Air Minun Dalam Kemasan atau yang sering disingkat AMDK telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, trutama masyarakat urban atau perkotaan yang memiliki akses air minum bersih yang terbatas. AMDK yang diperkenalkan di Indonesia pada pertengahan tahun 70 an, menjadi alternatif kebutuhan air minum yg bersih dan sehat, karena selain memiliki kandungan zat yang dibutuhkan tubuh dan juga telah melalui proses produksi yang menjamin kualitasnya.
Meski demikian, masyarakat tetap perlu teliti dalam memilih dan mengkonsumsi AMDK mengingat terdapat berbagai jenis AMDK dengan berbagai klaimnya. Masyarakat tetap perlu mengetahui dan mengenal zat zat yang terdapat dalam AMDK dan memastikan kadar zat zat tersebut tidak melebihi ambang batas yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Salah satu zat yang diatur ambang batasnya adalah senyawa bromida.
Kekuatiran terhadap adanya kandungan bromida pada air kemasan terus meningkat dari tahun ketahun seiring dengan temuan yang mengejutkan terkait kadar bromate pada AMDK. Beberapa negara tercatat menarik produk AMDK karena kandungan bromat yang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan otoritas keamanan setempat. Food and Drug Administration Amerika Serikat menetapkan tingkat yang diperbolehkan untuk bromat dalam air kemasan adalah 0,010 miligram per liter. Tahun 2019, Otoritas Makanan & Obat Saudi Arabia (SFDA) telah memperingatkan konsumen untuk tidak mengonsumsi air kemasan dengan merek Amana yang diproduksi oleh Pabrik Air Minum Dalam Kemasan di Tiyadh, karena melebihi batas zat bromat yang diperbolehkan. Terakhir negara bagian Florida, pada Juli lalu menarik 300.000 botol AMDK Blue Triton.
Bromat biasanya tidak ditemukan secara alami dalam sumber air atau pada bahan baku air, namun terbentuk saat proses disinfeksi yang dapat akan menimbulkan produk samping disinfeksi (disinfection by product atau dbp. Salah satu zat yang digunakan dalam proses desinfeksi adalah ozon, sehingga prosesnya disebut ozonisasi. Ozonisasi yaitu ketika ozon (O3) bereaksi dengan bromida (Br-) dalam air, terutama dengan adanya konsentrasi bromida yang tinggi dan beberapa faktor lain seperti pH tinggi, suhu tinggi dan waktu kontak yang lama.
Senyawa bromida yang berubah menjadi bromat bersifat karsinogenik atau beracun dan berpotensi dapat menyebabkan kanker, meski diperlukan penelitian lebih lanjut.
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) menyebutkan bahwa orang yang mengonsumsi bromat dalam jumlah besar mengalami gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan sakit perut. Konsentrasi bromat yang tinggi juga dapat berpengaruh pada ginjal, efek sistem saraf, dan gangguan pendengaran.
Pemerintah melalui Permenkes nomer 492 tahun 2010 menetapkan dbp sebagai persyaratan tambahan, begitu pula Peraturan SNI nomer 3553 tahun 2015 mensyaratkan batas maksimum dbp pada AMDK. IBWA, FDA dan EPA mensyaratkan pengujian untuk semua dbp pada AMDK dan air sumber jika dilakukan disinfeksi dengan periode pengujian setahun sekali. Kadar Bromat dalam AMDK juga sudah diatur oleh BPOM yaitu 0,01 ppm. Seluruh industri AMDK di Indonesia diwajibkan memberikan data analisis kandungan bromat di laboratorium kepada BPOM secara berkala.
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo meminta BPOM untuk melakukan tes terhadap kandungan senyawa Bromat yang terkandung dalam produk AMDK. Dia melanjutkan, uji lab tersebut bisa dilakukan secara berkala.
“Di post market mestinya BPOM melakukan sampling menguji yang ada di pasar ke laboratorium apakah itu sesuai standar keamanan, membahayakan konsumen apa enggak,” katanya.
Sudaryatmo melanjutkan, uji laboratorium juga perlu dilakukan secara reguler untuk memastikan keamanan pangan dimaksud. Dia mengatakan, hal tersebut sudah menjadi tugas BPOM sebagai pengawas obat dan pangan di Indonesia.“Jadi regular inspection. Mengambil sampling dari produk yang sudah ada di pasar,” katanya.[]