Oleh: Imam M Sumarsono
Bismillahirrohmanirrahim…
Ini adalah pertama kali saya menulis di situs ini. Dengan segala keterbatasan, dan segala upaya keberanian yang saya kumpulkan mengingat masih fakirnya saya dalam pengetahuan, saya ingin bersumbang pemikiran.
Hal yang menggelisahkan pikiran saya adalah apa yang sekarang ini begitu menggelisahkan publik: Korupsi!
Saya mencatat: hari-hari setelah Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali sebagai Presiden RI di tahun 2009, adalah hari-hari yang begitu bising dengan tema korupsi.
Sebelumnya, ramai memang. Tapi tak begitu banyak memobilisasi opini dan sumpah-serapah publik. Kasus-kasus bermunculan. Yang mulanya biasa, dalam waktu yang begitu singkat menjadi gelegar! Hari-hari kita sebagai warga negara tiba-tiba menjadi begitu sibuk dengan orang-orang yang telah mengeruk uang negara. Hak rakyat!
Ruang-ruang publik dipenuhi oleh nama-nama yang tadinya tidak kita kenal, tetapi tiba-tiba menjadi orang paling penting untuk dibicarakan, bahkan di ruang paling pribadi kita.
Tentu saja, mereka dengan status barunya: TERSANGKA KASUS KORUPSI atau TERDAKWA KASUS KORUPSI!
Anak-anak kita mulai belajar memahami. Dengan logikanya yang tertatih-tatih, anak-anak kita mulai bertanya ini-itu soal korupsi: kenapa korupsi, siapa yang korupsi, berapa itu korupsi dan pertanyaan paling mendasar: KORUPSI ITU APA SIH?
Berita-berita korupsi sudah tidak lagi menguasai ruang-ruang publik. Tapi, juga sudah bermigrasi ke ruang-ruang paling pribadi di dalam rumah kita.
Saya, sama sekali tak hendak mendukung koruptor. Sama sekali tidak! Saya mendukung mereka yang telah mengikrarkan JIHAD MELAWAN KORUPSI.
Masalah mendasar yang telah dilupakan adalah: Korupsi itu pekerjaan mereka yang terlatih dan terdidik. Kalau tidak terlatih dan terdidik, namanya suap atau sogokan.
Saya mendefinisikan korupsi adalah kejahatan di atas suap, menyogok atau memeras yang banyak kita temui di kalangan bawah!
Koruptor itu adalah orang yang berniat untuk kaya-raya. Untuk hidup bermewah. Untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang mudah. Tak berkeringat.
Jadi, ketika banyak nama-nama bermunculan di ruang-ruang publik, hingga masuk ke ruang pribadi kita, apakah kita akan sepakat? Atau, apakah kita akan menyampaikannya kepada anak-anak kita, bahwa si itu koruptor, si ini juga koruptor?
Bagaimana jika (ternyata) mereka bersih? Atau, bagaimana jika tuduhan koruptor itu adalah sebuah pekerjaan terstruktur dan sistematis dari sekelompok orang, yang memang berniat untuk melindung para koruptor sesungguhnya? Bagaimana jika nama-nama yang dikeluarkan ke ruang-ruang publik itu adalah rekasaya koruptor yang sesungguhnya.
Saya, dan tentunya Anda, sangat ingin sekali mengajarkan anak-anak kita tentang kebenaran. Kebenaran yang paling tidak, bisa dipertanggungjawabkan; secara intelektual, secara historis, secara akal.
Saya menjadi sangat gelisah ketika dalam perkembangan suatu kasus, tiba-tiba banyak kejadian, fakta-fakta dan modus-modus korupsi yang menjadi sumir dan disumirkan!
Padahal, sepengetahuan saya, sudah terang-benderang bahwa korupsi itu ada, koruptornya jelas, juga modus-operandi dan efeknya kepada bangsa dan rakyat ini.
Jihad korupsi adalah kewajiban. Tapi, berteriak tanpa landasan hukum, tanpa landasan akal, akademis atau pikiran jernih, adalah sia-sia. Itu sudah mengarah pada fitnah!
Yang mengerikan: bagaimana jika fitnah-fitnah itu telah menjadi budaya? Lalu, di ruang-ruang pribadi kita yang sudah diserbu oleh gempuran informasi dari semua lini, menjadi konsumsi anak-anak kita?
Tragis, bagi sebuah bangsa yang berusaha bangkit untuk berkata TIDAK pada KORUPSI!
Tak ada pilihan bahwa kita harus lebih cerdas dari para KORUPTOR itu. Kita harus memahami cara kerja mereka, sindikasi mereka, termasuk bagaimana mereka merekayasa dan memanfaatkan ruang-ruang publik hingga bisa masuk ke ruang pribadi kita. Paling pribadi…