Oleh: Noviyanto Aji
Sejak tiga tahun belakangan kondisi RAR kemput-kemput: Hidup segan, mati tak mau. Apakah ini pertanda Koran RAR bakal bubar?
Upah karyawan tertunda, dari seminggu jadi sebulan, dari sebulan jadi dua bulan, dari dua bulan jadi tiga bulan.
Banyak teman-teman yang tidak betah. Esoknya mereka kompak demo. Mundur berjamaah.
Seperti yang kualami sehari sebelum keluar dari RAR. Waktu itu aku dan Andhika, pemimpin sekaligus direktur–tapi aku lebih suka menyebutnya teman–sedang menggelar rapat.
Kuusulkan pada Andhika sebaiknya kita cabut dari perusahaan koran terbesar di Jawa Timur. Sebab kita tidak mungkin bertahan dengan kondisi seperti ini. Di sini kita diperlakukan bagai budak. Setelah keringat diperas, kita akan dipecut sampai berdarah-darah. Setelah darah mengering, kepala bakal diinjak bahkan dipenggal pun kita akan diam.
Bukankah sistem feodal sudah dibumihanguskan dari muka bumi ini. Mengapa masih ada juga penindasan, bahkan yang jelas-jelas nyata kita malah bersedia diperbudak. Ini tentu bertentangan dengan kita yang notabene kumpulan orang-orang kreatif dan rasional.
Semakin berlarut-larut penindasan ini dibiarkan, bukan saja fisik kita yang jadi bangkai, pikiran serta hati juga ikut mati. Seandainya keluar dari koran terbesar itu dapat membuat kita terbebas, mengapa tidak kita lakukan. Bukankah menjadi orang merdeka lebih menyenangkan? Kita bisa memulai hidup baru, mulai dari awal tanpa bersinggungan dengan pihak manapun.
Aku tahu saat itu kondisi kami serba salah. Kami hanya bisa mengecam kejahatan dan kebutaan intelektual. Padahal yang dibutuhkan manusia hanyalah dengan berusaha memahami kondisi aktual mereka.
Aku yakin bahwa perhitungan yang benar terhadap seberapa tepat keseimbangan kekuatan-kekuatan kami akan mengindikasikan dalam bentuk-bentuk yang rasional. Bahkan kalau perlu menentangnya sekuat tenaga tatanan yang ada dengan lebih banyak menekankan pada faktor tindakan, bukan pada cita-cita.
Saat itu aku melihat kejatuhan RAR bukan diakibatkan ketidakadilan atau kesialan, maupun kelicikan dan kebodohan manusia, melainkan pengaruh buruk hukum perkembangan bisnis.
Para petinggi perusahaan koran tidak pernah merasa terancam oleh balas dendam yang dilakukan korban-korbannya. Mereka justru merasa terancam oleh kehancuran tak terhindarkan yang sudah disiapkan oleh sejarah, seperti kematian tokoh pers mereka. Pada akhirnya mereka hanya menjadi komponen-komponen kecil yang ditakdirkan untuk segera punah dari panggung peristiwa manusia.
Rupanya pandangan Andhika tidak sejalan denganku. Dia memilih bertahan. Menurutnya, ini bukan saatnya demokrasi. Ada kalanya bertindak, ada kalanya diam.
“Sudah lama aku berontak bila sesuatu itu tidak sesuai dengan hati nurani. Tapi sekarang tidak bisa,” kata Andhika.
Aku tahu di balik kata-katanya tersimpan maksud tersembunyi yang tidak ditangkap teman-teman. Dia orangnya pantang menyerah. Semua dijalani dengan sangat hati-hati. Keputusan yang diambil secara grusa-grusu justru akan mendatangkan petaka.
Kendati demikian aku tetap memilih cabut dari koran yang telah membesarkanku. Dan hanya aku sendiri yang paling tahu bagaimana dalam kehidupan batin pemisahan dan pembelahan ini kadang-kadang tak dapat dipertahankan, serang-menyerang, kalah mengalahkan, ejek mengejek, bergalau dengan keputusan riuh rendah.
Dan, dua-duanya harus menang.
Harus!
Yang satu bernama prinsip, yang lain bernama penghidupan.
Keputusan yang kuambil bukan semata-mata tanpa alasan. Melainkan aku sudah mencium aroma kebebasan di luar sana. Sebuah kebebasan yang tak kudapatkan selama tiga tahun bergabung dengan RAR.
Selama ini yang kualami, dari atas ke bawah yang ada hanyalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, dan hinaan. Dari bawah ke atas yang ada hanya penjilatan, kepatuhan, dan penghambaan.
Hal itu yang membuatku muak.
Aku sendiri tidak berusaha menyelamatkan diri, cuma ingin menghindar dari kepalsuan.
Menjadi manusia bebas adalah harapan semua orang. Bebas dari belenggu yang memasung pikiran serta jiwa. Semakin jauh aku terlepas dari belenggu, semakin bebas jiwaku. Semakin bebas sepak terjangku, semakin bebas pikiran manusia. Jadi lincah, produktif dan kreatif, serta mempunyai banyak inisiatif. Tidak lagi dibayang-bayangi ketakutan. Tentu saja kebebasanku ini tak melibatkan perusahaan. Kebebasanku mutlak milikku.
Aku ingat dengan pemberontakan suku Samin demi meraih kebebasannya. Mereka menolak membayar pajak, karena menganggap bumi adalah milik Tuhan. Menurutku perjuangan suku tersebut adalah akhir dari sebuah perkembangan. Suku Samin telah mengajarkan pada kita mengenai satu perpaduan antara kepercayaan yang mendekati agama dengan politik.
Sebelum manusia mengenal politik yang sekarang ini, agama itu ya politik sekaligus. Dan golongan Samin menganggap politik bagian dari kepercayaannya.
Seperti itu jugalah manusia dulu membangun kekuasaannya. Itu sebabnya aku menganggap mereka adalah golongan akhir dari perkembangan.
***
Tak lama setelah keluar dari RAR, kabar tak sedap berhembus. RAR jadi gelandangan. Sedih mendengarnya. Padahal koran RAR tergolong punya tim solid.
Sejak bergabung dengan RAR, kami punya motto tidak bekerja demi perusahaan melainkan demi umat.
Kami ingin menjadi manusia beradab, bukan manusia mata duitan. Sebab manusia beradab adalah mereka yang tahu membalas budi. Kalau dibilang idealis, kami melangkah jauh ke depan.
Ketika mendengar RAR diusir dari perusahaan koran terbesar di Jawa Timur itu, hal pertama yang kupikirkan bagaimana nasib teman-teman. Bagaimana nasib keluarga mereka? Bagaimana sepak terjang RAR selanjutnya? Dapatkah mereka bertahan di tengah-tengah persaingan media yang ketat? Sampai sejauh mana kekuatan RAR? Sampai sejauh mana daya tahan teman-teman? Adil atau tidak. Inilah kenyataannya.
Ah, betapa sederhananya hidup ini jika kita mau menghirupnya lebar-lebar. Yang pelik cuma liku-liku dan tafsirannya.
Jutaan semut mati setiap hari terinjak kaki manusia. Jutaan serangga mati setiap detik karena diberantas manusia. Bahkan miliaran nyamuk-nyamuk mati tergencet tangan-tangan manusia. Toh, mereka tidak pernah komplain.
Mereka punah. Tapi kemudian berbiak kembali.
Demikian juga manusia. Mengapa harus bingung. Bukankah kita dapat berkembang lagi.
Tujuan manusia jatuh adalah untuk bangkit. [bersambung]