Awal Mula Kata “Arek”
Sebutan “Arek” memiliki tiga dimensi. Pertama, sebagai nilai, kedua sebagai praktik, dan ketiga sebagai sosok.
REKAYOREK.ID Kita sering mendengar kata “Arek”. Kata ini disematkan pada orang orang yang umumnya berasal atau asli Surabaya, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, Malang, Jombang, Gresik, Tuban hingga Lamongan. Sehingga terangkailah sebutan Arek Suroboyo, Arek Bangil, Arek Gresik, Arek Lamongan dan wal khusus untuk Arek Malang umumnya dibalik menjadi “Kera” Ngalam (Arek Malang).
Entah mengapa setelah Jombang lalu menyeberang sungai Brantas di wilayah Nganjuk tidak ada sebutan “Arek”. Misal Arek Nganjuk. Yang ada adalah “Cah” Nganjuk. Kata “Cah” memang merupakan kependekan dari “Bocah” (anak/orang).
Semakin ke wilayah barat dari propinsi Jawa Timur, sebutan untuk orang orangnya memakai kata sandang “Cah”. Misalnya di Kediri, Cah Kediri; di Blitar, Cah Blitar; di Madiun, Cah Madiun; di Pacitan, Cah Pacitan; di Tulungagung, Cah Tulungagung; di Trenggalek, Cah Ngalek; hingga orang Pacitan, Cah Pacitan.
Secara umum “Arek” memang berbeda dengan “Cah”. Arek memiliki sifat yang lebih egaliter, ceplas ceplos, terus terang, blater, level rasa persahabatan tinggi dan suka menolong.
Misalnya ketika seseorang menghadapi masalah dengan kendaraan (sepeda motor yang mogok, kehabisan bensin di jalan), tak segan segan sifat arek dari orang di in-group Arek, yang mengetahui itu, akan spontanitas menawarkan bantuan untuk mendorong sampai ketemu pom bensin atau bengkel.
In-group adalah kelompok social yang dijadikan tempat oleh individu-individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Sedangkan lawan kata in group adalah Out Group, yang artinya kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan dari in Group.
Jika seseorang berasal dari Surabaya, Lamongan dan Sidoarjo, mereka disebut sebagai in-group Arek. Sementara orang yang dari Madiun dikatakan sebagai out-group bagi Arek arek Surabaya dan atau Sidoarjo. Sebaliknya bagi komunitas Madiun, Pacitan dan Ponorogo misalnya, mereka menakan In-group Cah.
In group dan out group memiliki tata budaya masing masing. Maka muncul yang namanya “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Peribahasa ini memiliki arti bahwa setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda; satu aturan di suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lain. Karenanya atas perbedaan perbedaan itu harus ada saling toleransi dan rasa saling mengerti dan memahami budaya orang lain. In group dan out group harus saling toleransi dan menghormati atas adanya perbedaan.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, Kukuh Yudha Karnanta, bahwa “Arek” memiliki tiga dimensi. Pertama, sebagai nilai, kedua sebagai praktik, dan ketiga sebagai sosok.
“Sebagai nilai, misalnya: sifat egaliter, solider, pemberani, dan lugas. Sedangkan, sebagai praktik, misalnya: membantu sesama, mempertahankan prinsip seperti yang tampak dalam rentetan peristiwa sejarah sejak mulai era Majapahit hingga 10 November 1945 dan ketiga sebagai sosok, yang menunjukkan berasal dan lahir di wilayah Surabaya dan sekitarnya”, jelas Kukuh ketika menyampaikan materi budaya dalam diskusi publik Lintas Masa di basement Balai Pemuda pada 16 September 2022.
Dugaan Asal Muasal “Arek”
Dalam sebuah begandringan (diskusi) tidak formal antara akademisi FIB Unair dan pegiat sejarah budaya Begandring Soerabaia dibahas asal muasal kata “arek”. Diketahui bahwa sebutan “arek” ternyata hanya dipakai di wilayah wilayah seberang (Brang) wetan. Yaitu wilayah di sisi timur dari sungai Brantas. Sungai Brantas menjadi pembatas alami wilayah Jawa Timur: Seberang (Brang) Timur dan Seberang (Brang) Barat.
Secara historis dan klasik, pembelahan wilayah Jawa Timur ini terjadi sejak era kerajaan Kahuripan ketika Raja Airlangga meminta bantuan kepada Pu Baradha untuk membagi wilayah Kerajaan Kahuripan menjadi dua, yang masing masing wilayah untuk puteranya. Putera Airlangga ada dua yakni Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Kedua putra Airlangga ini ternyata saling berebut kekuasaan. Dalam kitab Negarakertagama, wilayah Kahuripan dipecah menjadi dua yang masing masing untuk puteranya agar tidak terjadi perebutan kekuasaan. Kedua daerah ini disebut Panjalu (Brang Kulon) dan Jenggala (Brang Wetan).
Ternyata, meski Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan sudah diberi wilayah kekuasaan, namun dalam perjalanannya masing masing masih saling berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan. Misalnya sampai ke era Raja Jayakatwang (Kediri), masih terjadi perebutan wilayah oleh Raja Jayakatwang (Panjalu) terhadap Raja Kertanegara (Jenggala) pada zaman setelah Airlangga.
Pada zaman berikutnya, pada pasca Majapahit, dimana Surabaya selalu berusaha mempertahankan wilayahnya dari upaya pihak barat (Demak, Pajang dan Mataram) untuk menaklukkan Surabaya yang secara alami teritorialnya adalah wilayah Jenggala (Brang Wetan). Di era Majapahit, Surabaya dan daerah daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur memang berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Perang antara Surabaya dan Mataram terus terjadi dari waktu ke waktu. Ada penaklukkan Jayalengkara klehnSultan Agung pada 1625. Ada perang Trunojoyo pada 1677-1679, juga ada perang besar Jayapuspita pada 1718-1722. Surabaya akhirnya berhasil dikuasai Mataram dengan bantuan VOC pada 1743. Karenanya, atas jasa membantu Mataram, VOC mendapat hadiah wilayah kekuasaan di Ujung Timur Jawa (Java van den Oosthoek). Secara de facto dan de jure, Surabaya tercatat dikuasai VOC pada 11 November 1743.
Sejak itu, Surabaya dalam pengaruh VOC dan Mataram. Misalnya dalam roda pemerintahan, pemerintahan klasik di Surabaya yang berbentuk kekabupatenan (regentschap) sangat bercorakkan Mataram. Bahkan struktur dan organ kekabupatenan layaknya struktur induknya di Mataram. Pun demikian dengan bahasa yang digunakan, bahasa Jawa dengan sosio linguistiknya. Ada tingkatan bahasa yang digunakan, tergantung dengan siapa si pembicara berbicara.
Menanggalkan Feodalisme
Di masa masa pergerakan, ketika memasuki abad 20, tokoh tokoh bangsa seperti HOS Tjokroaminoto, sebagai guru bangsa dan sebagai bangsawan (keturunan ningrat), sudi menanggalkan kefeodalannya. Ia menanggalkan gelar Raden. Ia disebut sebagai “Raja tanpa Mahkota”. Ia ingin dekat bersama rakyat. Ternyata, ketua Sjarikat Islam (SI) itu secara fisik juga melekat dengan rakyat. Tidak ada sekat. Bahkan rakyat bisa berbisik kepadanya.
Selain HOS Tjokroaminoto, ada juga nama Tjokrosudarmo, pendiri Djawa Dwipa di akhir 1917. Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, Kukuh Yudha Karnanta, Tjokrosudarmo adalah orang yang mempromosikan penggunaan Jawa Ngoko sebagai bahasa pengantar acara acara resmi.
“Bahasa Jawa Ngoko lebih egaliter dan bisa merekatkan hubungan di internal Sjarekat Islam”, tambah Kukuh.
