Titik Nadhir #10

Dikira Teroris

Oleh: Jendra Wiswara

Di pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) seorang petugas kepolisian nampak berjaga-jaga di pintu masuk. Dengan senjata laras panjang bergelantungan di pundak, ia mengawasi gerak-gerik semua orang yang hendak menyebrangi Gilimanuk (Bali).

Pengendara roda empat atau roda dua, penumpang bus, sopir truk, pejalan kaki, sebelum memasuki pelabuhan harus menjalani pemeriksaan rutin. Semua barang bawaan digeledah tak terkecuali kami. 

Pemeriksaan semacam ini rutin dijalankan pasca tragedi bom Bali. Dulu, sewaktu Bali meledak jalur udara (penerbangan) dan laut (penyebrangan) ditutup total. Tidak sembarang orang dapat keluar masuk Bali. Bali terisolasi dari dunia luar.

Sejak itu pemeriksaan lebih memfokuskan pada identitas orang, barang bawaan serta isi bagasi. Terakhir kali kami menjalani pemeriksaan tidak seketat pasca ledakan bom Bali. Tergantung petugas jaganya. Kalau yang jaga malas atau mengantuk, pemeriksaan dilakukan sebatas pengecekan SIM dan STNK. Namun bagi kendaraan pribadi berplat S, atau jika kelahiran Lamongan, tepatnya tempat kelahiran Amrozi, kami jamin perjalanan ke Bali tidak akan nyaman dan mulus. Boleh jadi kau akan menghadapi pemeriksaan berliku-liku dan melelahkan. 

Tak jauh dari tempat kami diperiksa tampak beberapa orang berpenampilan relijius. Mereka berjenggot, bersorban, berpeci, serta berjubah. Mereka harus menjalani pemeriksaan ekstra ketat. Tak seperti kami yang langsung plencing (kabur). Mereka terlebih dahulu digiring memasuki pos penjagaan.

Selain menunjukkan identitas mereka harus mengeluarkan isi barang bawaan. Seorang dari mereka memprotes ketidakadilan aparat. Sempat terjadi adu mulut saat dipaksa membuka isi tasnya. Sayang kami tidak tahu apa yang mereka perdebatkan. 

Sejurus kemudian lelaki berjenggot itu harus merelakan tasnya diporak-porandakan petugas. Beruntung penampilan kami biasa-biasa. Kami memang memiliki jenggot namun rambut kami yang gondrong dan awut-awutan menandakan bahwa kami bukan termasuk kelompok radikal.

Malahan dandanan kami lebih terkesan preman.

Sebuah pertanyaan sempat mangkir dalam benak kami: diskriminasi. Sebagai sesama Muslim kejadian ini tentu agak mengecewakan. Cuma ingin mengikuti sunnah Rasulmemelihara jenggot–mereka harus mendapat perlakukan berbeda. 

Mengapa kaum Muslimin selalu dianggap teroris? Sejak tragedi bom melanda kota-kota besar di Indonesia, negaraku kerap menjadi jujugan teroris. Kegeraman kami membuncah manakala dunia luar berasumsi Indonesia adalah sarang teroris.

Sebegitu parahkah negeriku! 

Seandainya dunia luar mau belajar memahami kita, sebenarnya orang Indonesia memiliki budaya santun dan tepa slira. Hal ini dikarenakan kami sangat menjaga betul keragaman budaya nenek moyang secara turun temurun. Terlebih ketika budaya ketimuran dikaitkan dengan ajaran Islam.

Islam, yah, jangankan menyakiti orang lain, membunuh sesama makhluk ciptaan Tuhan saja dilarang, kecuali untuk kebutuhan hidup seperti membunuh ayam untuk makan atau mencabuti rumput untuk pakan ternak. 

Kekerasan atau pembunuhan secara besar-besaran bukanlah ciri orang Muslim melainkan ciri-ciri orang yang iri karena tidak mendapat bagian duniawi. Islam adalah agama cinta damai.

