Titik Nadhir #28

Musisi Penggembala

Oleh: Jendra Wiswara

Saat Subuh, aku sholat berjamaah dengan Kyai Masyhuri. Hanya berdua saja. Aku dan dia. Namun demikian, aku bisa merasakan kekhusyukan. Betapa Kyai Masyhuri sangat fasih dalam membaca surat-surat Alquran.

Selepas Subuh, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku pamit padanya. Kucium tangannya.

“Saya pamit, Kyai. Mau melanjutkan perjalanan,” kataku. Kyai Masyhuri tersenyum mendengar aku memanggilnya kyai.

“Hati-hati di jalan ya Nak Al. Semoga Allah meridhoimu.”

“Amin.”

Motor segera kupacu meninggalkan Piket Nol. Jalanan masih sepi. Mungkin karena terlalu pagi. Tidak lama akhirnya aku keluar dari Lumajang. Dan kini masuk ke Damit. Lega rasanya. Tujuanku berikutnya Blitar.

Cuma aku tidak yakin apakah motorku sanggup mengikuti daya tahan pemiliknya. Selama ini motor sudah kupacu ke mana-mana. Sudah kubawa melintasi Gunung Bromo, Penanggungan, Welirang, Kawi, hingga daerah-daerah terpencil di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Semua itu kulakukan demi sebuah berita. Sempat pula dia ngambek alias turun mesin. Setelah diperbaiki, dia kubawa lagi ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi. Jauh. Berkilo-kilometer. Dan alhamdulillah, hingga kini motor kesayanganku tetap setia menemani. Semoga dia tidak rewel di tengah perjalanan, doaku.

Saat itu Kayla SMS. Dia meneruskan pesan ayahnya. Katanya, perjalanan gilaku sebagai perjalanan manusia bodoh. Katanya, seandainya balung-balungmu (tulang) terbuat dari mesin barangkali akan jebol, rusak, dan berantakan.

Dalam hal kekuatan, mesin memang lebih unggul dari manusia. Ya, untuk sesaat. Namun soal daya tahan dan semangat tetap milik manusia. Aku rasa ada benarnya kata-kata ayah Kayla. Di dalam diri manusia terdapat banyak sekali hal-hal yang belum diketahui manusia itu sendiri. Memahami asal usul manusia seperti menghitung miliaran debu di samudera.

Bila aku ditanya sebelum langit dan bumi diciptakan, kira-kira bahan-bahannya terbuat dari apa saja? Jawabanku: Allah. Sementara Allah sendiri tak bisa direka-reka atau dibayangkan.

Semakin banyak pertanyaan yang muncul makin menimbulkan keragu-raguan dalam diri.

Karena itu, manusia diciptakan bukan untuk gagah-gagahan, bukan pula sebuah eksperimen. Tapi lihatlah siapa yang menciptakan.

***

Tidak terasa aku sudah tiba di Karang Kates. Jalanan di sini lebih menyebalkan dari lainnya. Aku harus naik tanjakan lalu menuruni perbukitan, naik lagi dan turun lagi dengan melintasi belokan tajam. Sangat mengiris-iris adrenalin. Belum lagi aku harus berjuang menembus hutan belantara yang di kanan kiri cuma terdapat jurang dan lembah. Menyeramkan.

Beruntung aku tiba Karang Kates tidak malam hari. Sehingga aku bisa menikmati pemandangan alamnya. Hanya saja yang kusesalkan saat menemui jalan yang rusak. Ketakutanku kembali memuncak. Apalagi kalau bukan ban bocor. Konyol jika terdampar di tengah hutan.

Selama satu jam aku berjalan merambat. Maklum jalanan naik turun. Akhirnya aku berhasil keluar dari Karang Kates. Motor kembali kupacu sekencang-kencangnya. Hingga tiba di Sumber Pucung, Malang.

Di sebuah pasar, aku berhenti di sebuah warung kopi sembari merenungkan peristiwa-peristiwa yang baru saja kulalui. Coba ada Yoga, pasti ketakutanku tak begini parahnya. Tanganku sampai gemetar karena terlalu berada di atas stang motor. Setidaknya jika ada Yoga dapat menghilangkan kejenuhan.

Perjalanan kemudian berlanjut. Satu jam memacu motor, akhirnya sampailah di rumah Kuncoro. Setiba di jalan raya kulihat seorang lelaki berdiri di pinggir jalan. Dari sosoknya kukenal. Dialah Kuncoro. Perawakannya biasa-biasa saja. Wajahnya tergerus oleh kesedihan. Hidungnya mancung seperti tokoh Petruk dalam pewayangan.

Hanya saja gayanya tidak seperti ketika kami bertemu di Surabaya. Rambutnya tak lagi disemir. Warna-warna karat yang dulu menghiasi rambutnya hilang. Model rambutnya tak lagi menjulang ke langit, malah terdorong ke depan. Kesan ndeso itulah yang melekat pada diri Kun, sapaannya.

“Hai Kun!” Sapaku.

“Al,” sapanya balik.

Kun lalu motornya melaju meninggalkan jalan raya, memasuki pedesaan dan aku mengikuti dari belakang. Sesampai di rumah Kun, kulihat sebuah bangunan rumah jaman peninggalan kolonial. Pintu, jendela hingga atap rumah, semuanya kuno.

Di rumah sebesar ini Kun tinggal sendiri. Sudah setahun dia meninggalkan perantauannya di Surabaya dan kembali ke kampung halaman. Tanpa kabar berita. Beberapa teman sempat kelabakan dengan kepergiannya. Terlebih grup band yang digawanginya.

Ya, Kun sudah lama menggeluti musik. Dia didaulat sebagai vokalis. Sewaktu bertemu dulu, dandanannya terbilang cukup modern dan mengikuti tren anak muda masa kini. Sepintas aku pernah menyangka Kun vokalis Pilot Band. Sebab mirip sekali. Ia dan bandnya sering diundang manggung di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Namun belakangan ia meninggalkan dunia gemerlapnya untuk menjadi penggembala kambing dan petani. Itu pun mengikuti amanah terakhir ibunya.

Kini, ia cuma manusia biasa tanpa kemasyhuran, manusia sederhana yang jauh dari mana-mana, manusia tanpa apa-apa dan siapa-siapa selain kambing peliharaannya. Tinggal di desa sendiri dan menunggu jodoh menghampiri.

Di rumahnya, aku dijamu buah-buahan yang menari-nari di meja ruang tamu. Kata Kun buah-buahan tersebut baru dipetik dari kebun. Kumakan dan kusisakan sedikit agar tidak terkesan rakus.

Setelah perjalanan melelahkan aku pamit pada Kun untuk beristirahat. Sorenya aku bangun dengan malas dari balik sprei gara-gara keenakan tidur lelap. Kucari Kun tapi yang kudapat malah segerombolan cempe, anak-anak kambing yang menyapa dengan perut keroncongan minta disuapi.

Melihat aku memakan buah duku, para cempe itu saling berebut. Mengemis dan mengiba-iba. Kusodori kulit buah dan dengan lahap mereka telan. Kupetik dedaunan habis pula dilahap. Masih belum puas juga, mereka dengan kaki-kaki mungilnya berusaha menendang-nendang. Nyaris buah zakarku kena sepaknya.

Dasar wedhus, teriakku yang kemudian didengar Kun dari belakang kebun.

Saat kudatangi Kun, kelima cempe itu masih juga mengekoriku. Satunya mengembik dengan mengendus-endus pantatku, satu lagi menggerayangi penisku, lainnya berdemo di depanku dengan menutup langkahku. Mereka memang jinak tapi jinak-jinak rakus.

Di belakang kebun kulihat Kun sedang memberi makan kambing-kambingnya. Tiga meter dari kandang ada tempat duduk terbuat dari bambu. Kurasakan suasana pedesaan sangat kental. Sambil menunggu Kun, kubantu ia memberi makanan kambing-kambingnya.

Jadi ini pekerjaan mantan musisi, celetukku. Usai memberi makan aku diajak Kun memetik buah-buahan. Di sekeliling rumahnya terdapat banyak sekali pepohonan. Ada pohon durian tapi belum berbuah, pohon rambutan, pohon duku, dan banyak lagi.

Jika tak salah perhitunganku, luas tanahnya sekitar satu hektar. Cukup luas. Pantas Kun betah tinggal di kampung ketimbang kota.

Saat itu Kun bercerita mengenai alasan kepulangannya ke Blitar. Dalam keluarganya, Kun termasuk satu-satunya anak lelaki. Kakak-kakaknya yang perempuan sudah menikah. Harapan keluarga adalah melihat satu-satunya anak lanang menikah.

Ayah Kun sudah lama meninggal. Yang tersisa cuma ibu. Beberapa kali Kun dijodohkan selalu berakhir dengan kegagalan. Malahan permintaan sang ibu nyaris tak digubrisnya. Kehidupannya musisi telah membutakan mata hatinya. Kun sudah melupakan tujuan utamanya menjadi anak yang berbakti pada orangtua. Dan ketika sang ibu tiada, barulah ia sadar. Bahwa permintaan orangtua bukan sesuatu yang salah. Apalagi menyenangkan orang yang pernah melahirkannya. Namun demikian, pertobatan Kun sudah terlambat. Meski sesal yang didapat, Kun terus berusaha untuk mewujudkan keinginan terakhir orangtuanya, yakni meneruskan warisannya dan menikah.

Betapa besar harapan Kun agar keinginan orang tuanya terwujud. Dan aku, seorang yang juga memiliki kesamaan dengannya, hanya bisa berdoa semoga ia mendapatkan apa yang dicita-citakan orangtuanya.

Siang itu kami menikmati buah-buahan dengan lahap, tak terkecuali cempe-cempe rakus.

Malamnya, Kun mengajakku berpesta ayam bakar sebagai tanpa perayaan atas kebujangan kami. Hmm, ayam bakar, sudah lama aku tidak merasakannya. Boleh juga.

Hari senja meratapi dengan sedih dan tanpa perasaan dia meninggalkan kami hanya untuk berubah menjadi malam.

Sebelumnya kami sudah menyelesaikan kewajiban; sholat magrib. Kami bersiap-siap mengeluarkan arang dan tempat untuk bakaran. Seorang lelaki muda datang membawa potongan ayam. Masih segar, katanya, baru dipotong dari jagalan. Perlahan ayam kami mutilasi, disunduk-sunduk menjadi sate, dan siap dibakar.

Hidung mulai tak bersahabat. Bau sedap ayam bakar yang mendekati masaknya membuat perut kami berteriak-teriak. Tak lama ayam bakar itu akhirnya matang juga, kuning-coklat berlumuran kecap berlemak.

Dari lubang-lubang bekas tusukan-tusukan membubung kesedapan dan keharuman yang lebih murni daripada dupa-setanggi. Dan nasi putih yang masih mengepulkan asap itu membikin usus besarku berdansa-dansa, mungkin juga cacing dalam perut sedang menyumpah karena santapan sebentar lagi masuk perut.

Satu ekor ayam, yang dua jam sebelumnya masih berjalan, masih merapikan bulu-bulunya yang lusuh, masih mencemburui sebangsanya, kini hancur lumat dalam mulut kami dalam gelimang kecap dan air liur, untuk kemudian mengunjungi perut-perut kami yang kelaparan menahan kesedapan.

Dalam menikmati kelezatan makanan teringat aku kata-kata guru olahraga, bahwa kenikmatan manusia tidak melebihi lima belas sentimeter. Juga kelezatan ayam bakar ini. Begitu lumatan itu melewati tenggorokan, lenyaplah kelezatan itu entah kemana. Setelah kenyang menikmati santapan, aku lantas minta ijin masuk kamar dan tidur. Esoknya aku mesti melanjutkan perjalanan. Entah ke mana lagi. [bersambung]

titik nadhir