Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Asian Survivor

Oleh: Amang Mawardi

SAYA kenal channel ini sekitar 2 tahun lalu. Tiga bulan kemudian saya putus mengikuti.

Mula-mula subcriber-nya di bawah 10.000. Kini, setelah saya longok lagi, sudah 400.000 lebih.

Yang membedakan dengan channel sejenis, Asian Survivor yang digawangi oleh orang muda 32 tahun ini adalah “obyek garapan”: kawasan transmigrasi yang masih baru yang tanahnya bekas rawa-rawa dengan genangan pasang-surut dari terusan aliran Sungai Kayan di Kalimantan.

Bisa dibayangkan betapa sulitnya para transmigran mengolah lahan ini. Umumnya menggunakan sistem guludan (semacam galengan). Tanah yang digali menjadi mirip parit. Ada juga yang diolah menyerupai bedengan-bedengan.

Permukaan tanah guludan dan bedengan tersebut bisa 2 kali lebih tinggi dari “selokan-selokan” itu.

Tentu, ini bukan pekerjaan main-main — dimana setiap transmigran dapat lahan garapan seluas 2 -3 hektar. Hanya orang-orang ulet yang (kelak) bisa menaklukkan tanah (bergambut) ini. Salah satu caranya, mirip orang makan bubur panas. Dimulai dari pinggiran, lantas sedikit demi meluas hingga seperempat, setengah, sampai habis seluruh luas lahan.

Ada yang ditanami daun pre, lombok, pisang, jambu kristal, kelapa, nangka, mangga dan padi, dan lain-lain lagi. Tentu, banyak juga yang mengkombinasikan berbagai tanaman.

Berbeda dengan lahan-lahan transmigrasi di Lampung, Bengkulu, Jambi, Sulawesi, dan Papua — dimana lahan-lahan itu berada di: tanah kering tapi cukup menyimpan air; kontur perbukitan; kebanyakan bekas hutan — begitu setidaknya yang saya lihat di sejumlah channel youtube yang berkutat di seputar dunia transmigrasi.

Dengan kondisi tanah yang sangat berat untuk ditaklukkan, Rival –pemilik channel Asian Survivor– setiap hari mendatangi lahan-lahan dan banyak penghuni di rumah-rumah transmigran, terutama di SP (satuan pemukiman) 10 di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara — untuk memberi motivasi dan bimbingan dengan sabar, telaten.

Padahal Rival bukan petugas penyuluh pertanian. Ia adalah youtuber yang disebabkan saat mulai marak Covid-19, termasuk korban PHK. Beruntung tinggal bersama orang-tuanya yang punya lahan “hanya” sekitar 2.500 meter persegi, mulai ikutan berkebun dan bertani. Ilmu itu yang lantas ditularkan kepada para transmigran yang kemudian di-youtube-kan.

***

Dari ingatan sekilas menonton youtube Rival (Asian Survivor) di awal-awal ia nge-vlog, sosok ini adalah alumnus Universitas Hasanuddin, Makassar. Saya lupa ia mengambil fakultas apa. Saya cari lagi konten itu, sulit sekali. Barangkali karena jumlah kontennya yang sudah 3.800 lebih. Sebuah bilangan yang bisa dikata tidak sedikit, setidaknya di kalangan youtuber. Betapa produktifnya Bang Rival !

Sehari rata-rata Rival nge-vlog 4 konten dengan jarak lokasi cukup berjauhan, bersepeda motor melewati medan yang lumayan berat dengan jalan-jalan tanah berlepotan lumpur di musim hujan dan berdebu kala musim kemarau.Tentu ini butuh energi luar biasa dan konsistensi yang super istiqomah.

Sekadar catatan, setiap SP (satuan pemukiman) rata-rata dihuni 300 – 400 KK (kepala keluarga).

Memang, soal jumlah subcriber jangan bandingkan dengan youtuber-youtuber selebritis macam Atta Halilintar (30,9 juta), Raffi Achmad (25,9 juta), Deddy Corbuzier (21,7 juta), Baim Wong (21,1 juta) dan masih banyak lagi yang subcriber-nya rata-rata di atas 5 juta — yang “wangi”, selalu gemerlap dengan “pendar-pendar cahaya” itu.

Namun, youtuber yang awal-awal ngevlog tak pernah menampakkan wajah ini, saya nilai sebagai youtuber berkeringat dalam arti sesungguhnya. Atau dalam simbolisasi bahasa: berdarah-darah!

Hanya suara bariton di balik kamera dengan susunan kalimat tertata rapi disertai nada persuasif jauh dari intimidatif, yang tertangkap oleh telinga saya.

Rupanya atas desakan penggemar melalui kolom komentar “mengapa Bang Rival tak pernah menampakkan diri”, akhirnya terlihat realitas sosoknya. Dugaan saya, mungkin Rival minder mengingat wajahnya tak seindah suaranya. Boleh jadi kalau dianalogikan, Rival mirip komedian Ajis Gagap. Padahal, sesungguhnya, di balik realitas fisik itu, Rival menyimpan kebaikan dan kebijaksanaan.

Sebagai youtuber yang rata-rata viewers-nya 5.000 s/d 50.000, tentu channel Rival sudah ter-adsense dengan konsekuensi mendapat gaji dari youtube.

Nah, setiap konten tentu ada hitung-hitungannya. Rival tahu balas budi, setiap habis gajian ia tak lupa selalu sisihkan sebagian honornya untuk para “talent” sosok-sosok transmigran tersebut. Bahkan banyak para donatur setelah menonton channel Asian Survivor, jatuh empati, lantas menitipkan rezeki mereka untuk disampaikan kepada para transmigran via Rival.

Oleh sebab itu, banyak transmigran berharap agar aktivitas sehari-hari bisa diliput oleh Bang Rival. Setidaknya dari liputannya, keluarga mereka yang di Jawa maupun yang ada di satuan pemukiman lain, tahu kondisi saat ini.

***

Dari channel tersebut saya tahu istilah ‘jadup’ : jatah hidup.

Para transmigran sebelum lahannya menghasilkan, diberi jaminan hidup oleh Pemerintah selama 18 bulan. Ada juga yang 36 bulan.

Berapa jadup per KK ? Senilai Rp 3,5 juta rupiah per bulan, dalam bentuk: beras, gula, minyak goreng dan jenis-jenis sembako lainnya.

Dari jadup ini, para transmigran mau tidak mau harus bekerja keras mengolah lahan, agar selepas masa jadup, sudah bisa menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Kalau tidak, nasibnya (mungkin) seperti puluhan rumah dan lahan para transmigran, terlihat kosong ditinggalkan penghuni. Ada yang separuh hampir roboh. Juga dipenuhi semak liar.

Dalam imajinasi saya berkaitan konteks di atas, sebagian dari mereka gagal mengolah lahan, lantas pergi ke Tanjung Selor ibukota Kalimantan Utara yang jumlah penduduknya cuma sekitar 30.000 ribu jiwa, untuk mengadu nasib memperpanjang hidup. (Sebagaimana tercatat di google, luas Provinsi Kalimantan Utara 71. 827 kilometer persegi, dua kali luas Provinsi Jawa Timur. Sementara jumlah penduduknya hanya 700.000 jiwa. Sedangkan Jawa Timur 39 juta jiwa).

Saya membayangkan, suatu saat Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, Transmigrasi — Rival dan sejumlah transmigran terpilih– diundang ke Jakarta untuk menerima Anugerah (penghargaan). Karena sesungguhnya merekalah pejuang-pejuang pertanian. Untuk apa? Memberi dorongan dan motivasi bagi yang lain agar berprestasi! @

*) Penulis buku “Memoar Wartawan Biasa Biasa: Di Senja Waktu Aku Tulis Buku”.

Komentar
Loading...