Di kala masa pergerakan, kebersamaan dan kedekatan adalah kunci. Disana perlu ada komunikasi yang lebih cepat dari kedua belah komunikan: pembicara dan pendengar. Karenanya, unsur feodaliame ditanggalkan. Penggunaan bahasa (Jawa) dipraktiskan. Maka dipakailah bahasa Jawa Ngoko.
Bung Karno (Soekarno) dikenal sebagai pengikut Tjokroaminoto, yang mengawalinya ketika indekost di rumah Pak Tjokro ketika sekolah di HBS Surabaya.
“Soekarno pidato pake Djawa Ngoko di acara Jong Java dan sempat berdebat sama anggota yang tidak setuju”, demikian tambah Kukuh yang mengutip dari buku Ong Hok Ham, dengan judul “Soekarno Orang Kiri”.
Linguistik
Ada sudut pandang linguistik atas penggunaan bahasa Jawa yang bersifat egaliter itu. Salah satunya adalah kosa kata “arek”.
Kata “arek” dilihat dari sisi linguistik, diduga, merupakan bentuk penyederhanaan dari kata “lare”, yang berarti anak atau orang (atau “wong” dalam bahasa Jawa). Kata “lare” masih bersifat formal atau baku sebagai sebuah kosa kata Jawa. “Lare” yang berarti anak merupakan kata yang lebih sopan dari kata “wong” (orang) dalam bahasa Jawa. Kosa kata lainnya adalah “gak onok” yang manjadi “ganok”.
Ada juga dalam bahasa Indonesia, misalnya kata “kayaknya” menjadi “kek”. Ketika sebuah kata atau frasa mengalami pengurangan kata, atau penyusutan kata, maka ada kecenderungan menjadi lebih kurang formal atau menjadi bahasa pergaulan. Bisa dikatakan menjadi egaliter.
Sekali lagi diduga bahwa kata are’ atau arek berasal dari penyusutan kata “Lare”. Ada juga kota kata Jawa lainnya, seperti “kapene” menjadi “kape”, lalu dipendekkan lagi menjadi “ape”.
Dalam bahasa Inggris pun juga terjadi penyusutan kata seperti: “I am going to go” dipendekkan menjadi “I’m gonna go”. Pemendekan ini menjadikan kata kata bersifat egaliter atau bahasa pergaulan. Contoh lainnya adalah “want to” menjadi “wanna”, “catch you” menjadi “catcha”.
Bukan tidak mungkin bahwa kata “lare” berubah menjadi “are” (arek), yang umum digunakan di wilayah Brang (seberang) Wetan atau kemudian dikenal dengan wilayah Jenggala. Sementara Brang (seberang) Kulon dikenal dengan wilayah Panjalu yang identik dengan Mataraman.
Dengan demikian “perseteruan” antara Jenggala dan Panjalu di masa lalu seolah berlanjut. Surabaya di wilayah Jenggala. Mataram di wilayah Panjalu. Ketika Surabaya pernah ditaklukkan Mataram dimasa Jayalengkara (1625), Trunajaya (1679) dan Jayapuapita (1722), dan berlanjut dengan pelimpahan Ujung Timur Jawa dari Mataram ke VOC pada 1743, Surabaya bertransformasi melalui bahasa.
Orang-orang Surabaya melalui tokoh tokoh pergerakan seolah melepaskan diri dari feodalisme. Mereka mengabaikan sosio linguistik. Mereka tidak menggunakan Bahasa dengan tingkatan. Tapi mereka menggunakan Bahasa Ngoko agar lebih setara dan egaliter.
Dari sekian kata kata lalu menjadi kalimat kalimat hingga menjadi gaya berbicara secara umum, khususnya terhadap penggunaan kata AREK, yang menjadi sebuah identitas komunitas Surabaya. Arek adalah identitas. Identitas ini tidak hanya untuk group Surabaya, tetapi group group lain seperti orang Gresik, orang Lamongan, orang Sidoarjo, Bangil, Pasuruan dan lainnya yang masuk dalam wilayah Jenggala.@Nanang