Seseorang pernah bertanya kepadaku, manakah yang kau pilih kebenaran atau perdamaian. Bila aku harus memilih antara keduanya, maka kupilih kebenaran. Sebab dari kebenaran akan memunculkan sebuah perdamaian, meski kadang kebenaran ada pahitnya dan mustahil dapat menghidari dari peperangan. 

Sebelum dunia terbentuk seperti sekarang ini, dulu dunia dipenuhi keangkaramurkaan. Semua orang berlomba melakukan apa saja yang sesuai dengan haknya, termasuk membunuh, memperkosa, menganiaya, serta memperbudak. Itu dulu sebelum kebenaran tercerabut dari akarnya.

Setelah berabad-abad berlalu, kini manusia mulai paham arti dan makna kebenaran. Kebenaran manusia adalah hidup berdampingan antar sesama dengan mengedepankan perbedaan yang ada. 

Adanya perbedaan bukan lantas menjadikan kita wakil malaikat maut; cabut sana cabut sini, bunuh sana bunuh sini seenaknya. Keyakinanku mengajarkan jika kau melihat seseorang berbuat salah, hal pertama yang kau perbuat adalah menegur. Jika dia keukeuh dengan kesalahannya, silahkan menegur lagi (diperbolehkan) sedikit kasar.

Jika masih khilaf dan belum mengakui kesalahannya juga, maka kita dipersilahkan untuk memukul tapi bukan pukulan menyakiti melainkan untuk menyadarkan. 

Begitu pula ketika pimpinan kita melenceng dari jalur, sebagai makmum kita wajib mengingatkan. Jika pimpinan itu masih saja berbuat salah dan merugikan rakyat, kita tetap memiliki kewajiban menasehatinya. Dan jika pimpinan itu terus membikin keonaran dan kesalahan bertubi-tubi, maka sebagai seorang Muslim kita wajib mendoakan. Bukan lantas melukai dengan cara-cara kekerasan apalagi sampai membunuh.

Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari ‘Auf bin Malik, Rasulullah SAW memprediksi tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Yakni munculnya penguasa dan aparat keamanan bermental rusak. Di situ masyarakatnya suka menumpahkan darah, hukum diperjualbelikan, merusak ikatan persaudaraan, dan menjadikan Alquran sebagai aksesoris belaka. 

Gus Dur pernah melakukan ruwatan untuk menghindarkan Indonesia dari betara kala’. Sebagai ‘pengorbanan’ ia menyembelih ayam tanpa Bismillah. Untuk keselamatan sebuah negara dengan segala isinya, hanya ditukar dengan seekor ayam. Lalu, apa yang ingin ditukar oleh para pelaku bom, jika yang dikorbankan adalah nyawa manusia?

Saat ini, tidak ada alasan ideologis yang membenarkan dan bisa diterima akal sehat. Saat ini umat Islam bebas menyatakan pendapat, mendirikan partai Islam, bahkan aliran sesat yang mengatasnamakan Islam pun diberi kebebasan hidup. Jika sebuah bom dijadikan sebagai suatu pengorbanan atas nama agama, dan untuk mencapai tujuan bersifat agamis, maka pengorbanan yang diberikan sama sekali tidak seimbang. Apalagi motivasi serta tujuan yang ingin dicapai tidak jelas. 

Tragedi bom yang melanda Indonesia adalah tragedi besar yang melukai rakyat Indonesia dan menyentak dunia. Bom Bali I terjadi pada 12 Oktober 2002. Aku melihat serangan ini tentu bertujuan untuk mengadu domba kaum Muslim di dunia.

Seorang teman bernama Tuji, sesama jurnalis pernah bercerita. Tahun 2002 ia ditugaskan ke Bali sebelum tragedi Bali I. Selama di Bali Tuji mengaku selalu dihantui perasaan bersalah karena harus meninggalkan anak dan istri demi tugas kewartawanan. 

