Bahu Laweyan #54

Perjalanan Kilat

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk sudah terjaga sejak pukul dua dinihari. Seperti biasa dia tak pernah lepas menjalankan rutinitas sholat malam sembari menunggu datangnya waktu Subuh. Hingga akhirnya adzan Subuh berkumandang.

Selepas sholat Subuh, Nunuk mulai mengemas pakaiannya. Ada banyak makanan untuknya dari pesantren yang bisa dibawa sebagai bekal di perjalanan. Akan tetapi Nunuk hanya membawa bekal secukupnya.

Saat pintu kamar dibuka, tak dinyana di depan kamar sudah menunggu puluhan santriwati. Wajah-wajah penuh cahaya itu telah menunggu Nunuk selepas sholat Subuh. Mereka tak ingin melewatkan kepergian Nunuk. Kendati pelajaran soal kehidupan hanya sebentar disampaikan di depan kelas, namun hal itu sudah cukup untuk membuka mata batin mereka.

Eh, kalian semua sudah di sini,” sapa Nunuk.

Dari puluhan satriwati, Tyas yang pertama kali melangkah maju menemui Nunuk. “Iya bu. Kami semua di sini. Kami ingin melihat ibu untuk terakhir kalinya. Sekaligus kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas pelajaran singkatnya. Ibu telah membuka mata batin kami semua,” ujar Tyas lalu mencium tangan Nunuk dan memeluknya.

“Semoga Allah merahmatimu, Nak,” berkata lirih Nunuk di telinga Tyas.

Hal itu kemudian diikuti oleh santriwati lain. Mereka berebut mencium tangan Nunuk. Seperti mencium tangan ulama.

“Semoga Allah merahmati kalian semua. Semoga Allah meridhoi perjuangan dan pengorbanan kalian,” kata Nunuk tak kuasa menahan airmata.

Hingga perjalanan di pintu gerbang pesantren, Nunuk terus diikuti para santriwati. Sementara para santri putra hanya memandangi dari kejauhan dan sesekali melepas senyum pada Nunuk. Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kelas santri putri. Dalam hati mereka juga bertanya-tanya apa yang membuat puluhan santriwati itu begitu hormat pada Nunuk.

Setiba di pintu gerbang pesantren, seorang pria tua dengan baju gamis dan sarung menanti dengan santainya.

“Assalamualaikum, Nak!” Pria itu uluk salam.

“Waalaikumsalam,” balas Nunuk.

Nunuk sempat kaget mendapat salam dari pria tua tak dikenalnya. Tyas yang berdiri di sampingnya lantas berbisik ke telinga Nunuk. “Beliau Kyai Sepuh, bu!”

“Nak Nunuk mau meneruskan perjalanan?” Tanya Kyai Sepuh sekedar berbasa basi.

Injeh, Kyai. Saya minta doa restunya. Dan terima kasih telah menampung saya di sini.”

Kyai Sepuh hanya mengangguk dan tersenyum.

“Apa kalian sudah berpamitan dengan beliau?” Tanya Kyai Sepuh pada santriwati.

Sampun (sudah) Kyai,” mereka menjawab serempak sambil menundukkan kepala tanpa berani memandang wajah Kyai Sepuh.

“Sekarang kalian kembali ke kamar,” perintah Kyai Sepuh.

Semua santriwati tanpa berani membantah langsung berbalik badan meninggalkan Nunuk dan Kyai Sepuh. Masih belum puas mengiringi kepergian Nunuk, sesekali santriwati menoleh ke belakang dan dibalas Nunuk dengan lambaian tangan pertanda perpisahan.

“Mereka begitu hormat denganmu, Nak. Padahal kalian baru bertemu. Tidak seperti biasanya seorang musafir mendapat penghormatan begitu luar biasa dari anak-anak. Apa yang semalam kau ajarkan padanya?” Kyai Sepuh bertanya.

“Seperti pesan Kyai Sepuh ke mereka, setiap musafir dapat mengajarkan soal kehidupan. Apa yang saya sampaikan hanya sebatas apa yang saya ketahui saja, Kyai!” Seru Nunuk.

