Kecewanya Terawan Vaksin Nusantara Dihentikan

Terawan menyebut Vaksin Nusantara ini dapat menjadi jawaban untuk memberantas mutasi baru Covid-19. Caranya cukup menggabungkan antigen varian baru untuk dicampur dengan sampel darah.

REKAYOREK.ID Mantan Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto pantas kecewa. Sebab Vaksin Nusantara yang seharusnya mendapat persetujuan agar penelitiannya tetap dilanjutkan, justru kini dihentikan.

Adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang memutuskan untuk menghentikan penelitian vaksin berbasis sel dendritik itu karena dianggap tak mengikuti kaidah yang berlaku.

Setidaknya, ada empat temuan BPOM terkait uji klinis Vaksin Nusantara.

Pertama, uji klinis Vaksin Nusantara berjalan tanpa pengawasan. Salah satunya uji klinis tahap satu Vaksin Nusantara di RS Kariadi. Disebutkan uji klinis tersebut berjalan tanpa pengawasan Komite Etik. Padahal, menurut Kepala BPOM Penny Lukito, komite etik di lokasi penelitian harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji klinik dan subjek penelitian.

Dalam kasus ini, penelitian dilakukan di RSUP Dr Kariadi, Semarang, bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, Jawa Tengah. Sehingga, Penny menyebut RS Kariadi harus mempunyai komite etik yang mengawasi uji klinik di rumah sakit mereka.

Akan tetapi, komite etiknya justru berada di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. “Saya kira di awal itu tidak ada pembuktian bahwa keselamatan subjek penelitian itu jadi tanggung jawab komite etik,” kata Penny.

Kedua, uji klinis I tak memenuhi good clinical practice. Yang dimaksud adalah salinan laporan BPOM terhadap hasil uji klinis fase 1 Vaksin Dendritik (AV-Covid19) alias Vaksin Nusantara, menyebutkan bahwa aspek cara uji klinik yang baik memang tak terpenuhi.

BPOM menemukan bahwa dari data baseline imunogenitas yang diserahkan, semua subjek yang diuji klinis ternyata sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Padahal seharusnya subjek yang diuji belum terpapar.

BPOM menemukan bahwa dari data baseline imunogenitas yang diserahkan, semua subjek yang diuji klinis ternyata sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Padahal seharusnya subjek yang diuji belum terpapar.

Selain itu, dokumen ini menyebutkan penelitian vaksin yang dikembangkan oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan ini juga belum memenuhi aspek cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Lalu dari evaluasi imunogenitas, didapatkan 8 subjek (28,57 persen) yang mengalami penurunan kadar antibodi setelah 4 minggu vaksinasi dibandingkan dengan baseline.

Ketiga, tidak memenuhi konsep pembuktian. Penny menuturkan proof of concept dari Vaksin Nusantara juga belum terpenuhi. Antigen yang digunakan pada vaksin tersebut juga tidak memenuhi pharmaceutical grade.

Hasil dari uji klinis fase 1 terkait keamanan, efektivitas atau kemampuan potensi imunogenitas untuk meningkatkan antibodi juga belum meyakinkan. Sehingga penelitian vaksin ini memang belum bisa melangkah untuk fase selanjutnya.

Meski begitu, Penny menuturkan pihaknya tidak menghentikan Vaksin Nusantara. Tim peneliti perlu melakukan perbaikan dan menyampaikan perbaikan kepada BPOM sebagaimana hasil review yang diberikan BPOM kepada tim peneliti Vaksin Nusantara.

“Silakan diperbaiki proof of concept-nya, kemudian data-data yang dibutuhkan untuk pembuktian kesahihan validitas dari tahap 1 clinical trial, barulah kalau itu semua terpenuhi barulah kita putuskan apakah mungkin untuk melangkah ke fase selanjutnya,” tuturnya.

Keempat, belum diujicobakan ke hewan. Anggota Tim Advokasi Vaksin Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Erlina Burhan, menjelaskan tim Vaksin Nusantara tidak bisa memenuhi permintaan BPOM terkait hasil laporan studi toksisitas, imugenesitas dan studi lain untuk mendukung pemilihan dosis dan rute.

Sebagai gantinya, tim menyebut vaksin sudah digunakan pada manusia dan bersifat autologus. Padahal menurut Erlina, dalam langkah atau proses uji klinis pengembangan vaksin nusantara haruslah melalui studi praklinis terlebih dahulu, sebelum berlanjut ke uji klinis fase 1, II, III dan IV. “Mereka tidak melalui uji praklinik terhadap binatang,” ujar dia.

Lantas bagaimana Terawan menanggapi hal ini?

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI secara virtual, Rabu (16/6/2021), Terawan mengklaim sudah mengikuti kaidah baru dari pembuatan vaksin. Tentunya, Terawan berharap agar masih bisa melakukan pengembangan di negeri sendiri dan bukan di negara lain.

Terawan juga mengeluhkan penghentian sementara perkembangan Vaksin Nusantara untuk mengatasi Covid-19. Menurutnya, titik persoalannya tak jelas lantaran tim peneliti vaksin berbasis sel dendritik ini sudah mengikuti kaidah yang berlaku.

“Saya bingung, apa titik persoalannya. Buat kami sebagai peneliti itu merasa ndak ada persoalan. Kaidah yang kami gunakan adalah kaidah yang baru. Karena apa? Dendritic cell vaccine ini belum ada yang pernah mengerjakan untuk Covid-19,” kata Terawan.