Di sana Tuji menjadi pengemis yang mengiba sebuah berita. Ia luntang-lantung keluar masuk tempat-tempat yang dirasa cocok untuk dijadikan sumber berita.

Sampailah ia di Legian pada 12 Oktober tepat pukul 20.30 WITA. Bersama seorang teman Tuji memesan nasi goreng. Dengan lahap ia menghabiskan nasi goreng sambil sesekali terlibat obrolan seru. Setengah jam usai makan ia balik ke kos-kosan. 

Menginjak pukul 21.30 WITA, dalam perjalanan pulang ke Denpasar tiba-tiba terdengar dentuman sangat keras. Rumah kaca penduduk pecah. Beberapa atap dan dinding rumah retak. Pun hentakannya begitu dahsyat hingga menggoncang Denpasar. Padahal jaraknya berkilo-kilometer.

Semula ia menduga telah terjadi gempa bumi. Begitu melihat dari kejauhan suasana langit di Kuta berubah kemerahan. Buru-buru ia keluar dari kos-kosan. Setelah menyewa motor, Tuji kembali ke Kuta. Meski belum hafal rute ia tetap pergi. Saat itu ia termasuk orang pertama–selain wartawan dan polisi–yang datang ke TKP. 

Kebetulan saat itu kami (aku dan Tuji) satu media. Sepulang dari Bali Tuji menceritakan pengalamannya lolos dari maut.

Berikut pengakuan Tuji yang berhasil kurangkum: 

Saat itu Tuji menduga telah terjadi gempa tsunami di Kuta. Maklum karena Kuta berada dekat dari bibir pantai. Dalam perjalanan ia membayangkan jika memang Kuta diserang tsunami entah berapa banyak jumlah korban yang tewas. Sebab sebelum meninggalkan Kuta ia melihat banyak sekali orang berjubel memadati Kuta.

Apalagi saat itu malam Minggu. Beruntung bila mereka berhasil menyelamatkan diri dari tsunami. Tapi yang justru membuatnya penasaran ketika melihat langit Legian mengeluarkan asap kemerah-merahan. Cahayanya terang benderang. Itu seperti api. 

Gempa tsunami tidak mungkin menimbulkan api. Rasa ingin tahu Tuji kian besar. Rasanya tidak cukup hanya mereka-reka. Namun demikian ia masih menduga bukan tsunami yang menimpa Kuta. Sebab kalau benar tsunami yang menyapu Kuta pastilah 15 menit yang lalu Denpasar juga terkena imbasnya. Setiba di Legian Tuji melihat orang-orang berlarian sambil berteriak-teriak minta tolong.

Nampak tubuh mereka kehitam-hitaman seperti terkena hujan abu gunung merapi. Apa mungkin gunung Agung memuntahkan lava. Tidak mungkin. Gunung Agung terletak antara Besakih, Trunyan dan Tirtagangga. 

Setiba di sana Tuji melihat puluhan jasad manusia tak berdaya bergelimpangan. Posisi mereka tidak beraturan. Ada yang tergeletak di selokan, pinggir jalan, dan terpental menggelantung di atas atap. Yang mengerikan tubuhnya gosong. Lalu ada bagian tubuh terpotong-potong seperti tangan, kaki, dan kepala. Nyaris tak ada yang bergerak.

Kalau pun mereka takkan bisa berbuat apa-apa. Mungkin rasa sakit yang teramat sangat itu telah membuat mereka kehilangan kesadaran. Sehingga jangankan meminta tolong, mengeluarkan sepatah kata saja tak sanggup. 

Selanjutnya sayup-sayup kudengar seseorang berlarian menghampiri orang lain sambil meneriakkan kata-kata: Bali dibom! Bali dibom!

Seakan mimpi, Tuji memfokuskan pikirannya. Sejak kapan Indonesia punya dosa terhadap teroris. Apa yang didapat pelaku dari pengeboman tersebut. Toh, Indonesia bukan negara konflik, bukan negara adikuasa, bukan negara maju. Kenapa sampai ada orang yang tega berbuat sedemikian keji terhadap Indonesia. 