Kyai Sepuh tersenyum.

“Nak, apakah kau keberatan jika berjalan denganku?”

“Tidak, Kyai.”

“Arah tujuanmu ke Sunan Gunungjati. Arahnya ke Barat. Ayo berjalan denganku. Sekalian aku mau mampir ke rumah saudara di sana.”

Keduanya lantas berjalan bersama. Kyai Sepuh berjalan begitu lambat. Langkah kakinya teratur dan terarah. Setiap melangkah, kakinya seperti sedang berdzikir. Kedua tangan Kyai Sepuh sesekali diletakkan di belakang seperti seseorang yang terikat tali. Sesekali pula Kyai Sepuh mendongakkan kepalanya ke atas. Lalu menghembuskan nafas. Dari nafasnya itu keluar lisan “Allah”.

Sementara Nunuk hanya mengikuti kecepatan berjalan Kyai Sepuh. Dia sama sekali tidak berusaha mendahului. Hari ini Nunuk berjalan tanpa ada beban. Mungkin beban di ranselnya saja berisi pakaian dan bekal yang memberatkan di pundak. Tapi hal itu sudah biasa baginya.

10 menit belalu, sosok keduanya menghilang dari pandangan mata. Nunuk sempat menoleh ke belakang. Dilihatnya pesantren sudah menjauh. 10 menit berikutnya, pesantren sudah tidak kelihatan lagi. Tak terasa sudah hampir 30 menit keduanya berjalan. Dan mereka terus berjalan tanpa sepatah kata.

Keduanya terus berjalan melintasi persawahan dan perkampungan. Nunuk sendiri tidak berani bertanya. Namun pikirannya terus dibayang-bayangi pertanyaan. Sampai kapan Kyai Sepuh akan mengiringi kepergiannya. Apakah Kyai Sepuh akan mengantarkannya hingga ke Sunan Gunungjati?

“Aku tahu kamu ingin bertanya, Nak!” Kyai Sepuh tiba-tiba berkata.

Nunuk menunduk. Tak berani dia menjawab. Kyai Sepuh seperti bisa membaca jalan pikirannya.

“Kamu pasti berpikiran apakah aku akan mengantarkanmu sampai ke Sunan Gunungjati,” kata Kyai Sepuh.

Nunuk mengangguk.

“Aku memang akan mengantarmu ke Sunan Gunungjati, Nak!”

“Apakah saya tidak merepotkan Kyai?” Nunuk balik bertanya.

Ah, sama sekali tidak merepotkan. Ini justru bentuk terima kasihku atas apa yang kamu ajarkan pada anak-anak. Kamu telah menerobos dinding-dinding nurani mereka dengan pemahamanmu yang luar biasa itu.”

“Saya menyampaikan sebatas kemampuan saya saja.”

“Ilmu Allah begitu luas. Seluas samudera di jagat raya ini. Andai daun-daun di jagat ini dijadikan kertas dan samudera dijadikan tinta, takkan cukup untuk melukiskan ilmu Allah. Sementara kamu berhasil meraguk ilmu Allah tersebut.”

Nunuk tidak berani membantah kata-kata Kyai Sepuh. Dia tahu sedang dipuji, dan pujian itu termasuk ujian sekaligus petaka. Yang namanya pujian akan selalu melemahkan jalan pikiran dan cenderung mengarah pada perbuatan membanggakan diri. Nunuk tak mau menerima pujian tersebut.

Sebenarnya Kyai Sepuh paham akan hal itu. Dia melakukan itu sekedar ingin memberi semangat pada Nunuk agar tidak menyerah di tengah jalan. Sebab perjalanan yang dia lakukan penuh duri. Akan banyak hambatan dan rintangan.
“Aku tahu kau tidak suka dipuji,” celetuk Kyai Sepuh seperti dapat membaca pikiran Nunuk, “anggap saja ini sebagai penyemangat untukmu. Setelah ini kau akan melalui banyak rintangan.”

Injeh, Kyai!”

***

Jangan Lewatkan, Kawan Mbois REK!

