Elegi Untuk Sita #1

Oleh: Arif Naufal

NAMANYA Ayu Laksmini Sita. Aku mengenalnya tatkala sedang menikmati terbit Sang Mentari, di pantai Selat Bali.

Cahaya keemasan, berkilau melapisi setiap gerak riak mengombak, hamparan pasir putih, bermahkota cahaya, berkilau laksana intan berlian.

Aku berjalan menyusuri pantai, siluet layar perahu nelayan, terlukis di batas pandangan.

Seorang dara tampak duduk di kursi rodanya, menatap mata langit yang masih terlihat setengah.

Dara berkulit sawo matang, dengan sorot setajam mata elang.

Rambutnya yang sepinggang, tergerai berayun ditiup angin.

Terlihat telapak kakinya yang telanjang, menginjak pasir, bergerak dengan irama perlahan, seolah melukis sesuatu.

Sesaat dia menoleh kearahku, ketika aku berjarak sekitar enam langkah di sampingnya. Lalu dia kembali menikmati indah mata langit. Tanpa mengacuhkan keberadaanku di sampingnya.

Perahu-perahu nelayan, mulai membuang sauh. Layar perlahan digulung, diikat pada tiang layar.
Dengan ragu dan rasa ingin tahu, aku mendekati Sang Dara itu.

“Kamu penikmat sunrise juga?”

Dia kembali menoleh kearahku, seraya mengangguk. Bibirnya yang pasi, melukiskan sebuah senyum.

“Iya, aku penikmat sunrise. Menatap matahari yang hadir dengan segala keindahannya, membuat semangat, hasrat dan harapanku memekar, mengembang sebesar matahari di awal hari.”

Aku tersenyum, menyetujui ucapannya. Matahari di awal hari, adalah keindahan yang tak terlukiskan. Ia laksana ribuan puisi yang ditulis oleh pujangga cinta.

“Namaku Mahesa, kata ibu namaku berarti kerbau. Mungkin beliau berharap aku setangguh kerbau.”

Dia kembali tersenyum, kali ini dengan senyuman yang lebar, hingga deretan giginya yang indah tampak diantara sela bibirnya yang merah.

“Namaku Ayu Laksmini Sita, aku tinggal di seberang jalan sana.”

Dia hanya menunjuk dengan gerakan kepalanya, tanpa menggerakkan tangannya yang bersimpuh di sandaran kursi roda.

“Setiap pagi aku duduk disini, menatap ombak, laut dan matahari. Pengasuhku yang mendorong kursi roda, sesudahnya dia pergi berbelanja ikan di pasar ikan dekat pelabuhan nelayan.”

Kini aku duduk di hangatnya pasir, disampingnya. Sesekali kupandang wajahnya, sebagai tanda aku menyukai percakapannya.

“Aku seorang petualang, semalam aku memutuskan untuk menyudahi hari dan mengawalinya di tempat ini. Pantai dengan pasir putih serta pegunungan sebagai latarnya. Nanti seusai sarapan, aku berencana menyeberang ke Pulau Dewata. Mengunjungi sahabat yang tinggal di sana. Hmmm … aku harus panggil apa ke kamu? Aku panggil Sita saja ya?”

Tanpa menunggu persetujuannya, aku memanggilnya dengan nama Sita.

***

Matahari mulai terlihat sempurna, hangat cahayanya menyentuh raga, menyentuh embun di rerumputan, menyentuh kebekuan hatiku.

Sita tampak mulai berkeringat, lantas dengan persetujuannya, aku mendorong kursi rodanya ke bawah pohon di dekat rerumputan.

Pengasuh Sita tampak berjalan menghampiri, sambil menenteng tas yang mungkin berisi ikan.

“Mbak Tya sudah datang, aku harus pulang. Hari-hari yang menjemukan kembali terulang, entah sampai kapan. Sering aku memimpikan untuk dapat berpetualang seperti kamu, Esa. Menikmati kebebasan dengan caraku, tanpa harus terbebani dengan embel-embel gadis lumpuh, gadis berkursi roda …. Aku ingin belajar di sekolah, memiliki teman, sahabat bahkan musuh. Bukan sekolah di rumah.”

Ada emosi mengalir disetiap kekatanya. Aku hanya terdiam, mencoba mengerti keadaannya.
Mbak Tya sudah sampai, lantas dia duduk di hampar rerumputan yang masih menyisakan embun.

“Sebentar lagi ya, mbak ….”

Mbak Tya mengangguk. Diletakkan tas belanjaannya di bawah kursi roda Sita.

“Iya, lagian bapak sama ibu kan tidak dirumah, belajarnya juga libur.”

Sita mengiyakan, lalu menatapku.

“Kamu pasti lebih tua dariku, kan ….”

Aku mengiyakan, meski tidak tahu apakah aku lebih tua atau lebih muda darinya.

“Aku setingkat kelas dua Sekolah Menengah Atas, umurku bulan lalu tepat tujuh belas tahun.”

Sita tertawa, lalu menjelaskan bahwa dia dua tahun di bawahku. Dua hari yang lalu dia tepat berusia lima belas tahun.

Aku spontan menjulurkan lengan, menjabat erat tangannya yang lembut. Lantas kurogoh ransel, kukeluarkan sebuah coklat. Silver queen. Bekal yang tak pernah ketinggalan, dimanapun aku berpetualang, kemanapun aku berpetualang.

Sita tertawa, rupanya coklat itu adalah makanan kesukaannya.

“Yuk … pulang, Mbak.”

Aku menatapnya lama, mencoba melukiskan wajah manis itu dalam alam pemikiranku, dalam ruang memoriku.

“Esa, aku mohon, ceritakan kisah-kisah petualangmu padaku, kirim juga foto-fotonya, agar aku bisa merasakan setiap sensasi dari petualanganmu. Ingatlah juga, bahwa kamu punya adik yang paling manis di sini. Ingatlah juga bila kamu sedang menikmati mata langit, aku juga sedang menatap mata langit yang sama. Meski mungkin dengan suasana hati yang berbeda.”

Aku hanya mengangguk, hatiku seolah sedang berombak. Angin laut mengombang-ambingkannya.
Mata elang itu, senyum manis itu, akan selalu aku kenang.

Di hampar pasir pantai putih, kulangkahkan kaki menyusuri, meninggalkan sepenggal kisah terindah.[Bersambung]

cerbung
Komentar (0)
Tambah Komentar