Oleh: Joko Irianto Hamid
Dia hanya makhluk terkecil di jagat ini,
konon, kata penyair,
matanya cuma satu,
dia tak ‘kan pernah peduli semua orang menjuluki Corona,
made in Covid-19 ini lagi
sesaat terbahak-bahak tiada henti,
sesaat terdengar dimana-mana,
sesaat rumah sakit hingga rumah ibadah
pun porak poranda, mal-mal apalagi
kepanikan dan kesedihan datang
silih berganti,
“biar aku makhluk super kecil,
akulah tuhanmu”, sesumbarnya
bak mencibir orang
orang yang menuhankan gadgetnya
bermata kamera satu,
gelegar tawanya terus menggema melecehkan
rintihan doa-doa yang bergaung
di berjuta-juta loudspeker digital,
terbahaknya s’makin membahana
melebihi tawa bermiliar bajak laut
pesta menaklukkan mangsa,
Biar pun makhluk terkecil di jagat ini,
dia bisa menebar maut amat menakutkan melebihi
bencana letusan gunung himalaya,
tapi,
suatu waktu, dia tiada daya
k’tika menyerang seorang bocah asing
sedang berdoa
sambil menengadakan tangannya
ke langit
di tengah terik matahari
paruh hari,
makhluk terkecil itu pun binasa.
*) Penulis adalah wartawan senior dan budayawan