Titik Nadhir #30

Obrolan Malam Bersama Lik Man

Oleh: Jendra Wiswara

Sejak masih muda keluarga Lik Man bertani nanas di kaki gunung Kelud. Atau tepatnya keluarga istri Lik Man. Lik Man hanya meneruskan saja usaha mertuanya bercocok tanam nanas. Ya sejak menikah, mereka kebagian warisan tanah lumayan luas. Salah satu warisannya ya lahan nanas itu.

Gunung Kelud selain menjadi tempat wisata yang menyajikan keindahan panorama pegunungan yang indah dan sejuk, tentu di balik keindahannya itu terdapat potensi daerah yang sangat luar biasa.

Nah, di wilayah Ngancar ini potensi buah lokal seperti nanas madu sangat telah menjadi primadonaKarena ditanam di lereng gunung Kelud, namanya menjadi Nanas Madu Kelud. 

Hari itu aku diajak Lik Man menengok kebun nanas miliknya. Aku membantu apa yang disuruh Lik Man. Menurut Lik Man, Kecamatan Ngancar menjadi penghasil nanas terbesar di Kabupaten Kediri. Pasalnya hampir 75 persen wilayahnya ditanami buah nanas.

Bahkan untuk mengembangkan potensi tersebut, warga rutin menggelar festival nanas setiap tahun. Selain mengenalkan nanas sebagai produk unggulan, acara ini juga sebaggai bentuk rasa syukur warga lereng Kelud atas kesuburan tanah. 

Aku disuruh Lik Man merasakan buah nanas. Dan memang benar, nanas madu Kelud memiliki rasa manis, gurih dan sedikit asam dengan tekstur yang renyah.

Nanas ini memiliki ukuran lebih besar dari nanas lokal dan berat rata-rata bisa mencapai 2,5 kg per buah. 

Buah nanas madu ini tidak ada duri dan ketika dimakan tidak meninggalkan rasa gatal di lidah. Kadar airnya juga lebih banyak dari nanas lokal,” jelas Lik Man.

Biasanya saat panen, sudah ada yang mengambil nanas madu milik Lik Man. Selama ini harga jual nanas yang relatif bagus dan produksi yang baik, sehingga keuntungan yang didapatkan juga bisa optimal.

“Pokoknya sekali panen bisa tiga rit untuk grade A,” kata Lik Man.

“Apa nanas Lik Man masuk grade A. Terus harga jualnya berapa?” Tanyaku.

“Alhamdulillah, masuk grade A. Untuk satu rit biasanya berisi hingga 6.000 buah nanas. Satu buah dihargai hingga Rp6 ribu, sehingga jika ditotal pendapatan yang akan diterima petani juga bisa baik.

Lik Man tidak tahu nanas madu hasil panennya bakal dikirim kemana. Yang dia tahu saat panen sudah ada orang yang memborong.

Mungkin dibawa ke kota. Dijual di pasar-pasar modern. Atau bisa jadi dibawa ke luar kota seperti Madiun, Surabaya, Kediri, Mojokerto, Malang dan Jember. Atau bisa jadi sudah sampai di Jakarta, ujarnya.

Jujur, aku tidak tahu banyak soal bertani. Jadi apapun yang dijelaskan Lik Man, aku hanya mengiyakan saja. Namun ada hal yang membuat Lik Man khawatir bercocok tanam di lereng Kelud. Itu karena sewaktu-waktu gunung Kelud bisa meletus. Akibatnya bisa membuat seluruh tanaman gagal panen.

“Pernah sekali Kelud meletus. Tapi tidak besar. Hal itu membuat tanaman nanas rusak.”

“Rusak bagaimana Lik?”

“Ya, kondisi tanaman tertimbun abu vulkanis. Karena banyaknya abu itu menyebabkan nanas cepat matang. Matang sebelum waktunya,” ceritanya.

Jika aktivitas vulkanik Kelud naik, biasanya masyarakat sekitar, terutama petani, berbondong-bondong memajang sesajen berupa hasil bumi di depan pintu masuk pos pemantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan berharap mendapatkan keselamatan jika nanti gunung meletus. 

“Pokoknya warga yang petani serentak membawa hasil bumi dari ladang. Mereka menggantung durian, mangga, sirsak, pepaya, alpukat, dan nanas di palang pintu yang dipasang sebagai penghalang akses menuju puncak, tepat di depan pintu gerbang pos pemantauan di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Ini menjelaskan bahwa di atas Gunung Kelud sedang punya gawe, kami ingin membantu,” lanjut Lik Man.

Warga menganggap naiknya aktivitas vulkanik Kelud ini tak ubahnya seperti orang yang sedang punya hajat. Sesuai tradisi masyarakat desa, warga sekitar akan memberikan sumbangsih berupa tenaga dan bahan makanan. 

Tapi di waktu-waktu tertantu, warga juga menggelar prosesi larung sesaji gunung Kelud. Biasanya acara ritual itu digelar setiap tahun.

“Kalau Mas Al ke sini pas larung sesaji, bisa melihat iring-iringan warga desa menuju lereng Kelud. Ritual itu berlangsung sebagai wujud rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah. Warga di desa-desa lereng Kelud mengarak sesajian yang terdiri dari hasil bumi dan ternak,” ucapnya.

Meski dinamakan larung, kata Lik Man, sesaji itu tidak seperti menghanyutkan sesaji di laut. Setelah diarak, sesaji itu dikumpulkan beberapa kilometer sebelum kawah. Setelah menggelar doa bersama, sesaji kemudian diperebutkan warga.

“Yang diperebutkan warga khusus sesaji buah-buahan sajaKalau untuk tumpeng dimakan bersama-sama. Ritual ini sebenarnya tradisi turun temurun dari nenek moyang dan dilestarikan oleh warga,” ujarnya.

***

Setelah dari kebun nanas, Lik Man mengajak aku ke rumah tetangganya. Di situ motor kesayanganku dibongkar dari dicari penyebab kerusakannya. Menurut tetangga Lik Man, motorku rusak di bagian stang seher. Kata tetangga Lik Man, harga stang seher bisa sampai Rp 150 ribu. Itu belum ongkos montirnya. Perkiraanku bisa sampai Rp 200 ribu atau lebih.

Wah, alamat tidak bisa jalan lagi, pikirku. Sementara uangku hanya tinggal Rp 150 ribu. Itu pun sisa pemberian Astrid dari Rinjani.

Aku sempat tanya ke montir tetangga Lik Man, apa kerusakannya tidak bisa diperbaiki tanpa harus membeli yang baru. Dia bilang tidak bisa. Kalaupun bisa diperbaiki, tetap tidak akan bertahan lama.

Nampaknya Lik Man mengerti kebingunganku. Ia langsung merajuk ke pundakku.  “Mas Al tidak usah khawatir. Biar motornya istirahat dulu di sini. Nanti biar aku yang bayar,” katanya.

“Yang bener Lik!” Seruku.

“Iya bener.”

Lalu Lik Man berkata pada tetangganya untuk mengganti stang seher yang rusak. Ia yang nanti membayar termasuk ongkosnya.

“Ganti saja stang sehernya. Tapi jangan cepat-cepat. Lama juga tidak apa-apa. Biar Mas Al bisa di rumahku lama-lama,” jawab Lik Man pada tetangganya. Aku hanya bisa tersenyum.

“Beres kan. Tinggal menunggu saja,” pandangan Lik Man ditujukan padaku.

“Iya, Lik. Terima kasih.”

Karena hari sudah sore, Lik Man buru-buru mengajakku pulang. Seperti biasanya, di lereng Kelud setiap sore sering diguyur hujan. Dan memang benar, baru tiba di rumah, hujan deras turun dengan lebatnya.

Beruntung kami sudah sampai di rumah. Selepas Isya, Lik Man mengajakku duduk di ruang tamu. Tak lupa rokok tingwe kami sedot. Asap mengepul memenuhi ruangan. Sementara hujan di luar belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Udara malam pun kian dingin. Aku mengenakan baju rangkap tiga agar tidak kedinginan. Tapi Lik Man, mungkin terbiasa dengan cuaca pegunungan, ia hanya mengenakan satu kemeja tipis.

“Lik, apa sampeyan tidak kedinginan,” aku membuka obrolan.

“Ah, biasa Mas. Di sini memang hawanya begitu.”

“Mungkin sampeyan sudah terbiasa. Kalau aku belum terbiasa.”

“Lho Mas Al sudah terbiasa naik gunung. Masa dengan udara dingin tidak kuat,” Lik Man menyindirku.

“Iya sih Lik. Cuma meski aku sering naik gunung, justru udara dingin pegunungan itu yang membuatku paling tidak kuat. Kalau untuk naik turun gunung, Insya Allah masih kuat. Tapi tidak untuk udara dingin.”

“Bagaimana bisa tidak kuat udara dingin, sementara Mas Al mau bersusah payah naik gunung?”

“Aku memang suka gunung Lik. Begitu mau tidur di tenda, itu minta ampun dinginnya. Aku tak pernah bisa tidur lelap di dalam tenda.”

“Apa sudah bawa baju hangat?”

“Oh, kalau di gunung aku pakai baju rangkap lima, Lik. Celana rangkap tiga. Tetap saja kedinginan.”

“Ha…ha…ha…aneh ya, suka gunung tidak suka dingin,” Lik Man tertawa.

“Ya begitulah, Lik.”

Sejenak kami terdiam. Kemudian Lik Man membuka obrolan ringan tapi serius.

“Mas Al tujuan naik gunung untuk mencari apa?” Tanyanya.

“Mungkin suka saja Lik. Kalau bisa sampai puncak rasanya haru, bahagia, senang, pokoknya campur aduk. Di atas aku bisa melihat seluruh pemandangan di bawah. Sangat indah.”

“Berarti kamu sekedar ingin menyenangkan jasadmu,” jawab Lik Man.

Aku langsung diam mendengar jawaban Lik Man soal jasad. Kata-katanya mengandung arti mendalam. Dalam istilah jurnalistik, istilah jasad biasanya untuk menyebut orang mati. Tapi untuk kali ini, Lik Man menyebut kata jasad untuk yang masih hidup.

Memang benar semua manusia ingin menyenangkan jasadnya. Makan dan minum juga bagian dari menyenangkan jasad. Yang jelas di balik kata-kata Lik Man aku yakin masih ada kata-kata lanjutannya.

“Ya begitulah Lik. Semua orang pasti ingin menyenangkan jasadnya masing-masing,” balasku.

“Tapi sayang juga kalau semua digunakan untuk menyenangkan jasad sementara ruh tidak pernah disenangkan,” sahut Lik Man.

“Apa yang Lik ketahui soal jasad dan ruh?” Tanyaku penasaran.

“Bukannya jasad nanti akan jadi bangkai. Bahwa orang mati itu sebenarnya tidak ada. Yang ada kembali ke Allah. Jika suatu saat jasad rusak atau bahasa manusia mati, ruh akan kembali ke habitatnya. Dia akan abadi. Kembali ke Tuhannya. Demikian yang sering disampaikan para ulama.” 

Menurut Lik Man, manusia sejak Nabi Adam sudah dilahirkan dengan punya ruh. Ruh itu abadi. Ketika ruh diletakkan di jasad, ruh kemudian mengikuti jasad. Akhirnya dia tersiksa.

“Jadi ruh selama ini tersiksa!” Seruku. 

Ruh akan bebas dari ketersiksaannya saat jasad rusak atau mati. Sebab dia sudah lama mengalami keterpisahan dari Tuhannya akibat mengikuti fisik. Selama di alam jasad, ruh mengalami ketersiksaan luar biasa. Ruh menjadi budak fisik. Padahal ruh tidak butuh makan, tidak butuh minum, tidak butuh tidur, tidak butuh cinta, tidak butuh cerai, tidak butuh duit, tidak butuh urusan duniawi. Tapi gara-gara ikut jasad, ruh jadi tersiksa. Andai ruh bisa bicara, ruh akan bilang: pusing.

Lik Man lantas menceritakan kisah Jalaluddin Rumi, dimana di kitab-kitabnya disebutkan, saat Jalaluddin Rumi mau meninggal dan ditangisi murid-muridnya, dia berkata kalian jangan menangisi saya. Saya ini mau pesta perkawinan. Kalian tidak merasakan penyesalan saya karena harus hidup bersama jasad. Saya tersiksa karena mengalami alam yang rusak dan panas. Harusnya alam saya di alam abadi. Bukan di dunia. Jangan tangisi kematian saya. Kematian saya kembalinya ruh ke habitatnya. Semenjak itu kematian dianggap pesta perkawinan karena ruh ‘kembali’. 

“Kisah Jalaluddin Rumi sama dengan Bilal. Saat Bilal mau mati ditangisi murid-muridnya. Bilal bilang kematian membuatnya senang karena akan ketemu dengan kekasihnya. Saat ruh ditiupkan Tuhan ke manusia, kemudian ruh ikut alam fisik atau alam jasad, ruh mengalami apa yang sekarang ini kita alami. Dia tersiksa. Ketika ruh sudah terpisah dari jasad yang memenjara, dia senang kembali ke Tuhan.

Berarti jasad tidak penting?” Tanyaku lagi. 

Inti dari ilmu hakekat adalah tunduk pada kehendak Tuhan. Kalau kehendak Tuhan ruh kita harus tunduk pada jasad, maka ruh tidak boleh mengingkari jasad. Karena ruh dan jasad sama-sama kehendak Tuhan. Manusia punya ruh, manusia punya jasad karena kehendak Allah. Apapun kekurangannya, apapun ironisnya, harus diterima. Keadaan ini harus diterima sebagai keadaan manusia.

Lik Man mencontoh paling gampang adalah pohon pisang. Orang makan pisang kulitnya tetap dibuang. Andaikan dari awal pisang tanpa kulit tetap tidak bisa menjadi pisang. Meskipun kalau dimakan pasti dibuang. Karena itu tidak bisa membayangkan bagaimana pisang dari awal tanpa kulit. Entah jadinya kekeringan atau busuk. Pokoknya tidak jadi pisang. 

Jadi apakah pentingnya hidup, Lik Man menanyakan hal itu padakuKatanya, hidup sangat penting. Sehingga banyak yang berusah payah berobat ketika sakit hingga menghabiskan uang berjuta-juta. Padahal untuk berobat juga tidak ada jaminan hidup. Atau jangan-jangan penting mati ketimbang hidup.

Memang betapa tidak ada artinya semua fisik ini. Nah, kalau fisik tidak ada artinya kemudian yang ada adalah perjalanan ruh. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Itulah yang sering dijelaskan para ulama kita.”

Tak kusangka Lik Man mampu membeberkan soal jasad dan ruh sedemikian luar biasanya. Aku baru paham meski tidak sepenuhnya paham. Bahwa saat manusia mengamati secara hakekat, teori hidup itu benar, dan teori mati tetap benar. Bahwa hidup itu tidak artinya. Sebab bukti jasad tidak penting ketika ruh melakukan perjalanan kembali. Lalu ruh kemana? Ruh akan kembali ke alamnya untuk bersaksi atas eksistensi Tuhannya.

Aku jadi berandai-andai, seandainya pemahaman ruh seperti penjelasan Lik Man atau ulama-ulama di negeri ini didengar para penguasa, bahwa dunia yang mereka kuasai sebenarnya tidak abadi, apakah mungkin masih ada kerakusan jasad? Sebab ruh tidak butuh materi, ruh tidak butuh kekuasaan, ruh tidak butuh tipu daya, ruh tidak butuh fitnah, dan ruh tidak butuh semua kerakusan jasad. Aku yakin negeri ini atau negeri dimana pun itu, akan aman, tentram dan damai. [bersambung]

titik nadhir