ARTSUBS 2024 dan Zeta Ranniry Abidin
Oleh: Amang Mawardi
Genius bukan sekadar DNA yang diturunkan orangtua. Belajar terus menerus, berproses karya tiada henti — itulah sesungguhnya genius yang ditahtakan.
Kamis 14 November lalu, bersama sobat Toto Sonata dan kerabat Mushadi, kami baru bisa memenuhi undangan Humas Pameran Seni Rupa ARTSUBS 2024 Mbak Heti Palestina Yunani di Pos Bloc “kantor pos besar kebonrojo” Surabaya Pusat — mengingat ada saja kesibukan yang nggelibet, termasuk yang tidak penting-penting.
Pameran yang membayar tiket Rp 100.000 per orang untuk umum, berlangsung sebulan, dari 26 Oktober hingga 24 November 2024.
Adalah 150 lebih perupa kontemporer Indonesia dihadirkan pada event yang dikuratori oleh Asmujo J. Irianto dan Nirwan Dewanto ini.
Event yang diletakkan di 5 area itu, rasanya tak ada yang tak layak untuk dihadirkan. Semuanya benar-benar karya pilihan yang patut diapresiasi.
Apa yang menjadi tema ARTSUBS 2024, yaitu Ways of Dreaming (Aneka Jalan Mimpi) tidak sia-sia saya nikmati. Sayang, saya hanya sampai pada ‘area satu’ dan ‘area dua’, disebabkan sangat luasnya area pameran.
Nafas tua saya dibuat ngos-ngosan. Apalagi pagi hari sebelum berangkat ke bangunan berarsitektur kolonial yang didirikan pada awal tahun 1800 dengan luas 13.950 meter persegi ini — asam lambung menghajar saya. ‘Area 3’ sampai ‘area 5’ yang ada di lantai 2 tak sempat saya jenguk.
Dari dua area itu saja saya sudah dipuaskan oleh karya-karya lukisan, patung, foto, video maupun seni instalasi yang menghasilkan decak kagum.
Mereka yang berpartisipasi adalah sosok-sosok luar biasa, di antaranya: Agus Koecink Sukamto, Agus Suwage, Anusapati, Arum Dayu, Benny Wicaksono, Bonggal Hutagalung, Budi Ubrux, Entang Wiharso, Faelerie, Hanafi, Ivan Sagito, Joko Pramono, Koeboe Sarawan, Lini Natalini Widiasi, Made Jirna, Maharani Mancanegara, Mangu Putra, Nunung WS, Nuzurlis Koto, Nyoman Erawan, Ugo Untoro, Wahyu Nugroho, dan masih puluhan lagi.
Juga saya catat, tiga fotografer Oscar Matuloh, Jay Subyakto, dan Yori Antar, ikut terlibat pada event ini.
Selintas saya sempat mikir, sosok-sosok terkenal macam Dede Eri Supria, Heri Dono, Mas Dibyo, Nasirun, Tisna Sanjaya, kok tidak nampak pada event ini, ya. Apakah mereka tidak lolos kurasi, lolos tapi menolak ikut, atau karena tersebab lain?
***
Untuk menulis secara keseluruhan –lebih-lebih jika dengan pendekatan seni rupa– saya kesulitan. Selain saya tidak paham “bahasa seni rupa” secara akademis, juga rasanya tidak adil saya yang hanya nonton di dua area, menuliskan secara menyeluruh melalui pendekatan tersebut.
Maka, satu-satunya dari pendekatan jurnalistik, itulah yang bisa saya tulis, sebagaimana saya lakukan selama ini jika menulis di seputar dunia seni.
Yang jelas, pada dua area yang banyak menyajikan karya-karya abstrak dan surealis ini, semuanya punya greget kuat hasil ide-ide yang mencerminkan bahwa seni rupa kontemporer Indonesia adalah sebentuk refleksi dan imajinasi sosial, juga serangkaian aspirasi dan fantasi dari titik masa kini hingga ke masa depan.
Karya-karya sejumlah seniman hebat tersebut tidak sekadar bermimpi, melainkan bermimpi yang memberdayakan kita untuk memiliki sekaligus menindak-lanjuti sebuah pameran seni rupa yang besar dan berkesinambungan di Surabaya dan Indonesia. Sumbangsih ini penting bagi kehidupan kontemporer.
***
Apa yang saya tulis pada alinea pertama artikel ini, sesungguhnya hasil impul pikiran yang berkelebat begitu cepat bahwa semua yang saya tonton di ‘area 1’ dan ‘area 2’ adalah ohoi yang hebat.
Namun, lukisan besar yang diletakkan pada sudut ‘tusuk sate’ itu, benar-benar menyita perhatian saya yang lantas tersimpulkan : inilah yang mesti saya tulis. Di samping –mungkin– faktor untuk menghindarkan saya menarasikan dan menyimpulkan event ini. Sekali lagi, saya tidak berhak, lantaran cuma nonton di ‘area 1’ dan ‘area 2’.
Lebih pas jika saya menulis seluk beluk lukisan yang terpajang di sudut ‘tusuk sate’ itu. Tentu saja ini adalah pilihan yang sangat personal dan subyektif.
Nah, ‘Beyond My Wildest Dream’ (Melampaui Mimpi Terliarku) karya Zeta Ranniry Abidin tersebut, benar-benar mengajak saya untuk menginterpretasikan maksud dari lukisan 160 x 500 cm dengan menggunakan cat minyak dan akrilik di atas kanvas ini.
Karena panjang yang 5 meter, lukisan ini menggabungkan 2 panel.
Adapun warna putih, merah, biru — mendominasi bidang kanvas. Menggambarkan ’18 gadis kembar’ yang boleh jadi merefleksikan sosok pelukisnya berlari dengan riang menuju (masa) depan, berlatar- belakang buku-buku di rak perpustakaan memenuhi sepanjang 5 meter itu.
Tentu saja, bagi saya ini bukan sekadar lukisan gadis berlari, melainkan maksud utama dari lukisan ini adalah dengan buku (ilmu pengetahuan) ‘akan kugapai dunia’.
Atau kalau saya terjemahkan secara ‘wantah’, lukisan ini adalah antitesa dari era sekarang bahwa bukan HP yang semestinya melandasi sikap kita yang lantas menjebak pada segala yang serba instan, tetapi buku-buku bermutu –ilmu pengetahuan– yang akan menjadikan kita pemenang.
Dari sini saya mencoba menguak siapa sesungguhnya Zeta Ranniry Abidin.
Di kertas data lukisan yang ada di sebelah kanan bawah lukisan karya Zeta tersebut, tercetak QR untuk dipindai agar sosok pelukisnya bisa dibaca secara rinci. Tetapi berhubung saya gaptek soal ini, maka sebaiknya saya coba temui saja Empu Google.
Dari Empu Google, saya mendapati fakta bahwa Zeta adalah gadis asal Surabaya yang dilahirkan 21 tahun lalu. Makin getol melukis saat duduk di bangku SMA Santa Maria, Surabaya.
Kini Zeta berkuliah di Universitas Maranatha, Bandung, di Fakultas Seni Rupa dengan spesialis Seni Murni.
Dari beberapa foto lukisan karyanya, jelas sekali bahwa buku-buku di rak banyak melatar-belakangi.
Zeta Ranniry Abidin telah berpameran tunggal sebanyak 4 kali. Salah satu dari pameran tunggal itu dilakukan untuk memperingati 17 tahun usianya, di Hotel Vasa, Surabaya. Ada 17 lukisan tentang profil wajahnya.
‘Kalau gadis seusia dia menandai ulang tahun ke-17 dengan pesta, maka Zeta melakukannya dengan berpameran tunggal,’ begitu narasi berita dari salah satu media online sebagaimana disiarkan Google.
Dan berbagai kejuaraan melukis yang diraih Zeta, di antaranya Juara I Kompetisi Melukis Nasional Antar-Perguruan Tinggi tahun 2022 dengan judul karya We’ll Be Fine (Kita akan Baik-baik Saja) yang menggambarkan optimisme menghadapi situasi Covid-19.
Tahun lalu Zeta kembali meraih kejuaraan, yaitu Bronz Medal pada ajang Kompetisi Melukis se-Indonesia ke-13 Bank UOB kategori Emerging Artist (perupa pendatang baru) dengan judul karya Stay Alive with Knowledge (Tetap Hidup Bersama Ilmu Pengetahuan).
Lukisannya ini terinspirasi oleh kisah Ali bin Tholib saat diberi pilihan oleh sahabatnya, ‘ilmu atau harta’.
Ali bin Tholib memilih ilmu karena ilmu akan menjaganya dari persoalan apapun.
Zeta pun akan memilih ilmu yang melingkupi karyanya daripada laku di pasaran. “Karya yang berilmu akan menjaga kita, dan berharap berdampak positif bagi kehidupan masyarakat,” tutur Zeta.
“Oleh sebab itu, saya lebih suka stay hungry dan stay foolish agar dengan rasa haus dan lapar, saya akan giat untuk belajar. Dan saya akan merasa tetap bodoh agar terus giat mendekati imu pengetahuan demi menggapai pengetahuan baru.”
Begitulah maksud yang saya tulis pada alinea pertama artikel saya ini bahwa genius itu bukan perkara semata DNA yang diwariskan ortu, melainkan semangat untuk terus belajar, spirit untuk terus berkarya — sebagaimana dilakukan Zeta Ranniry Abidin.@
*) Wartawan senior dan penulis buku