Tanpa terasa sudah hampir satu jam mereka berjalan. Tiba-tiba Kyai Sepuh berhenti tepat di tengah persawahan. Jauh dari perkampungan. Suasananya sepi. Di jalanan tak ada satupun lalu lalang kendaraan. Nunuk sempat mendahuluinya. Namun begitu melihat Kyai Sepuh berhenti, dia buru-buru menghentikan langkah. Ikutan berhenti.

Ditengoknya Kyai Sepuh.

“Ada apa Kyai?” Tanya Nunuk merasa was-was dengan keadaan Kyai Sepuh.

Kyai Sepuh membalas pertanyaan Nunuk dengan senyuman.

“Aku hanya bisa mengantarmu dari sini, Nak,” jawab Kyai Sepuh.

“Bukankah masih lama perjalanannya, Kyai!” Seru Nunuk.

Kyai Sepuh menggeleng dan kembali tersenyum.

“Di depan itu tempatnya Sunan Gunungjati,” balas Kyai Sepuh.

Nunuk menoleh ke belakang. Tak didapati apapun kecuali hamparan sawah yang luas. Bagaimana mungkin perjalanan ke Sunan Gunungjati ditempuh tak sampai satu jam. Menurut para santriwati perjalanan ke Sunan Gunungjati butuh waktu berjam-jam bila ditempuh dengan kendaraan. Dengan berjalan kaki, tentu akan memakan waktu lebih lama. Dan kekuatan manusia berjalan ada batasnya. Paling banter hanya sanggup berjalan 3 jam dalam sehari. Dengan begitu Nunuk butuh waktu setidaknya tiga hari untuk sampai di Sunan Gunungjati.

Nunuk masih tidak habis pikir dengan kata-kata Kyai Sepuh. Sebentar-sebentar dia menggaruk kepalanya. Selain heran juga ingin memastikan kata-kata Kyai Sepuh.

“Kamu tidak usah heran, Nak. Memang jarak pesantren ke Sunan Gunungjati sangat dekat,” jawab Kyai Sepuh meyakinkan.

Injeh, Kyai,” Nunuk menyiakan kata-kata Kyai Sepuh tanpa berani membantah.

“Kalau begitu aku pamit ya.”

Injeh, Kyai. Ngestoaken dawuh.”

 

“Salam buat Kangmasmu Sahid. Wassalamualaikum,” salam Kyai Sepuh membalikkan badan dan melangkah pergi dengan kembali berjalan pelan dan pasti.

“Waa…laikum…sa…lam,” balas Nunuk berbata-bata saat Kyai Sepuh menyebut nama Sahid.

Nunuk dibuat kaget dengan ucapan Kyai Sepuh. Bagaimana Kyai Sepuh mengenal suaminya. Bagaimana pula Kyai Sepuh tahu bahwa dia istrinya Sahid. Di mana Kyai Sepuh dan Sahid bertemu. Apakah di depan Ka’bah. Ingin sekali Nunuk bertanya soal Sahid. Sepertinya tak bisa. Sebab Kyai Sepuh sudah berpaling dari hadapannya. Mau mengejar Kyai Sepuh, nampaknya yang dikejar juga tidak berkenan untuk ditanya lagi. Apalagi kata salam itu dimaksudkan untuk menyudahi pertemuan mereka.

Nunuk hanya bisa melihat Kyai Sepuh berjalan. Baru lima langkah, Nunuk kemudian membalikkan badan dan meneruskan perjalanan meski masih dihinggapi rasa penasaran. Baru tiga langkah, sesuatu membuatnya berhenti melangkah. Ya, rasa penasaran tadi. Rasa penasaran terhadap Kyai Sepuh dan terutama terhadap Sahid. Nunuk menoleh ke belakang. Hal aneh pun terjadi. Dia tak lagi mendapati sosok Kyai Sepuh.

 

Perempuan bahu laweyan itu celingukan ke sana kemari. Ke mana perginya Kyai Sepuh. Dengan langkahnya yang lambat seperti itu, tak mungkin Kyai Sepuh bisa menghilang begitu saja dari pandangan mata. Sementara Nunuk baru tiga langkah berjalan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hanparan persawahan.

Ruang batin Nunuk seperti dipilin-pilin dengan peristiwa tersebut. Meski itu bukan pengalaman pertama, tetapi hal itu tetap membuatnya takjub. Kekuasaan Allah memang tiada batasnya. Sekali Allah bilang “kun fayakun” jadilah maka terjadilah. Jika Allah menghendaki sesuatu, maka apapun dapat terjadi. Sesuatu yang mustahil bagi manusia, sangat mudah bagi Allah.

Nunuk masih berdiri terpaku memandangi hamparan sawah di depannya. Dari bibirnya kemudian mengalir ucapan “Allahu Akbar” secara terus menerus. Dan ketika dia membalikkan badan untuk meneruskan perjalanan, peristiwa aneh kembali terjadi. Nunuk tidak lagi berada di tengah hamparan sawah. Tiba-tiba dia mendapati dirinya berdiri di tengah pemukiman penduduk. Dia menengok ke kanan ke kiri. Dilihatnya banyak orang lalu lalang. Di kanan dan kiri terdapat orang-orang berjualan. Ramainya seperti pasar. Dan, itu memang pasar. Ada pula serombongan orang hilir mudik mengenakan busana Muslim.

Nunuk heran. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Sedang berada di manakah dia?

Seorang wanita melintas di depannya, Nunuk buru-buru menegur. “Maaf, mbak. Kalau boleh tahu ini di mana ya?” Tanya Nunuk sopan.

“Oh, ini Desa Astana,” kata wanita tersebut, tak lain warga setempat.

“Maksudnya Desa Astana?” Nunuk masih belum paham.

“Di sini makam Sunan Gunungjati,” sahutnya.

“Astagfirullah,” Nunuk kaget dan mengucap istigfar sebanyak-banyaknya. Kagetnya bukan disebabkan kata-kata wanita tersebut melainkan oleh keadaan.

“Suhanallah,” ucap Nunuk.

“Mbak mau berziarah?”

Nunuk tidak menjawab. Dia terus-terusan mengulangi bacaan tasbihnya karena masih tidak percaya dengan yang dilihatnya.

“Mbak…?” Panggil wanita tadi.

Eh, iya mbak. Maaf. Iya, saya mau berziarah.”

“Silahkan,” wanita itu lantas berlalu tanpa menghiraukan Nunuk yang sedang dihinggapi perasaan takjub.

Nunuk sendiri masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Kali ini seperti patung. Hanya matanya saja yang bergerak ke sana kemari memperhatikan suasana di sekitarnya. Kepalanya sedikit didongakkan ke atas. Dan ya, Nunuk melihat tulisan makam Sunan Gunungjati. Benar. Tak salah lagi. Ini memang makam Sunan Gunungjati.

Hanya saja Nunuk masih belum bisa menghilangkan rasa ketakjubannya atas peristiwa yang baru saja dialami. Semua yang dikatakan Kyai Sepuh benar. Cuma kebenaran yang disampaikan Kyai Sepuh di luar nalar manusia.

Bahwa antara pesantren dan Sunan Gunungjati memang sangat dekat. Sedekat mata memandang. Namun bagi orang awan seperti Nunuk, akan sulit menyangkal kebenaran tersebut. Bahwa perjalanan itu terasa dekat bagi Kyai Sepuh memang iya, seperti melakukan perjalanan kilat. Sementara bagi Nunuk, apabila dilakukan seorang diri mungkin akan butuh waktu berhari-hari.

Perjalanan kilat Kyai Sepuh ini mengingatkan Nunuk pada kisah suaminya yang melakukan perjalanan ngonthel dalam waktu singkat, melebihi kecepatan kendaraan umum. Yang kata orang sepeda onthel Sahid ditarik oleh malaikat. Kira-kira begitulah Nunuk mengartikan perjalanan kilatnya bersama Kyai Sepuh. [bersambung]

bahu laweyan
Komentar (0)
Tambah Komentar