Titik Nadhir #15

Arak Bali

Oleh: Jendra Wiswara

Jurnalis juga manusia, bukan robot, maupun mesin. Seorang jurnalis yang berperikemanusiaan merupakan gambaran kebahagiaan orang banyak. Sebaliknya jurnalis yang tak bermoral, justru petaka bagi diri maupun orang lain. 

Berbicara jurnalis tentu tak jauh dari sosok manusia. Manusia sendiri dipisahkan menjadi dua kelompok. Dan jika mereka mujur, kelompok pertama akan menganggap kehidupan yang dijalani selalu dikaitkan dengan kemujuran. Mereka akan menganggapnya sebagai pertanda. Bukti bahwa ada yang mengawasi manusia.

Kelompok kedua menganggap kemujuran sebagai kebetulan semata. Kesempatan yang membahagiakan. 

Aku yakin kelompok kedua mengamati kemujuran itu dengan curiga. Bagi mereka situasi ini mencurigakan. Bisa baik atau buruk. Dalam hati, apapun yang terjadi mereka akan sendirian. Dan itu membuat mereka takut.

Ada banyak pengikut di kelompok pertama. Begitu mereka melihat kemujuran itu mereka menatap sebuah keajaiban. Dan dalam hatinya mereka merasa apapun yang terjadi pasti ada yang akan menolong. Dan itu membuat mereka berharap dan berharap. 

Entah aku masuk dalam kelompok yang mana? Apakah seperti yang menganggap kemujuran sebagai pertanda? Keajaiban? Atau percaya ini semata-mata keberuntungan manusia? Atau perhatikan pertanyaannya, mungkinkah kemujuran bukan sekedar kebetulan?

Kehidupan jurnalis selalu dihadapkan pada dua pilihan. Baik atau buruk. Surga atau neraka. Kiri atau kanan. Putih atau hitam. 

Mereka bagai seseorang yang berjalan di atas jembatan sirath. Pilihan mana yang akan mereka ambil: kanan atau kiri. Jika belok kiri (pilih hitam) dia bakal jadi penjahat, tukang peras, koruptor. Jika ke kanan (pilih putih) akan jadi orang benar, atau sekelas ustadz.

Padahal seorang jurnalis dituntut untuk selalu obyektif, tidak tebang-pilih. Mungkinkah jurnalis memiliki pilihan, bila mengingat satu-satunya jalan yang dituju adalah lurus. 

Bagaimana seandainya dia melihat seseorang mengalami kecelakaan, ditolong atau dipotret. Jawabanku: dipotret dulu baru ditolong–jika kondisinya memungkinkan. Jika tidak, ya ditolong dulu baru dipotret.

***           

Usai terlibat perdebatan sengit dengan Heru, esoknya kami memutuskan menolak menandatangani kontrak kerja. Meski Lakila kebakaran jenggot dan sempat mengadukan perbuatan Heru pada direktur, keputusan kami sudah bulat: satu suara, satu hati.

Saat itu kami mengukuhkan diri menjadi orang ke-23 yang gagal bergabung di koran tersebut. 

Sebelum kami, Lakila sudah sering mengirim orang-orang pilihannya. Semua gagal. Bahkan kami mendengar wartawan dari Radar Banyuwangi sempat tertarik bergabung. Setelah terjadi deal salari, esoknya dia mengundurkan diri. Persis yang kami alami. Kami rasa juga begitu.

Bila saat itu kami mengambil tawaran Heru, kami bakal selamanya membudak. 

Hal itu tidak akan terjadi.

Kami adalah manusia bebas. 

Keanehan demi keanehan ini pula yang selalu dipertanyakan Lakila serta managemen. Selama ini belum ada seorang pun yang membeberkan kegagalan mereka. Sebaliknya, kami, dengan sedikit keberanian dan kecuekan mengungkapkan ketidakcocokan-ketidakcocokan tersebut.

Semua kami beberkan apa adanya, berikut pandangan kami mengenai koran tersebut. 

Yang mengejutkan ketika Lakila bilang bahwa posisi Heru cuma sebatas wakil pemimpin redaksi, dan bukan pemimpin redaksi seperti yang kami kira.

