmat dari Allah, yang ada justru lonceng kematian berdentang keras di atas kepala mereka.

Perjalanan waktu manusia memang sungguh aneh sekaligus unik. Dulu sebelum dilahirkan, manusia mengenal dengan baik Tuhannya. Setelah dilahirkan, manusia lupa. Dan ketika hal itu diingatkan kembali, ada yang berontak, ada yang mengingkari, ada pula yang mengiba, menangis-nangis. Mereka bagai melihat lonceng kematiannya sendiri. Tapi itu hanya sesaat sebelumnya akhirnya lupa kembali. Itu sudah watak manusia. Pelupa.

Sementara Nunuk juga tak kuasa meneruskan kata-katanya. Jiwanya menjadi rapuh seperti halnya para santriwati. Mengingat kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Dia, ya, seperti ada yang menuntun untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Mungkin muncul dari alam bawah sadarnya. Ya, Nunuk memang pernah mendengar dakwah soal itu. Dulu sekali. Bertahun-tahun lalu. Saat dia masih menjadi istri Iksan. Dan kini, dakwah itu disampaikan di depan para santriwati.

***

JANGAN LEWATKAN KAWAN MBOIS REK

“Bagaimana kita bisa menggapai ridhoNya?” Seorang santriwati bertanya.

Nunuk tidak langsung menjawab. Dia memendam pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Sebab, saat ini dia sendiri juga sedang mencari ridho Allah. Sejenak dia menengadahkan kepala ke langit-langit. Seperti mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.

“Untuk menggapai ridho Allah, seorang hamba harus bertawakkal. Seorang hamba harus memahami hukum sebab-akibat. Bukankah kita sering mendengar kata-kata tawakal yang disampaikan para ulama. Itu artinya kita mewakilkan atau menyerahkan atau bisa berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah,” jawab Nunuk.

“Bertawakal kepada Allah berarti meneguhkan hati dalam menyerahkan urusannya kepada Allah. Dalam bertawakal kepada Allah tidak dibutuhkan kepandaian alam pikir dan alam akal. Melainkan keyakinan bulat hanya kepada Allah. Dengan begitu kita percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, dan Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini,” lanjut Nunuk.

Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut Nunuk bermuatan kata-kata hikmah. Terbentang samudera kehidupan. Sekali lagi, dia berbicara seolah tanpa sadar. Ya, dari mulutnya mengalir kata-kata deras tak terbendung. Penuh kearifan. Jelas dan teratur.

“Tawakal tidak sekedar berserah diri. Untuk berserah diri seorang hamba harus mengenal jati dirinya. Sebab dalam pengenalan diri ini ada kepatuhan kepadaNya. Ketika Dia membukakan ‘Wajah Pengenalan’, maka jangan disandingkan dengan yang lain. Kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Sementara sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Padahal sebaik-baiknya seseorang adalah yang aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.”

“Mengenal Allah merupakan puncak keberuntungan seorang hamba. Apabila Allah telah membukakan suatu jalan bagi hamba untuk mengenal kepadaNya, maka tidak diperlukan berapa banyak amal perbuatanmu. Sebenarnyalah Dia tidak memerlukan alasan,” demikian Nunuk.

Mulutnya lantas berhenti bergerak. Diam. Memandang dinding-dinding kosong di belakang kelas. Berdiri mematung. Sesekali dia mencerna kembali kata-katanya. Sementara para santriwati tetap duduk di tempatnya. Tak banyak gerak. Tak ada suara.

Di tengah keheningan itu dan ketika tak seorangpun bersuara, Tyas lantas memberanikan diri bertanya. “Maaf bu, apakah tujuan ibu menjadi musafir adalah bagian dari tawakal?”

“Insya Allah,” Nunuk menjawab singkat diikuti anggukan kepala.

“Apakah tawakal harus mengorbankan orang-orang terkasih?”

Nunuk tersenyum mendengar pertanyaan Tyas. Dia tidak langsung menjawab. Sejenak matanya terpejam. Pertanyaan tersebut seperti mengulangi pengalaman dirinya. Berkhalwat selama 6 tahun di tengah hutan, meninggalkan anak-anaknya di pesantren dan menunggu datangnya Wali Allah, itu adalah pengorbanan terbesar yang pernah dijalani Nunuk. Dan sekarang, Nunuk mendapat ujian baru yakni berkeliling ke makam 9 Walisanga. Ya, semua itu bagian dari tawakal. Dan setiap orang berbeda-beda cara pendekatannya pada Allah.

Malam itu angin dari alam luas meniup masuk ke dalam ruangan. Seperti corong memasuki lubang jendela. Nunuk bisa merasakan kesejukannya. Seperti buah surga yang turun dari langit. Ketika buahnya dimakan, maka kalbunya menjadi bening.

Lalu berucaplah Nunuk.

“Bukankah kita semua yang ada di sini juga berkorban,” kata-kata Nunuk dibalas oleh seluruh santriwati dengan saling berpandang satu sama lain.

“Untuk mewujudkan tawakal bukan berarti tidak melakukan usaha sama sekali. Karena usaha juga diperintahkan untuk dilakukan. Berusaha sudah termasuk sunnatullah. Karena Allah memerintahkan untuk mencari sebab bersamaan dengan bertawakal kepadaNya.”

“Ibu menjadi musafir belum ada apa-apanya dibandingkan dengan yang kalian lakukan di sini. Kalian masuk ke pesantren adalah bagian dari tawakal untuk mendapatkan ridhoNya. Kalian rela berpisah dari orang-orang terkasih. Jauh dari orangtua. Jauh dari sanak saudara. Jauh dari teman-teman. Jiwa dan raga kalian korbankan demi Allah. Itu adalah pengorbanan yang tidak bisa diukur dengan apapun.”

“Ibu mau bertanya ke Nak Tyas, apa tujuanmu datang ke pesantren ini?”

“Mencari ridho Allah!” Seru Tyas yakin dan mantap setelah mendapat pemahaman dari Nunuk.

“Berarti kamu ingin berdekat-dekat denganNya. Setiap hari menyebut namaNya. Berharap dapat mengenalNya lebih dekat. Bukankah itu yang kalian lakukan. Meski begitu, untuk mencari ridhoNya, kalian tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita kepadaNya. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dariNya. Dan terkadang kebaikan kita acapkali menjadi cobaan. Allah tidak hanya menurunkan cobaan berupa penderitaan. Cobaan berupa anugerah juga tidak kalah gawatnya. Sebab hal itu bisa menuntun kita ke perbuatan takabur atau perbuatan yang cenderung membesarkan diri sendiri. Ingat, manusia selalu menilai seseorang dari apa yang dilihat dari bentuk luarnya. Sementara Allah melihat manusia dari apa yang ada dalam hatinya. Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka (Ya Allah, Engkaulah puncak tujuanku dan hanya ridhoMu yang kumohon, berilah aku rasa cinta dan kenal kepada-Mu),” kata Nunuk menutup dengan doa yang pernah diajarkan Sahid.

Suasana kembali hening. Tak ada kata-kata lagi yang bisa disampaikan Nunuk. Cerita soal ridho dan tawakal sudah selesai. Tamat. Dia tak bisa meneruskan. Sebab diri memang bukan ulama atau pengajar. Kemampuannya hanya sebatas itu. Seperti pesan Kyai Sepuh, Nunuk sebatas menyampaikan cerita kehidupan. Tidak lebih.

Malam itu, Nunuk sekalian berpamitan pada santriwati bahwa esok selepas Subuh, dia harus kembali melanjutkan perjalanan menuju Sunan Gunungjati. [bersambung]

bahu laweyan