“Kita mohon, masa sih ada kendala untuk uji klinis III saja harus tidak boleh, itu menurut saya yang agak melukai hati. Dan saya juga tetap ingin bertahan, saya kerjakan di Indonesia tidak dikerjakan negara lain,” terangnya.

Diakui Terawan, proses penelitian vaksin ini memang mengikuti kaidah yang baru lantaran jenisnya berbeda dibanding perkembangan vaksin lain. Untuk itu, ia menyampaikan agar titik temu persoalan ini bisa dibicarakan dengan kepala dingin.

“Jadi tentunya harus menggunakan kaidah-kaidah yang baru yang beda, karena disuntikkan ke badan kita ya, dendritik sel kita sendiri, bukan dari orang lain, tentunya titik temu persoalan-persoalan itu tergantung duduk bersama,” tuturnya.

Ditegaskan Terawan, Vaksin Nusantara ini bertujuan baik lantaran dapat menjadi kunci dalam mengakhiri pandemi Covid-19. Berdasarkan teori pun, vaksin berbasis sel dendritik ini mampu mengakhiri penyakit kanker, sehingga hal serupa bisa terjadi pada pandemi Covid-19.

“Memang di literatur-literatur paling lama dari kejadian SARS dulu di China, Beijing, dan sebagainya, sel T-nya itu masih ada sampai 6 tahun dan itulah yang riset-riset di dunia mengemukakan muncullah hipotesis di mana dendritic cell vaccine ini dianggap sebagai the beginning of the end, yang memulai untuk mengakhiri cancer maupun Covid-19,” imbuhnya.

“Kebetulan kita membangunnya, apakah tidak boleh kita memulai duluan? Iya, saya serahkan jawaban ke semua orang, apakah Indonesia tidak boleh memulai duluan? Saya tidak tahu untuk jawaban itu,” kata pria berpangkat Letnan Jenderal TNI itu.

Lebih dalam, Terawan menyebut Vaksin Nusantara ini dapat menjadi jawaban untuk memberantas mutasi baru Covid-19. Caranya dijelaskan secara singkat, lanjut Terawan, cukup menggabungkan antigen varian baru untuk dicampur dengan sampel darah.

“Soal varian saya jawab gampang sekali, hanya butuh delapan hari, antigen saya ganti. Karena Antigen itu rekombinan jadi spike S, kita tinggal lihat dia mutasi mana, tinggal gabung-gabung saja. Tinggal kita tambahi mutasi Inggris, India, maupun Afrika Selatan,” ucapnya.

Dengan optimis, Terawan mengklaim cara tersebut bisa menekan penularan Covid-19, khususnya dengan serangan varian baru. Ia berharap, pemerintah pun bisa memberikan izin agar penelitian dapat dilanjutkan.

“Pesan saya untuk uji klinis fase 3 itu termasuk varian baru. Jadi mudah-mudahan kalau nanti diizinkan,” tandas Terawan.

Terawan mengklaim bahwa pengembangan Vaksin Nusantara tidak membutuhkan anggaran negara. Yang dia butuhkan hanya izin lembaga terkait untuk melanjutkan uji klinis Vaksin Nusantara.

“Kalau masalah anggaran, jujur saya tidak butuh anggaran dari negara, yang saya butuhkan adalah good will dan political will,” tegasnya.

Diakui Terawan, dalam penelitian sel dendiritik itu tidak butuh banyak dana. Paling banyak, kata dia, dihabiskan untuk perbaikan laboratorium agar sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practice (GMP). Sementara sisanya digunakan untuk pembelian kit Vaksin Nusantara serta antigennya.

“Sejauh ini dana yang dihabiskan sebesar Rp2 miliar, sumbernya dari urunan. Jadi tidak mahal mewujudkan Vaksin Nusantara itu,” urainya.

Setelah Vaksin Nusantara dihentikan oleh BPOM karena dinyatakan tak lolos uji klinis, maka sebagai gantinya Pemerintah menyepakati status penelitian sel dendritik SARS-CoV-2 berbasis pelayanan kepada pasien, riset tidak dapat dikomersialkan dan tidak membutuhkan persetujuan izin edar.

Hal ini tertuang dalam nota kesepahaman alias MoU antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 19 Maret lalu. Nota kesepahaman ini tidak mengizinkan Vaksin Nusantara lanjut ke tahap uji klinis.

Namun demikian Terawan bilang akan mematuhi apapun kebijakan pemerintah, dalam hal ini nota kesepahaman antara Kemenkes, TNI AD, dan BPOM yang menghentikan uji klinis Vaksin Nusantara.

 

“Apakah bisa kita uji vaksin tahap 3. Saya katakan tidak bisa, kalau dalam kondisi seperti ini karena kami sangat taat kepada pemerintah. Karena dengan kesepakatan 3 pejabat sudah jelas di situ tidak boleh uji klinis, itu mengikat. Kalau kami taat, ya kami harus berhenti,” ungkap Terawan.

Untuk itu, Terawan meminta bantuan parlemen agar pemerintah meninjau ulang MoU tersebut. Ia mengklaim hasil uji klinik fase I oleh tim peneliti Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa imunitas Vaksin Nusantara masih awet pada bulan ketiga pasca penyuntikkan.[]

 

covid-19Terawan Agus PutrantoVaksin Nusantara
Komentar (0)
Tambah Komentar