Justru direkturlah yang selama ini merangkap jadi pemimpin redaksi. Antara direktur dan Heru sering terjadi ketidakcocokan. Saking keras kepalanya, Heru lantas dilengserkan dengan hanya menduduki posisi wakil pemimpin redaksi. Dia bukan penentu kebijakan, kata Lakila. 

Sayang sekali bukan itu yang kami dengar. Sang direktur boleh saja merangkap pemimpin redaksi, selebihnya semua pekerjaan dikerjakan oleh Heru. Makin mengejutkan ketika mendengar cerita Lakila bahwa karena ketidakcocokan tersebut, managemen pernah berkeinginan memecat Heru.

Detil cerita ini mengingatkan kami kejadian di Jakarta, di mana teman kami dikirim ke sana. Tugas utamanya membikin onar, yakni menggeser kedudukan pimpinan Jakarta akibat ketidakpuasan pimpinan Surabaya. Tentu saja hal ini mengundang konflik. Dualisme kepemimpinan pun terjadi. Maklum, saat itu memang tidak ada posisi pimpinan redaksi. Semua yang duduk di dewan redaksi sama-sama menjabat redaktur eksekutif–setara Pimred. 

Perang ide, konsep, dan pemikiran tak dapat dielakkan. Semua orang saling mempertahankan argumennya. Bahkan nyaris terjadi adu jotos. Ujung-ujungnya koranlah korbannya.

Nah, kami tidak ingin kejadian serupa terulang. Pengalaman demi pengalaman telah memberi kami peringatan untuk sama-sama intropeksi. Jika demi sesuap nasi harus bertarung dulu, tidaklah. 

Meski kata-kata Heru mengundang kekesalan di hati, tapi dengan kesenioritasannya sebagai jurnalis, kami telah mendapat pengalaman baru. Mungkin dia tidak cocok menjadi pemimpin kami, cukup teman saja.

Aku ucapkan syukur dalam hati, bahwa pertemuan dengan Heru Aman ini ternyata produktif, berhasil membawa aku pada pikiran-pikiran yang memudahkanku memahami kekeliruan masa lalu dan menerangi jalan ke masa depan. 

Langkah selanjutnya, kami memutuskan memanfaatkan waktu yang tersisa. Sebelum pergi, pada Heru kami minta ijin diperbolehkan menginap barang dua hari di mess. Sementara uang saku sudah menipis. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana cara menambah uang saku.

Pikiranku mengembara jauh melintasi jalanan yang berliku-liku. Untuk sementara kami masih ingin berada di Bali–menikmati suasana Bali. Setiba di mes-mesan kami lantas menceritakan prihal penolakan kami bergabung dengan koran itu pada Kadek sekeluarga. Mereka menyadari.

Melihat kekecewaan kami, Kadek, Ali serta Agus berusaha mengibur. 

“Biar gagal tak apa-apa, masih ada hari esok. Mumpung mas-mas ada di Bali, sebaiknya dinikmati saja,” kata Kadek tanpa memberi kami kesempatan bertanya, “Mas, sudah pernah merasakan arak Bali?”

Kami menggeleng. Tawaran Kadek sepertinya menggiurkan bagi Yoga. Dia berkata, “Ayolah Al, sekali ini saja. Kamu tahu kan sejak aku menikah kamu berusaha menghindar karena kamu merasa bertanggung jawab terhadap keluargaku. Dulu kita selalu bersama-sama. Sekali ini saja dan aku jamin ini yang terakhir.” 

Begitu tajam tatapan matanya sampai-sampai aku tak kuasa menolak.

Dasar Yoga, aku cuma tersungging. Dia mengartikan senyumanku sebagai kesediaan menerima ajakan. 

Tanpa kusuruh Yoga segera berangkat membeli arak dengan ditemani Kadek. Aku menunggu di rumah.

Mataku tak lepas memandangi seisi rumah. Berantakan. Mainan anak kecil berserakan. Kulihat anak Kadek dan anak Agus saling berebut mainan. Yang besar berhasil mencuri mainan, yang kecil merengek-rengek ke bapaknya minta mainannya dikembalikan. 

Pemandangan ini sedikit mengurangi penderitaanku.

Siang bolong, minum arak, mabuk, ah pikiranku melayang tidak tentu. Yang diminum juga tidak tanggung-tanggung, arak Bali. 

Kudengar arak Bali dikenal memiliki kekhasan tersendiri. Beda dengan tuak atau arak Tuban. Kalau tuak dapat langsung diminum dari pohonnya setelah diunduh, sedang arak Bali harus diolah dan disuling sehingga dapat dikonsumsi. Selain rasa keingintahuanku yang besar terhadap arak Bali, aku rasa tidak fair juga menolak tawaran teman-teman.

Biarlah untuk sementara setan bertengger menyombongkan diri atas kemenangannya di bahu kiriku. Dan untuk malaikat yang terhormat, Anda boleh beristirahat sejenak. 

***

Tak lama Yoga datang. Ia membawa dua botol plastik besar berisi air putih. Bukan air biasa melainkan arak. Siang itu, seluruh keluarga Kadek, khususnya para suami berkumpul.                                             

Kami duduk melingkar. Bersila. Istilah kasta kami buang jauh-jauh. Semua sejajar. Ali, sang seniman bertugas sebagai bandar. Sebelumnya Ali pernah bekerja sebagai bartender. Malah dia mengaku pernah meracik berbagai minuman khas. Dari situ keahliannya sebagai bandar tidak kami sangsikan. 

Dengan santai dia meracik arak dengan dikecuri jeruk purut. Separuh arak dari botol besar dimasukkan ke botol sedang. Dikocok-kocok. Diguling-gulingkan. Dibolak-balik. Lalu dituangkan.

Melihatnya, kami buru-buru menelan air liur. Dan sebagai tanda penghormatan, Ali memberikan minuman pertama ke Yoga. 

“Untuk teman baru kami, keluarga baru kami, dan untuk kegagalan serta kesuksesan berikutnya,” Yoga mengangkat gelasnya.  

Dia menenggak. Semua orang memandangi Yoga, tak terkecuali aku, seolah menanti sebuah jawaban meluncur dari mulutnya. 

“Bagaimana?”

“Enak, tidak terasa kalau arak, mungkin karena dicampuri jeruk. Kok sedikit sekali takarannya. Kurang puas!” Yoga berkata jujur. 

“Di sini kalau Mas ingin merasakan enaknya arak ya harus begitu. Satu tegukan. Bila ada dua tegukan tidak enak di tenggorokan,” kata Kadek menjawab kegusaran Yoga.

Aku sudah tidak sabar. Setelah Yoga, giliranku mendapat penghormatan. Sedikit sekali Ali menuangkan arak, sampai-sampai mataku tak lepas darinya. Sejurus kemudian dia menjulurkan tangannya, aku menyambut tanpa basa-basi. 

Arak Bali, batinku.

Sejenak kuhirup baunya. Kusorongkan mulutku ke bibir gelas. Pelan-pelan arak memasuki mulut. Sesampai lidah aku berhenti. Pahit mulai menyentak. Lalu kuteruskan mendorongnya sampai tenggorokan. 

Mendadak rasa pahit tadi hilang diiringi aroma jeruk yang berdansa di dalam rongga mulut. Rasanya tiada pernah kurasakan sebelumnya.

Apa mungkin racikan Ali yang mantan bartender itu. Di sini kemampuannya benar-benar teruji. Dia begitu lihai meramu arak dan jeruk sehingga aku sama sekali tak merasakan apa-apa. Atau, Ali menggunakan mantra-mantra sebab kebiasaan orang Bali selalu berdoa setiap kali memulai sesuatu. Yang jelas ramuan dan mantra-mantranya berhasil. Salut. 

Arak kemudian berjalan secara bergilir. Kadek giliran berikutnya, lalu Agus dan diakhiri sang bandar. Anehnya, tiga kali putaran mata serasa mengantuk. Kepala melayang-layang. Tidak mabuk, tidak pusing. Menurut Kadek itu biasa. Di sini arak tidak pernah memabukkan.

Berlebihan pun hanya membuat orang tersebut pingsan. Kehebatan arak Bali ketika seseorang itu sudah merasakan matanya berat. Kalau sudah begitu, minuman harus segera distop. Bila diteruskan tiada keindahan yang didapat melainkan penderitaan. 

“Kita kan minum bukan untuk mabuk, cuma hiburan. Dan terkadang hiburan ada batasannya. Kelebihan juga tidak baik bagi kesehatan. Mengingat arak Bali berfungsi sebagai konsumsi kesehatan,nasehat Kadek.

Menakjubkan. 

Kadek, Ali, dan Agus bukan saja menjelaskan kegunaan arak beserta khasiatnya–menyembuhkan lumpuh, mengobati rematik, dan menetralkan asam urat. Mereka juga tahu kapan harus berhenti dan kapan harus memulai. Takaran minuman pun betul-betul dijaga. Tidak sembarangan.

Beda dengan teman-teman Surabaya. Budaya di Surabaya, jika minum kami harus mabuk dulu baru berhenti, atau jika sudah melakukan perbuatan konyol. 

Di Bali lain, satu botol plastik berukuran sedang, sudah cukup mengakhiri segalanya. Bahkan Agus meminta berhenti ketika mencapai 4 putaran. Minuman itu sendiri habis setelah 6 kali putaran.

Setelah tongseng–istilah pemabuk penghabisan, kami diperkenankan istirahat. 

“Melihat mas-mas, dan tentunya kami, sebaiknya mas istirahat. Kami juga mau bobok-bobok siang.” Begitulah peraturannya bila selesai minum arak.

Di kamar berukuran 3×4 meter itu kami harus memejamkan mata. Sulit memang. Kebiasaan ini di luar kendali. Biasanya di rumah kami tidur di atas kasur empuk berukuran besar dengan ruangan yang longgar. Kini, kami harus membaringkan tubuh di ruangan kecil lagi sempit. 

Celakanya kami harus berbagi kasur yang sebenarnya diperuntukkan bagi satu orang. Kami pun tak kehabisan akal, tubuh kami serongkan, sementara kedua kaki kami membujur menghadap lantai. Dengan begitu kepala serta punggung bisa sama-sama merasakan kasur.

Tak lama kami pun tertidur. 

Rupanya efek arak bekerja dengan cepat. Pukul tiga sore suara handphone membangunkan kami. Seorang teman di Surabaya menanyakan kabar kami, dan kami jawab sekenanya.

Tiga jam istirahat cukup membantu memulihkan kondisi kami yang drop. Beban sedikit berkurang. Yoga mendeham. Sekali. Dua kali. Rupa-rupanya dia sengaja hendak membangunkanku dan bersiap-siap dengan penampilan ala bijisnya. 

“Kita mau kemana?” Aku masih kebingungan membuka mata, kukocok-kocok.

“Kamu lupa ya. Kuta rek…Kuta rek…kan kita mau ketemu bule-bule cantik.” Dengan sombong dia membenahi rambut serta pakaiannya. 

“Oh iya, Al, kamu kan bisa bahasa Inggris?” Tanyanya.

“Emangnya kenapa?” Pura-pura aku blo’on. 

“Kamu nanti gaet bule. Yah, bercakap-cakaplah dengan mereka. Jika berhasil biar aku yang maju.” Yoga tertawa gemas. Aku mengikik jengkel.

“Sinting!” Celetukku.

“Lumayan kan kalau dapat duit, kita nanti bisa makan enak.”  Ia masih tertawa asyik, berhasil dapat menggelitik perasaanku. 

Emboh.” Aku makin geram.

“Ayolah Al.” Yoga memelas. 

“Husy, eling Yog, di rumah ada seorang isteri menunggu suaminya dalam keadaan hamil.” Aku mengingatkan.

Mendadak lelaki itu diam. 

“Ya sudah ayo berangkat. Kita cangkruk saja. Jangan lupa bawa araknya.” Mimiknya menunjukkan kekecewaan. 

Dan pergilah aku ke kamar mandi. Aku tinggalkan Yoga di kamar sendirian. Terasa olehku pandangannya mengikuti dan melekat pada tengkukku. Pandangan kekecewaan. Sebelum berangkat kami meminta Kadek menggambarkan sebuah peta, maklum kami masih buta rute Bali, takutnya tersesat. [bersambung]

titik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar