Titik Nadhir #27

Piket Nol

Oleh: Jendra Wiswara

Di Jember aku tidak menginap. Sekiranya perjalanan kuteruskan ke Blitar. Sebelumnya aku sudah menghubungi temanku Kuncoro. Rencananya mau mampir. Namun aku harus melewati rute yang tak mengenal kata usai. Melewati Lumajang hari mulai malam. Jalanan sepi dan sempit. Yang kutemui hanya tebing jurang dan ladang-ladang penduduk. Rata-rata ladang penduduk ditanami salak.

Biasanya di sore atau pagi, rute ini sering dilewati truk-truk pengangkut pasir. Pengendara motor harus berhati-hati. Tidak boleh asal menyalip, sebab jalanan yang sempit. Apalagi jika ada pengendara mobil berlawanan bertemu, pengendara harus mengurangi kecepatan.

Piket Nol, rute ini seperti sebuah lingkaran dalam jari manis. Treknya berbelok-belok, turunan tajam dan curam, serta tanjakan terjal. Jalanan aspal juga tidak adalam kondisi baik. Kadang bertemu dengan jalanan rusak dan berpasir.

Jika musim hujan tiba, jalanan Piket Nol rawan longsor. Sesekali kutemui kabut tebal yang sangat menganggu pandangan kemudian berangsur-angsur hilang.

Di waktu malam, jalanan Piket Nol lebih mirip hutan belantara. Di mana-mana cuma terbentang kesunyian dan kewaspadaan. Penerangan jalan pun tidak ada. Pokoknya menyerupai hutan. Anginnya sangat dingin dan langit kelam di atas mencerminkan keadaan pikiranku, mungkin karena dekat kawasan gunung Semeru.

Sewaktu melintasi ladang aku memang bisa melihat puncak Semeru yang setiap lima belas menit menyemburkan kepulan cendawa (awan hitam). Untuk kesekian kalinya aku dihadapkan pada masalah ketakutan akan ban meletus. Kali ini aku tidak bersama Yoga. Seorang diri. Ban meletus. Alangkah sialnya nasibku jika sampai itu terjadi.

Yang menyebalkan belokan Piket Nol begitu terjalnya sampai-sampai aku kesulitan melewati kendaraan di depanku. Jika kupaksa bisa-bisa aku berantakan dihantam kendaraan dari depan. Dengan sabar dan hati-hati kuikuti kemauan Piket Nol. Setelah bertemu dengan jalan lurus, barulah kuberani menyalip, begitu dan seterusnya.

Yang tak habis pikir, sewaktu melewati jalan tersebut, aku kembali melihat tulisan di tengah jalan berbunyi: Hati-hati keluarga menunggu di rumah. Brengsek, ternyata penulisnya tak jera dengan omelanku di Alas Baluran.

Penulis spanduk bisanya cuma menakut-nakuti orang. Apakah kau tidak punya pekerjaan lain sampai-sampai harus berkampanye soal-soal demikian. Mungkinkah kau seorang penyendiri yang tidak punya sanak keluarga, dan dibaluti rasa iri dan dengki terhadap sesamanya. Melihat spanduk di Piket Nol semangatku jadi luntur. Aku semakin tidak ngeh melewatinya.

Hari semakin malam. Pukul 9 aku masih di rute Piket Nol. Seolah-olah aku tidak diharapkan keluar dari rute tersebut. Mungkin karena aku yang terlalu lamban memacu motor. Sehingga rutenya seperti panjang dan lama.

Jujur, aku sudah tidak kuat meneruskan perjalanan. Mungkin sudah waktunya untuk berhenti. Bedanya, kalau di Jawa aku bisa memilih masjid atau mushala sesukaku. Tidak seperti di Bali yang harus menunggu lama hingga bertemu dengan masjid.

Aku sempat berhenti di wilayah Gema Gladak Perak. Tepatnya di jembatan Gladak Perak yang terkenal itu. Jembatan Gladak Perak terletak di perlintasan jalur selatan Kabupaten Lumajang-Malang. Jembatan dengan panjang sekitar 100 meter tersebut membentang di di atas permukaan Sungai Besuk Sat, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Jembatan Gladak Perak berada di lereng Gunung Semeru. Berjarak sekitar 34 kilometer dari Alun-Alun Lumajang.

Saat itu di sekitar jembatan kondisinya sepi. Tak seorang pun terlihat lalu lalang. Sama sekali tidak ada penerangan. Mungkin beda dengan kondisi sekarang, di mana sudah banyak berdiri warung-warung penduduk.

Beruntung saat berhenti, kondisi malam diterangi oleh bulan yang berpendar. Sehingga meski tidak ada penerangan, aku masih dapat melihat sisi lain dari jembatan tersebut.