Saking besarnya rasa keingintahuan Tuji, ia memberanikan mendekati lokasi kejadian. Seketika terbayang suasana Timur tengah di mana mayat-mayat berserakan di jalanan.

Tuji berjalan mendekati salah satunya. Ia berusaha menggapai mereka tapi dirungkan karena jujur keberaniannya tak sampai di situ. Tak satu pun dari mereka yang dilewati menunjukkan tanda-tanda kehidupan. 

Tak jauh dari tempatnya berdiri tampak sebuah lubang besar menganga lebar. Benarkah ini letak bomnya? Tiba-tiba mata Tuju tertuju ke sebuah tempat yang tidak asing: Sari Club dan Paddy’s Café. Bukankah di tempat tersebut ia sempat menghabiskan nasi gorengnya 30 menit yang lalu. Dan sekarang tempat tersebut tinggal puing-puing.

Tiba-tiba lututnya menjadi lemas, kepala pening, badan terhuyun-huyun sempoyongan. 

Astagfirullah, betapa beruntungnya aku sebab terlambat 30 menit saja mungkin nyawaku akan sama seperti mereka. Aku tak dapat membayangkan betapa cepatnya menusia-manusia tak berdosa ini harus menemui ajalnya,” cerita Tuji.

Hari semakin larut namun suasana di Kuta-Legian sudah seperti kota hantu. Tak satupun orang berani melintas. Justru Tuji satu-satunya orang pertama yang berdiri di tengah-tengah lokasi kejadian tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. 

Satu jam berikutnya Legian dipenuhi mobil ambulance, PMK, polisi, pekerja sosial, dan tentunya warga setempat. Mereka saling bahu membahu mengevakuasi korban-korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah tak bernyawa. Selanjutnya korban-korban tersebut dilarikan ke rumah sakit terdekat di Sanglah.

Saat itu belum sepenuhnya sadar. Seorang laki-laki membangunkanku dari ketidaksadaran. Ia menyuruhku meninggalkan lokasi kejadian. Dari seragamnya ia seorang pencalang (sesepuh adat). Namun sebelum pergi aku buru-buru mengeluarkan kamera dan mengabadikan peristiwa bersejarah tersebut. Berikutnya aku pergi menuju rumah sakit dimana korban-korban dibawa ke sana,” kenangnya.  

Pandangan Tuji makin kabur manakala melihat puluhan mayat-mayat dijejer di lorong-lorong rumah sakit dengan hanya berbalut kain warna putih.

Menurut petugas rumah sakit mayat-mayat ini dibiarkan berada di luar karena ruangan kamar mayat sudah penuh sesak. 

Semalam suntuk aku terpaksa bergadang bersama mayat-mayat. Tak seorang pun yang bersedia kutanyai. Lagipula aku juga malas bertanya setelah apa yang kualami: lolos dari maut. Melihat kejadian luar biasa di depan mata kepalaku, tanpa bertanya ke narasumber sekalipun, sudah merupakan berita heboh.

Melihat puluhan orang lalu lalang–pergi lalu datang lagi sambil membawa mayat, tak pelak membuat pikiran Tuji terjaga. Beribu pertanyaan berkecamuk di benak. 

Kenapa Bali? Kenapa Bali?

Sesaat rasa kantuk mulai menyerang Tuji. Setelah seharian tidak tidur tidak salahnya ia memejamkan mata barang 20 menit. Tapi yang dilihat di rumah sakit tak ada tempat kosong. Semuanya dipenuhi mayat. 

Setidaknya kini mereka dapat tidur dengan tenang untuk selama-lamanya.

Tuji menyandarkan tubuh ke dinding tepat di samping mayat yang rusak dan tak bisa dikenali lagi wajahnya. 

