Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Belajar Mendaki Dari Penambang Belerang Gunung Welirang

Saat mendaki gunung, penambang belarang berjalan dengan santai. Tidak buru-buru, juga tidak lambat. Setapak demi setapak dilalui. Saat berhenti, dia tidak duduk. Saat minum, hanya seteguk.

REKAYOREK.ID Mendaki gunung selalu mengasyikkan. Yang punya pengalaman naik gunung pasti tidak jenuh-jenuhnya membagikan cerita. Apalagi di saat sekarang, semua cerita bisa dibagi melalu media sosial (Medsos).

Mendaki gunung yang paling membahagiakan ketika berhasil mencapai puncak. Semua pasti setuju bukan.

Mencapi puncak adalah kepuasan para pendaki. Apalagi jika sampai puncak bareng teman. Bisa saling rangkulan, sujud syukur, atau kalau bersama cewek saling kecup pipi kanan dibalas pipi kiri.

Namun, ada saat-saat paling tidak bahagia bagi pendaki. Yakni saat melintasi trek yang tinggi (ndedek, Jawa). Itu bisa menguras tenaga dan stamina.

Tidak sedikit pendaki yang menyerah di tengah jalan. Atau pilih nge-camp di pos pertama. Bahkan ada yang merengek minta pulang alias balik kucing.

Bagi pendaki, ada hal-hal yang harus dipersiapkan. Saya tidak bicara soal peralatan atau logistik. Tapi lebih pada kesiapan mental dan stamina.

Dalam mendaki hal paling utama adalah mental. Saya punya teman yang memiliki mental sekuat baja. Secara fisik dia lemah.

Saat mendaki Semeru, dia termasuk yang paling lemah di antara teman-teman pendaki. Dia paling buncit. Tapi dia berhasil mencapai puncak walaupun terpaut selisih 2-3 jam dari sesama pendaki lainnya.

Catatan berikutnya adalah stamina. Ini sangat penting diketahui pendaki.

Seorang olahragawan yang melatih fisiknya setiap hari, saya berani memastikan mereka belum tentu kuat mendaki gunung. Kecuali mereka memiliki jiwa petualang sejati.

Sebaliknya, pendaki sejati tanpa latihan fisik sekalipun, bisa mencapai puncak dengan mudah. Ini bedanya pendaki dan olahragawan.

Biar mudah, saya ingin berbagi pengalaman saja saat naik ke gunung Welirang. Hari lupa. Bulan lupa juga. Tahun, ya pokoknya sekira 1996.

Dari pos pertama pet bocor menuju pos kop-kopan, saya ingat betul betapa nafas ngos-ngosan Senin-Kamis.

Waktu itu saya tidak sendiri. Bersama rombongan teman. Saya masih SMA. Fisik masih oke. Sering main sepakbola. Berlatih lari keliling lapangan hingga 6-7 kali.

Eh, ternyata fisik bukan jaminan saat mendaki. Jantung kok rasanya mau copot. Mudah lelah. Pokoknya tidak kuat jalan.

Lanjut. Sampai kop-kopan kami memutuskan untuk nge-camp. Karena memang tidak kuat lagi. Esoknya bangun pagi, badan terasa linu-linu. Mungkin efek dari perjalanan naik.

Kami melanjutkan ke pos pemondokan. Jalurnya lumayan terjal. Benar-benar menguras tenaga. Lagi-lagi capek. Ngos-ngosan. Sebenarnya saya mau menyerah, tapi gengsi sama teman-teman. Mungkin mereka juga begitu, gengsi dengan saya.

Ya sudah, kami jalan terus hingga pemondokan.

Dari pemondokan, kami lanjut ke puncak. Nah, di sini saya secara tidak sengaja berpapasan dengan para penambang belerang.

Saya sempat berhenti dan ngobrol. Tapi tidak lama. Sebab mereka harus segera turun dan naik lagi.

Ah, benar-benar gila, pikir saya waktu itu.

Katanya, mereka dalam sehari bisa naik turun dari puncak ke pemondokan sampai 2-3 kali.

Di tengah rasa lelah itu, dari belakang saya disalip seorang penambang belarang. Cara berjalannya santai sekali. Tidak buru-buru, juga tidak lambat. Setapak demi setapak dilalui.

Saya sengaja tidak mendahului. Hanya mengikuti dari belakang. Sekaligus memperhatikan cari dia melangkah. Saya perhatikan cara dia beristirahat.

Saat dia berhenti, saya ikut berhenti. Saat duduk, saya ikut duduk. Saat dia minum, saya ikut minum.

Segala aktivitas dia saya ikuti. Dan tidak serasa, saya sudah melakukan perjalanan satu jam menuju puncak tanpa merasa lelah sedikitpun. Nafas yang awalnya ngos-ngosan nyaris tidak ada.

Sebelum mencapai puncak, kami memutuskan untuk berhenti cukup lama. Di situlah saya sempatkan bertanya banyak hal pada bapak penambang belerang.

Menurut dia, untuk naik gunung tidak usah tergesa-gesa. Cukup ikuti irama kaki melangkah. Dengan berjalan tidak tergesa, juga tidak lambat, irama jantung akan stabil. Itu yang pertama.

Kedua, saat waktu berhenti, usahakan tidak berhenti cukup lama. Atau diusahakan untuk tidak duduk. Dengan beristirahat cukup lama, hal ini justru akan membuat stamina turun. Untuk meningkatkan stamina lagi, akan kesusahan.

Efek istirahat terlalu lama, capek, malas-malasan, tidak bergairah dan seterusnya.

Terakhir, saat beristirahat jangan minum terlalu banyak. Biasanya para pendaki kalau sudah berhenti akan minum berlebihan. Ini justru akan membuat tubuh terasa lemas. Jika dipaksakan akan membuat tubuh gampang lelah dan nafas ngos-ngosan. Cukup minum seteguk saja. Sekedar penghilang rasa dahaga.

Dari tukar pikiran dengan penambang belerang ini, saya akhirnya dapat belajar banyak cara mengatur stamina saat mendaki gunung. Terbukti, saat saya mengikuti langkah penambang belerang, sama sekali tidak merasakan kelelahan atau nafas ngos-ngosan.

Cara ini kemudian saya terapkan mendaki di beberapa gunung. Betapapun sukarnya trek menuju puncak dan betapa beratnya beban yang dibawa di pundak, Alhamdulillah sampai sekarang saya tidak menemui kendala di stamina.

Semoga pengalaman ini ada hikmahnya bagi para pendaki. Selamat mendaki, kawan.[]

*) Diceritakan Joko Setyono, pendaki asal Surabaya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...