Titik Nadhir #8

Kota Lampu

Oleh: Jendra Wiswara

Perjalanan berikutnya giliran aku yang memegang setir. Yoga duduk di jok belakang, sesekali ia menceramahiku agar tidak ngebut. 

“Pelan-pelan aja!” Wanti-wantinya.

Rupanya dia sedikit khawatir motornya kubikin leset. Padahal kalau dibilang siapa paling mahir mengendarai motor jelas aku orangnya, bila kau melihat cara mengendarai Yoga yang sungguh mengerikan. 

Tapi aku maklum mengingat motor dia baru lunas kreditan, tepat sebelum kami berangkat ke Bali.

Ah Yoga, di mana-mana selalu menunjukkan kekhawatiran. 

Kami sempat mampir di SPBU. Setelah mengisi bensin full perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini memasuki kawasan Probolinggo. Masih kawasan santri. Bedanya di sini banyak dihuni kaum abangan.

Selama pegang setir aku terus membayangkan perjalanan panjang yang melelahkan. Untuk itu aku sudah menyiapkan perbekalan secukupnya. Satu ransel kecil kuletakkan di depan badan sebagai pelindung. Isinya cuma tiga pakaian, satu celana panjang dan pendek, dompet, handphone dan cemilan sekiranya kami kelaparan di jalan. Sedang semua barang bawaan sudah kami paketkan dari Surabaya. 

Yoga sendiri malah terlihat asal-asalan. Ransel kecil yang dibawanya cuma berisi buku-buku tebal; buku pemberian, buku nyolong alias pinjam tidak dikembalikan, buku hasil beli sendiri, atau buku temuan.

Perjalanan melintasi Probolinggo cukup memakan hati. Bagaimana tidak, selama perjalanan kami lebih banyak diam ketimbang bersuara. Belum lagi kawanan binatang kecil yang berhamburan di tengah jalan benar-benar membuat pandanganku kabur. 

Ketika aku harus membuka penutup helm agar dapat melihat jalanan, tiba-tiba kawanan hewan liar menyerang pengelihatanku. Beberapa kali mataku kemasukan hewan brengsek tersebut, beberapa kali pula kami harus berhenti dan Yoga bertugas meniupnya dari kelopak mataku.

Memasuki PLTU Paiton hati kami sedikit terhibur dengan pemandangan ratusan lampu bertengger di bangunan-bangunan yang terbuat dari besi dan beton. Selain itu bangunannya memiliki tebing-tebing lumayan terjal sehingga membuat mata terbelalak. 

Suasana perjalanan yang semula membisu buru-buru sirna seiring gemerlap lampu Paiton yang menakjubkan. Rasa kantuk mulai menjauhi kami. Bahkan Yoga sempat memintaku agar diijinkan mengendarai motor, seandainya aku capek atau lelah.

Ah, itu kan alasan Yoga agar dia juga bisa melihat pemandangan lampu Paiton. Tawaran temanku duduk di depan kemudi kutolak. Sebaliknya bagai melihat artis idola lewat di depan mata, aku terpesona menikmati kemegahan Paiton. 

Kiranya kami sudah mencapai sepertiga perjalanan, apabila dimulai dari Surabaya, atau tiga perempatnya apabila bertolak dari Denpasar.

PLTU Paiton benar-benar megah dan terletak antara Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Dia sendiri terletak di tepi Utara Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Selat Madura di utara, Kecamatan Pajarakan di sebelah barat, serta Kabupaten Situbondo di sisi Timur.

PLTU Paiton terkenal akan kompleks pembangkit listriknya. Di sini terletak kompleks pembangkit listrik, tepatnya di desa Binor.

Melewati ‘kota lampu’ seketika perasaan kami saling berkumandang. Terus terang gemerlap lampu Paiton tak sekedar menyajikan pemandangan yang menarik untuk dilongok, tapi juga rasa penasaran terhadap siapa yang membangun Paiton. Sekilas kami menaruh bangga terhadap profesor-profesor, ilmuwan-ilmuwan, teknolog-teknolog, peneliti-peneliti yang membangun Paiton. Betapa hebat bangsaku dapat membangun pembangkit listrik sehebat ini, di mana jika diuraikan satu persatu pasti akan njelimet. 

Lalu mendadak sebuah angan-angan membuncah: bagaimana seandainya Paiton diledakkan. Dapat dipastikan listrik Jawa-Bali akan padam. Seperti dikatakan orang-orang cerdas bahwa selama ini Paiton adalah pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Dia telah memberi penerangan listrik seJawa-Bali. Seandainya ada orang yang ingin mengusili Indonesia maka cukup dengan meledakkan Paiton. 

Sayang, belakangan kehebatan nama Paiton sempat menjadi buah bibir. Bukan karena Paiton sedang berbenah atau rusak akibat dibom, melainkan di sekitarnya telah terjadi sebuah peristiwa kecelakaan maha dahsyat.

Sebanyak 54 nyawa melayang. Tubuh-tubuh mereka hangus terbakar. Setidaknya peristiwa

Paiton ini mengajarkan kepada kita betapa murahnya harga sebuah keselamatan. Sekali lagi kita ditunjukkan betapa bobroknya sistem layanan transportasi publik di negeri ini.

Apakah peristiwa Paiton yang memakan korban anak bangsa sendiri bisa membuat pihak-pihak yang berwenang peduli soal keselamatan? Apakah peristiwa ini bisa mengetuk mereka yang punya kuasa untuk memperbaiki sistem layanan publik di negeri ini?

Sejauh ini yang terlihat hanyalah pendekatan klasik. Para korban mendapatkan santunan dan limpahan simpati, sementara mereka yang dianggap bersalah segera diusut, untuk selanjutnya didudukkan di kursi pesakitan dimuka hakim, dan kemudian menerima vonis.

Lantas persoalan dianggap selesai. Kita masih berkutat pada persoalan siapa yang salah, bukannya apa yang salah.

*** 

Malam merayap menyambut perjalanan kami. Jalanan Paiton lengang, sepi, senyap, lurus dan tak berbelok. Sekali belok jalanan mendadak curam. Beberapa truk gandengan yang melintas terpaksa harus merambat kalau tidak ingin gandengannya putus. Lain lagi truk berat, mereka harus menjaga keseimbangan agar tidak oleng sewaktu mencapai jalanan menanjak.

Satu-satunya motor yang melintas malam itu adalah kami. Maklum, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. 

Sesampai tanjakan kami dihadapkan pada warung-warung pinggir jalan di mana penunggunya mayoritas wanita-wanita muda bahenol.

Yoga bilang wanita-wanita tersebut dapat ‘dipakai’. 

Aku sangat paham betul dengan istilah itu. Dipakai berarti diboking. Entah dari mana mereka datangnya. Padahal lokasi antara warung dan desa jaraknya lumayan jauh.

Ah, bisa jadi mereka memang warga setempat yang mencari peruntungan dari para sopir truk. Biasanya para sopir berhenti di warung tersebut untuk sekedar melepas lelah atau mungkin melepas syahwat. 

Bisa iya bisa tidak.

Bila melihat kerasnya kehidupan para sopir aku sendiri tidak heran, apalagi sopir kerap dijuluki ‘sudi mampir’. Namun semua itu kembali kepada masing-masing individu. Selama mereka sanggup menahan diri maka godaan apapun akan sanggup mereka mentahkan. 

Saat itu pemandangan Paiton sangat sayang untuk ditinggalkan. Kuputuskan untuk mengurangi gas agar dapat menyaksikan keindahannya. Yoga sendiri malah antusias, dia menyuruhku meminggirkan motor.

“Berhenti dulu, ngerokok dulu,” lagaknya sok memerintah.    

Kami pun berhenti.

Yoga mengeluarkan rokok Gudang Garam Internasional dari ransel. Hmm, ternyata menikmati pemandangan Paiton malam hari sambil menghisap rokok cukup mengasikkan. 

Tiba-tiba saja aku teringat kata-kata teman mengenai penduduk Paiton yang mayoritas petani dan nelayan. Selain padi, tanaman yang banyak ditanam adalah tembakau. Terdapat setidaknya tiga tempat pengumpul tembakau yang dimiliki oleh Gudang GaramDjarum dan Sampoerna.

Dan saat itu kami sedang menghisap tembakau produksi Gudang Garam. Sebuah kebetulan.

Sementara para nelayan di sini memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang turut mendongkrak secara signifikan perekonomian Kecamatan Paiton dari hasil laut. Lokasinya berada di Sumber Anyar.

Kalau tidak salah, di sini juga terdapat tempat untuk memancing. Ikannya besar-besar. Satu tangkapan ikan cukup untuk mengenyangkan 3-5 orang.

Bagi yang hobi memancing, tak ada salahnya dicoba. Soalnya tidak sedikit pula orang-orang dari luar daerah berkunjung ke Paiton untuk sekedar memancing. Lokasinya mudah dicari: dari Surabaya sebelum PLTU Paiton belok kiri, jalannya berdekatan dengan tembok PLTU, desanya bernama Binor.

Supaya dapat tangkapan ikan besar, mereka harus menyewa perahu. Rata-rata ukuran perahunya sedang alias tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. 3-4 orang pemancing kiranya cukup untuk memenuhi perahu. Bila lebih dari itu, dikhawatirkan perahunya terlalu sesak. Kalau cuma sesak tidak masalah, lha kalau perahunya terbalik ke tengah laut, wah bisa-bisa rencana fishing tripnya gagal total. Bukan rejeki yang didapat malah petaka.

Setelah menghabiskan satu batang rokok, kami meneruskan perjalanan. Kali ini kami telah meninggalkan Probolinggo dan masuk Situbondo. Sepanjang perjalanan entah kenapa kami mulai diserang perasaan was-was. Khawatir ban bocor.

Malam malam melintasi jalanan Situbondo, membuat nyali kami ciut. Kami harus naik turun tanjakan berkelok-kelok, melintasi persawahan dan ladang yang sepi, belum lagi menghindari jalanan berlubang yang cukup membahayakan keselamatan ban kami.

Malam itu jangankan satu dua motor yang melintas, kendaraan pribadi, truk, atau bus jarang kita temui. Saat itu kami kembali dihinggapi perasaan getir. Rasa takut sedikit berkurang ketika kusembunyi di balik helm sambil bersenandung, sedang temanku malah mengunci mulutnya rapat-rapat.

[bersambung]

titik nadhir