Ya, jembatan Gladak Perak terdiri dari dua jembatan. Satu jembatan dibangun saat penjajahan Belanda tahun 1925. Katanya, salah seorang insinyur pribumi yang turut membangun jembatan itu adalah Ir Soekarno, Presiden RI pertama.

Satu lagi jembatan Gladak Perak yang baru dibangun pada tahun 1998. Jembatan kedua ini dibangun saat pemerintahan Presiden RI kedua, Soeharto. Jembatan inilah yang menghubungkan jalur Lumajang-Malang.

Kedua jembatan itu dibangun oleh tenaga manusia dengan medan tergila dan terjal. Jalannya membelah batu cadas raksasa yang keras, di mana posisinya berada di tepi jurang yang dalam. Entah bagaimana dulu orang-orang membangunnya.

Tapi aku lebih tertarik mengulas jembatan bekas peninggalan Belanda tersebut. Meski jembatan bekas peninggalan Belanda itu tidak difungsikan untuk lalu lintas alias statusnya berganti menjadi bangunan cagar budaya, namun masih sering dikunjungi orang-orang. Lebar jembatan Gladak Perak tak kurang dari empat meter. Di sisi jembatan hanya ada pengaman dari bambu.
Ada banyak versi mengenai asal nama Gladak Perak. Ada yang bilang, nama Gladak Perak diambil dari nama jembatan yang saat itu dicat berwarna perak. Sehingga ketika terkena sinar matahari nampak warnanya keperak-perakan.
Sementara versi lain lebih bersifat horror. Dahulu jembatan Gladak Perak dibangun dengan tumbal seorang gadis jelita penari ledek yang di pergelangan tangannya disematkan gelang perak sebagai penolak bala.
Kata penduduk setempat, ada banyak cerita sejarah kelam terkait jembatan Gladak Perak. Tepatnya pada jaman PKI. Konon, jembatan ini disebut-sebut sebagai tempat pembuangan mayat korban keganasan G30S/PKI. Mayat-mayat itu dilempar dari atas jembatan. Bahkan ada pula mayat yang digantung.
Cerita kelam lain yakni jaman Petrus (Penembak Misterius) tahun 80-an. Diceritakan bahwa korban Petrus dibuang di jembatan Gladak Perak. Bahkan katanya ada beberapa korban yang masih hidup dibuang ke dalam jurang yang sangat dalam itu.
Karena itu, masyarakat mempercayai jika jembatan Gladak Perak sangat angker. Aroma mistis pun berkembang. Beberapa pengendara yang melintas mengaku sering melihat penampakan orang. Ada pula yang mendengar suara aneh. Mulai suara orang menjerit dan meminta tolong. Hingga mengakibatkan pengendara mengalami kecelakaan di luar batas nalar manusia. Biasanya pengendara yang kemalaman melintas, akan disarankan untuk menunggu atau menginap di warung Piket Nol yang letaknya di ujung jembatan.
Dengan adanya cerita-cerita seram itu, bodohnya aku malah berhenti di tengah-tengah jembatan. Bukan berani atau menantang penghuni jembatan, karena memang aku tidak tahu sejarah jembatan itu. Aku baru dengar cerita tersebut setelah bertemu penduduk setempat bernama Masyhuri saat mampir di sebuah mushola untuk bermalam.
Beruntung saat berhenti di jembatan Gladak Perak, aku tidak mendapati suatu gangguan apapun. Memang sekilas aku dapat merasakan bulu kudu berdiri. Itu saat aku menyalakan rokok. Kulihat di sekelilingku tidak ada seorang pun. Namun perasaanku seperti ada orang yang sedang mengawasi. Tapi aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Yang ada dalam pikiranku saat itu mencari tempat untuk bermalam. Dan untuk sementara aku harus berhenti di jembatan itu untuk melepas lelah barang sesaat.

***

Dari jembatan Gladak Perak, aku kembali memacu motor. Kali ini tujuanku masjid atau setidaknya mushola untuk tempat bermalam. Tidak sulit mencari mushola di situ. Dari kejauhan aku melihat sebuah kubah kecil. Semakin kudekati, ternyata itu sebuah mushola. Lokasi mushola agak jauh dari permukiman penduduk. Aku harus berhenti. Rasa kantuk sudah tidak dapat ditahan.

Motor segera kuparkir di depan mushola. Dalam dalam keluar seorang laki-laki tua. Ia mengenalkan namanya. Masyhuri. Aku pun mengenalkan nama.

Kepadanya kuceritakan bahwa aku kemalaman di jalan. Aku meminta ijin untuk menginap di mushola. Masyhuri menginjinkan.

“Malam-malam begini, Nak Al dari mana?” Tanyanya dengan logat campuran Jawa-Madura.

“Saya baru tiba dari Bali, Pak!”

“Wah, jauh juga. Memangnya mau ke mana?”

“Saya tidak tahu, Pak. Saya cuma ingin jalan keliling.”

“Begitu ya.”

“Apa Nak Al sudah makan?”

“Sudah di alun-alun Lumajang.”

“Kopi?” Ia bertanya lagi. Mushola itu jadi seperti warung, pikirku.

“Kalau tidak merepotkan Pak Masyhuri.”

Lelaki setengah baya itu pergi dan kembali lagi membawa dua cangkir kopi dan gorengan. Tak lupa dia membawa bantal dan selimut.

“Kita ngopi dulu. Ini ada bantal dan selimut. Maaf tidak bisa mengajak Nak Al ke rumah. Soalnya rumahnya kecil. Nggak ada tempat untuk tidur. Jadi di mushola lebih luas.”

“Terima kasih, Pak. Maaf kalau merepotkan.”

“Ah, tidak masalah. Setiap orang harus berbuat baik pada sesamanya.”

Masyhuri tidak curiga sama sekali denganku. Padahal baru beberapa menit kami berkenalan. Bahkan dengan ramah dia menjamuku.

“Kenapa bapak begitu baik sama saya. Padahal saya orang lain. Apakah bapak tidak curiga dengan saya.”

Dia hanya tersenyum saja.

“Apa untungnya curiga sama orang. Sebagaimana manusia ciptaan Tuhan, kita tidak boleh suudzon, apalagi antar sesama Muslim. Terlepas apakah mereka mau berbuat buruk, itu terserah mereka.”

Mendengar ucapan Masyhuri aku langsung tahu bahwa laki-laki yang duduk di hadapanku seorang berilmu.

“Di sini kalau malam jarang orang lewat. Apalagi yang menempuh perjalanan jauh. Soalnya wilayahnya sepi. Saya juga heran bagaimana Nak Al bisa sampai di sini malam.”

“Saya juga tidak tahu, Pak. Tadi saya sempat berhenti di jembatan Gladak Perak. Memang sepi.”

“Wah, apa benar itu. Padahal jalan di sana rawan.”

“Rawan bagaimana, Pak?” Tanyaku.

Lantas Masyhuri menceritakan soal jembatan Gladak Perak seperti yang tadi kuceritakan.

“Tapi semua tergantung manusianya, Nak. Kadang orang takut juga karena perasaan dia sendiri. Saya melihat Nak Al tampaknya biasa-biasa saja. Tidak takut dengan hal-hal menyeramkan di jembatan Gladak Perak.”

“Saya justru takutnya kalau ban motor bocor, Pak.”

Kami pun tertawa bersama.

“Nak Al asli mana?” Dia bertanya padaku.

“Saya Surabaya, Pak.”

“Kok bisa sampai Bali?”

“Ceritanya panjang, Pak.”

“Kita ada waktu banyak. Mala mini saya bersyukur ada yang menemani. Biasanya saya sendirian di sini. Nah, ada kopi dan gorengan menemani kita. Saya bisa mendengarkan cerita Nak Al semalam suntuk.”

Aku lantas menceritakan tujuanku dari awal hingga berakhir di Piket Nol. Tentunya aku tidak menceritakan soal urusan pribadiku. Kulihat lelaki itu mendengarkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

“Berarti sekarang tujuan Nak Al berkeliling tidak jelas!” Seru Masyhuri.

“Begitulah, Pak.”

Kali ini kami mulai terlibat obrolan serius. Banyak pelajaran baru yang kemudian kudapat dari Masyhuri.

“Kenapa tujuan Nak Al berkeliling tidak diubah saja?”

“Diubah bagaimana, Pak?”

“Daripada tidak jelas, lebih baik dibuat jelas sekalian.”

“Saya tidak paham dibuat jelas seperti apa!”

“Bahwa tujuan Nak Al berkeliling dilandasi karena Allah.”

Mendengar itu, aku langsung terdiam.

“Kenapa harus Allah?” Tanyaku.

“Kenapa tidak. Kita hidup di alam dimana selalu dilingkupi kekuatan yang maha gaib (batin) dan maha dhohir (nyata). Dia-lah Yang Maha Nyata dan Maha Tersembunyi. Semua manusia membutuhkan ridhoNya. Jika hanya golongan muhsin yang boleh mengharap kepadaNya, lalu kepada siapa pendosa-pendosa seperti kita ini berlindung dan melarikan diri. Sekarang ini ubanku, ubanmu kian membuat jelek di hari penghabisan dan mendekati perjumpaan denganNya, kalau tujuan kita tidak pada Dia, lantas kita mau ikut siapa.”

Aku menutup kedua mataku mengenangkan kata-kata lelaki paruh baya itu. Tidak disangka ucapan dia membuatku harus berpikir keras. Aku semakin yakin bahwa Masyhuri bukan orang biasa. Setidaknya dia memiliki ilmu agama yang tinggi.

“Bagaimana manusia mengetahui tujuannya menghadap ke Dia, padahal kita tidak mengetahuinya?” Aku memberanikan bertanya.

“Sebaik-baik urusan adalah tengah-tengah. Tengah-tengah (awsath) adalah keseimbangan yang hakiki di mana terletak keadaan yang tidak terbatas. Pada suatu ruang dan keadaan yang terbatas, tidak mungkin ditemukan tengah-tengah. Pada titik tengah itu pasti ada titik tengah yang kecil, lalu pada titik kecil itu ada lagi titik tengah yang lebih kecil, taruhlah sebesar atom. Lalu mungkinkah dapat ditemukan titik pada atom yang tidak bisa dibagi lagi ini? Di tengah-tengah ini berupa pancaran cahaya Tuhan. Jadi dunia, akhirat, jagat dan isinya adalah bayang-bayang dari Tuhan.”

“Apa yang membuat manusia menjadi manusia?” Tanyaku lagi.

“Manusia menjadi manusia karena berasal dari manusia. Mengakui kenyataan bahwa orangtua merupakan perantara lahirnya manusia. Jika kau mau mengetahui Tuhanmu, orang tuamulah Tuhan kecil. Bila diurutkan kejadian manusia begini: dari ibu melahirkan empat perkara, yakni lemak, darah, rambut, dan daging. Sedang dari ayah melahirkan empat perkara pula, antara lain kulit, asob, urat, serta tulang. Sementara kejadian daripada Allah melahirkan enam perkara dalam diri manusia, yaitu pendengaran, pengelihatan, penciuman, perasa, akal, dan ruh. Dari ruhlah manusia berasal. Sebelum ruh ditiupkan pada manusia, keadaannya adalah adam alias kosong atau tiada. Dari ketiadaan inilah awal atau asal manusia diciptakan, yakni tanah, air, angin, dan api.”

“Bagaimana cara mengenal Tuhan?”

“Setidaknya dengan mengenal pekerjaanNya (af’al), maka kau dapat melihatNya. Namun demikian, ilmu hanya dapat dituntut oleh siapapun yang berminat. Dalam pengertian ini, yang penting kita ini adalah “hanya setetes embun berbanding dengan lautan yang tak terbatas”, apabila kita membandingkan diri dengan Allah.”

“Saat saya berdiri di atas kapal; mengagumi keindahan laut beserta isi-isi yang terkandung di dalamnya, berkali-kali melihat matahari terbit dari timur dan tenggelam ke barat, menerawang menembus batas cakrawala, apakah itu juga bagian dari berlomba-lomba mencari ridhoNya?”

“Nak Al, tujuan manusia itu sama. Caranya saja yang berbeda. Kau jadi jurnalis, lain orang jadi pejabat. Kau dengan caramu sendiri, orang lain dengan caranya sendiri. Sama-sama menjalani kodrat. Namun tidak sedikit yang menyerah ketika perjalanan spiritualnya sudah mencapai puncak. Karena itu setiap manusia memiliki penentangan diri terhadap segala syahwat yang merupakan bentuk pemisahan bahkan pengesaan,” terangnya.

Penjelasan Masyhuri semakin tinggi. Aku harus berpikir keras untuk memahami. Kadang pemahaman itu lepas begitu saja. Semakin aku mengerti, semakin aku tidak paham. Perjalanan spiritual manusia memang tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan tambahan kesungguhan. Entah apakah aku sudah bersungguh-sungguh.

Malam semakin larut. Masyhuri kelihatannya sudah mengetahui kepayahanku. Dia pun undur diri. Aku dipersilahkan untuk istirahat.

“Nak Al, saya tinggal dulu ya. Monggo kalau mau ngaso.”

“Iya, Pak. Terima kasih sudah berbagi ilmunya.”

“Sama-sama.”

Baru saja Masyhuri melangkah pergi, tak jauh dari mushola seorang pengendara motor melintas. Dia menyapa lelaki itu.

“Assalamualaikum Kyai.”

“Waalaikumsalam.”

Dari sini aku baru tahu jika lelaki tadi adalah seorang kyai. Pantas setiap kata maupun ucapannya sangat mendalam. Bagaimana pun aku tetap berterima kasih atas ilmunya yang mungkin mengubah tujuanku berkeliling. Terima kasih Kyai Masyhuri. [bersambung]

titik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar