Titik Nadhir #1

Seribu Hari Memuakkan

Oleh: Jendra Wiswara

Ini adalah catatan perjalanan spiritual anak manusia dalam mencari identitas diri. Awalnya perjalanannya berupa kegundahan dan kenekatan setelah cintanya terhadap Kayla terombang-ambing.

Berbekal motor butut peninggalan ayahnya serta modal pas-pasan, sang tokoh kemudian melakukan perjalanan jauh hingga daya tahannya terkuras habis. Sang tokoh melibatkan diri dalam pertarungan batin yang maha dahsyat.

Kini perjalanannya bukan lagi mengenai pertarungan cinta, bukan pula tentang pemberontakan serta kebebasan yang kerap didamba-dambanya, melainkan mengenai jagat manusia yang sarat akan sejuta pemikiran dan permasalahan.

Sang tokoh membuat seolah-olah perjalanannya begitu mudah sehingga dapat dilakukan oleh semua orang tanpa suatu kepayahan apapun. Perjalanan ini telah memberi ruang pemahaman bagi sang tokoh tentang satu makna. Ia sadar ternyata menjadi manusia itu tidak gampang.

Dari kekesalan cinta menjadi kerinduan membahana di dinding arasy. Dari permberotakannya menuju kebebasan justru kian mendekatkannya kepada Yang Dicintai.

———–

Muhammad Ali, itu namaku. Mirip legenda tinju dunia. Setidaknya dari nama ini aku mendapat sedikit kemasyhuran saat sekolah. 

Pada awalnya ceritaku ini hanya soal catatan kemarahan dan kejengkelan. Jauh dari namanya keberanian. Kemudian orang menganggapku berani.

Entahlah.

Terserah apa kata mereka saja.

Aku tidak menganggapnya demikian. Ini sekedar catatan saja. Sebuah catatan perjalanan keliling. Banyak orang melakukannya. Tapi aku melakukannya dengan caraku sendiri. 

Melihat beraneka makhluk berjumpalitan, aku seolah melihat dua keping koin berputar melambung ke angkasa. Terkadang keluar kepala, kadang ekor.

Hidup manusia bagai ombak datang silih berganti. Kadang di atas, kadang di bawah. Beruntung bila koin dilambungkan sepuluh kali yang keluar kepala, bukan ekor. Lebih menyakitkan bila yang keluar ekor. 

Hidup mungkin bakal menderita.

Hidup tidak selamanya beruntung. Ada saat kita berada di satu titik di mana kita tidak tahu awal dan akhir. Orang-orang menyebutnya: titik nadhir. 

Manusia seorang pemikir, penilai, pembawa pesan sekaligus pembawa bencana. Terserah manusia mau jadi apa. Mau jadi pencipta atau perusak. Mau jadi penulis atau plagiat. Mau jadi (seperti) malaikat atau setan. Mau jadi dalang wayang kulit atau dalang kerusuhan.

Bebas. 

Yang jelas di hadapaku telah terbentang cakrawala luas. Kau tinggal mengedipkan mata dan semua keinginan bakal terkabul. Sebaliknya, salah melangkah bisa-bisa jadi orang paling dibenci.

Seseorang mengharapkan keajaiban turun dari langit adalah tukang khayal. Para Nabi tidak pernah mengharapkan mukjizat. Sebab tanpa mengharap pun mukjizat tetap turun. Begitu pula harapan akan sebuah kesempurnaan. Hanya orang-orang tidak waras yang menjadi pemilik kesempurnaan. 

Seorang kekasih Allah tidak pernah memohonbila mati kelak dimasukkan surga dan menolak neraka. Bagi mereka surga dan neraka sama-sama ciptaan Allah.

Karena itu masa bodoh orang bilang harga diriku telah hilang. Setidaknya dengan berpetualang mengendarai motor keliling Bali-Lombok-Jawa, aku bebas menjadi diri sendiri. 

Di sini aku hidup di atas kaki sendiri seperti yang kuinginkan. Setidaknya aku melakukannya tanpa menyakiti perasaan orang lain.

Mungkin hari ini aku mati, tapi aku justru mulai hidup. 

Di hidupku yang lalu, aku mendambakan orang-orang melihat kelebihanku. Kadang sangat baik, kadang sangat jahat. Hanya sejahat yang kuinginkan.

Kebebasan adalah kekuatan. Menjalani hidup tanpa rasa takut adalah ‘hadiah’. Sebab di sanalah kutemui pintu terbuka. Tanpa ada belenggu. Sementara manusia selalu terjebak dalam ruang berpikirnya.

Termasuk aku.

Mengenang perjalanan cintaku terasa menyakitkan, apabila dipandang dari untung dan rugi. Bila cinta dipaksa melihat untung rugi, maka betapa banyak kerugian yang diderita oleh kaum pecinta.

Tapi aku tidak mau menjadi martir cintaSebab martir cinta hanya cocok untuk lagu-lagu cengeng. Yang kuingin cuma cinta di hati. Sebuah cinta abadi yang manusia pun tak sanggup berbicara apa-apa tentangnya.

Aku memang bukan makhluk sempurna seperti anggapan orang. Namun ada satu sisi dari sebuah jiwa yang merindukan belahan jiwanya yang lain. 

Itulah yang dirasakan Adam saat menjadi manusia pertama. Sebelum akhirnya tulang rusuknya berubah. Dan di situlah diciptakan wanita di sisi Adam.

Tidak ada artinya manusia tidak memiliki hati, dan tak ada gunanya hati jika tidak memiliki cinta. 

***

Melihat kekasih enggan menemui kita, bumi seperti mau kiamat. 

Kayla, entah mengapa kekasihku ini selalu menolak kutemui. Rasanya cintaku seperti bertepuk sebelah tangan.

Sejak ibu Kayla meninggal, kekasihku berjanji takkan menikah sebelum seribu hari. Prinsip kuat tapi konyol.

Menunggu mengikhlaskan orang mati, ahaku tak bisa membayangkan jika yang mati terus menyulitkan yang hidup. Kalau bisa mendengar mereka di alam kubur, mungkin mereka juga menangis karena kematiannya tidak diikhlaskan

Kadang-kadang aku mencoba menerka makna diriku untuknya. Tak bisa. 

Aku, seorang yang bercita-cita jadi manusia bebas. Rasanya tidak cukup menunggu seribu hariTerasa memuakkan.

Semakin menunggu siksaan pemberontakan semakin membelenggu. 

Hingga kuputuskan untuk pergi dari Surabaya. Tentunya sambil menunggu seribu hari tak pasti.

Selama perjalanan keliling, aku sering didera cemooh, pujian, lapar dahaga, kepanasan, kehujanan, hingga sakit. 

Sebaliknya, bertemu orang-orang baru di sepanjang perjalanan menjadi penghilang dahaga.

Masalah pribadi terobati, berubah menjadi penghibur lara.

Lalu kuputuskan membuka cacatan kecil mengenai pengalamanku. Bukan lagi sekedar kisah cinta, bukan pula tentang pemberontakan dan kebebasan, melainkan mengenai alam dan jagat manusia yang sarat akan sejuta pemikiran dan permasalahan. 

Bahwa semua yang dilahirkan memulai hidup tanpa mempunyai sesuatu tak terkecuali tubuh maupun nyawanya sendiri.

Perjalanan ini telah memberiku pemahaman yang tak kuperkirakan sebelumnya. Aku baru sadar ternyata menjadi manusia tidak gampang. Terutama menjadi manusia ikhlas dan pasrah.

Inilah catatankuhasil berpetualang mengendarai motor butut peninggalan ayah. Tidak ada teknik fotografi, hanya teks berisi gambaran alam manusia. Catatan ini sengaja kususun kembali dengan menghaluskan kata-katanya supaya pembaca dapat menerima versiku.

[bersambung] 

titik nadhir