Sebelum mata terpejam kucoba berbicara ke mereka: nasibku lebih beruntung daripada kamu. Kedua paha kuangkat ke atas, sementara kusilangkan kedua tanganku. Kucoba memejamkan mata, sayup-sayup kudengar derap langkah kaki tergopoh-gopoh. Buru-buru kudongakkan kepala, dan lagi-lagi yang kulihat cuma orang lalu lalang membawa bungkusan kain warna putih yang pastinya berisi mayat.

Ketika kesadarannya mulai hilang mendadak sesosok mayat membangunkan Tuji. Ia mencoba berbicara denganku dengan gaya bahasanya sendiri; bau anyir. Aromanya terasa menyengat sampai ke hidung. 

Kukira aroma sate yang mengeluarkan asap setelah dikipasi tak secepat hembusan aroma mayat yang gosong. Aku jadi teringat kata-kata guruku bahwa satu-satunya anggota tubuh kita yang tak dapat dibohongi adalah hidung,” katanya

Bau anyir mayat-mayat di samping Tuji menusuk-nusuk hidung. Bahkan saking kuatnya aroma tersebut sampai-sampai Tuji harus memuntahkan semua isi perut. 

Lalu muncullah cerita orang mati yang berkomunikasi dengan orang-orang yang masih hidup. Pantas di Islam disebutkan bahwa jika kau melihat orang mati di dekatmu agar secepatnya mensegerakan mereka ke peristirahatan terakhir. Persis seperti yang dialami Tuji. Bau manusia ketika mati benar-benar menganggu bila dibanding bau hewan ketika mati.

Ketika hari menginjak subuh sebuah truk kontainer memasuki pelataran rumah sakit. Beberapa orang berlarian membukakan pintu kontainer. Sesaat dikira mayat akan dinaikkan ke truk lalu dibawa entah kemana. Namun rupanya truk tersebut hanya menurunkan balok-balok es batu. Kemudian es-es tersebut dibawa di lorong-lorong rumah sakit. Selanjutnya puluhan mayat-mayat bersama potongan tubuhnya ditumpuk di atas es. 

Benar-benar mirip daging giling dalam kulkas. Sekali lagi pikiranku berontak. Betapa murahnya harga nyawa manusia. Tapi mau dikata apa memang begitulah keadaannya. Sejak peristiwa bom Bali yang nyaris membuatku celaka itu, tak lama aku pun ditarik kembali ke Surabaya.

Pengalaman Tuji ini merupakan satu dari sejuta kisah yang dialami warga Bali, khususnya mereka yang terlibat langsung di dalamnya dan menjadi korban keganasan bom Bali. 

Sejak peristiwa tersebut, kontan perekonomian Bali langsung timpang. Kunjungan wisatawan menyusut. Yang dapat ditangkap, tak lama berselang terjadi eksodus wisatawan asing di Bandara Ngurah Rai, Denpasar.

Situasi sepi dan lengang seperti itu tentulah sangat ditakuti Bali yang sangat mengandalkan kunjungan wisatawan sebagai penopang utama ekonominya. 

Kini, kita mulai berbicara soal sebuah negara berpenduduk 200 jiwa yang terseok-seok menghadapi ancaman teror bertubi-tubi. Sebuah negara besar yang lemah dalam segala hal, kian terombang-ambing dalam apa yang disebut sebagai “Perang melawan terorisme” yang dihembuskan oleh negara-negara maju.

Semua itu membuatku berpikir, pantaskah nyawa seseorang yang baik dikorbankan demi sebuah negara? 

Dulu di jaman Pangeran Diponegoro kita memang pernah meyakininya, begitu pula pada masa Bung Karno kita berkorban demi memerdekakan diri. Tapi sekarang, pantaskah nyawa itu dikorbankan sia-sia di negeri yang indah ini? Benarkah kata Taufiq Ismail: Malu aku jadi orang Indonesia! [bersambung]

titik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar