Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Cerita Tan Malaka Soal Romusha di Bayah

REKAYOREK.ID Banyak romusha di pulau Jawa dipekerjakan di Banten, sebuah wilayah yang belum berkembang dan relatif sedikit penduduknya. Proyek terbesar di sana adalah penambangan batu bara. Di lubang tambang batu bara di Bayah, Banten Selatan terdapat 20 ribu pekerja yang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bekerja. Dari jumlah itu terdapat satu orang pintar yang dianggap pahlawan bagi para pekerja romusa. Namanya Ilyas Husein yang tiba di Bayah pada Juni 1943.

Namanya Ilyas Husein alias Tan Malaka saat bekerja di Bayah. Berdasarkan pengakuannya dalam Madilog (2019), pertualangannya di Banten didorong oleh kesulitan ekonomi. Kesulitan itu membuatnya harus menghentikan penulisan Madilog. Seperti ditulis pada autobiografinya Dari Penjara ke Penjara (2014), Tan Malaka membaca informasi di surat kabar: “Orang-orang terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasihat bala tentara Dai Nippon, Pegangsaan Timur 36, dengan datang sendiri atau mengirimkan keterangan biografi lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak.”

Awalnya ia tidak menaruh perhatian, terlebih ada keterangan “hanya orang-orang terkemuka”. Namun keputusannya berubah setelah bertemu dengan Dr. Purbocoroko di perpustakaan Gedung Arca. Mula-mula Dr. Purbocoroko meminta kesediaan para pengunjung perpustakaan untuk menerjemahkan tulisan yang dimilikinya ke dalam bahasa Inggris. Tan Malaka menerima permintaan tersebut.

Setelah itu, Dr. Purbocoroko menganjurkan Tan Malaka untuk mendatangi Kantor Sosial di Tanah Abang Oost untuk mencari pekerjaan. Tempat tersebut ternyata kantor urusan romusa. Salah satu pegawai kantor mendatanginya dan menanyakan kesediaan untuk bekerja di tambang batu bara di Bayah yang dikelola oleh perusahaan Bayah Kozan Sumitomo Kabushiki Kaisha.

Tan Malaka menyanggupi dan harus kembali ke kantor tersebut keesokan harinya. Menurutnya, saat itu terdapat sekitar 50 pelamar, sedangkan yang dibutuhkan hanya sekitar 30 orang. Tan Malaka hampir mengurungkan niatnya karena terkendala kelengkapan administrasi, yakni ijazah SMP hingga SMT dan HBS serta surat keterangan lainnya. Namun, karena ia lulusan MULO kelas 2 dan pernah bekerja di kantor impor Jerman di Singapura, maka ia diluluskan. Besok pagi, Tan Malaka bersama 29 orang lainnya berangkat ke Bayah dari Stasiun Tanah Abang. Setelah sampai di Malingping, perjalanan dilanjutkan menggunakan truk.

Hari pertama di Bayah, dalam kondisi mabuk kendaraan. Dalam buku Sukarno Biografi 1901-1950 tulisan warga Belanda Lambert Giebels, diceritakan Tan Malaka menginap di rumah bambu beratapkan rumbia. Esoknya, para pekerja dibawa ke kantor dan menuliskan riwayat masing-masing. Hal ini menurutnya dilakukan sebagai langkah Jepang untuk mengetahui riwayat orang-orang dan segala perkumpulan yang pernah diikutinya. Tahu bahwa Jepang anti-komunis, Tan Malaka mengisi lembar riwayat yang disediakan dengan nama samaran Ilyas Husein, keluaran dari MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis suatu firma di Singapura. Ia kemudian ditempatkan di bagian gudang.

Hari-harinya dihabiskan untuk mengangkat barang dan tidak ada waktu untuk sekadar duduk dan menulis di atas meja. Jika terpaksa harus menulis, ia mesti mencari sendiri kursi dan mejanya yang berasal dari peti. Setelah enam bulan, ia dipindahkan ke kantor untuk mengurus para romusa yang masuk dan keluar di perusahaan ini.

Selama tugas di luar mengurusi tenaga kerja Romusa ini, banyak yang dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan Jepang Sumitomo. Kira-kira 20.000 pekerja tambang tetap umumnya romusha asal Jawa. Mereka diawasi Kempetai dengan bantuan tentara Peta. Tan Malaka melukiskan sistem kerja Jepang cukup baik. Para romusha yang baru, yang didatangkan dalam gerbong-gerbong kereta api. Mula-mula diseleksi. Mereka yang tidak cukup kuat karena fisik yang lemah atau karena mengidap penyakit, langsung dikembalikan ke desa asalnya.

Selama awal bulan bagi berbadan kuat diberi tugas menebang pohon di hutan dengan pendapatan 40 sen dan 400 gram beras. Namun banyak tenaga pekerja yang menjadi korban kecurangan data saat registrasi. Dampaknya bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan tidak mendapatkan hak upah secara adil. Harusnya seperempat dari upah yang diterima pekerja, sedangkan sisanya ditahan perusahaan pertambangan untuk dikirim ke desa tempat asal para romusha. Setiap bulan jumlahnya bisa mencapai 50.000 gulden. Namun praktek dilapangan hanya sebagian dari uang sampai ke tangan anggota keluarga yang berhak menerimanya. Sisanya habis oleh korupsi di perusahaan pertambangan.

Sebagian pekerja juga meninggal dunia akibat minim perawatan medis dan kurang lancarnya pengadaan pangan. Angka kematian sangat tinggi. Tan Malaka menyebutkan angka 400-500 per bulan. “Orang Jepang tidak peduli. Mereka dengan mudah dapat memperoleh gantinya,” kata Malaka.

Untuk memulangkan para romusha yang kesehatannya tidak memenuhi syarat atau yang telah menggenapi masa bakti tiga bulan, dibutuhkan transportasi dengan frekuensi yang tinggi dan volume yang besar. Pernah Tan Malaka dijadikan pengawal salah sebuah transportasi itu. Ia sadar, bahwa untuk perjalanan yang memakan waktu berhari-hari. Sebab gerbong yan mengangkut tenaga romusa hanya dikaitkan di kereta api biasa. Hampir tidak ada bekal logistik yang cukup selama pejalanan. Maka para romusha yang sakit dan lemah, banyak yang mati di tengah jalan. Mayat-mayat mereka ditinggalkan di peron-peron, sambil diprotes para kepala stasiun.

Sekembali di Banten, Tan Malaka berusaha mengambil tindakan untuk memperbaiki transportasi para romusa. Tan Malaka juga berhasil memperbaiki pengadaan beras untuk para pekerja tambang. Dengan dibantu oleh beberapa anak muda yang bersemangat. Ia juga berhasil membangkitkan perhatian untuk perawatan medis, dan dibangunnya sebuah rumah sakit untuk mereka.

Untuk rekreasi, para romusha mendirikan sebuah perkumpulan sepak bola dan sebuah perkumpulan sandiwara. Pihak pimpinan Jepang memberi kebebasan penuh, dan menyediakan dana yang diperlukan. Akhirnya, Tan Malaka menjadi kepala biro Jepang, khusus untuk menangani semua kegiatan yang ia pelopori.

Asal Mula Romusha

Romusha meninggalkan catatan menyedihkan bagi bangsa Indonesia, sebab menimbulkan banyak korban jiwa. Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, romusha merupakan sistem kerja paksa yang diterapkan Jepang kepada penduduk Indonesia. Dalam bahasa Jepang romusha memiliki arti serdadu pekerja. Para penjajah membentuk kelompok-kelompok penduduk pribumi dan menjadikan mereka sebagai buruh kasar di bawah kekuasaan Jepang. Romusha berlangsung selama tiga tahun dari 1942 sampai 1945.

Awalnya romusha dilakukan secara sukarela dan dipekerjakan tidak jauh dari tempat tinggal. Bahkan, gelombang pertama romusha dilepas dengan upacara kebesaran. Akan tetapi pada gelombang kedua dibutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga memaksa kepala keluarga menyerahkan anak lelakinya untuk bekerja. Pihak Jepang tidak lagi menginginkan pengangguran, mereka menginginkan semua penduduk bekerja untuk Jepang.

Kepala desa diperintahkan untuk menyediakan warganya guna melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan oleh pihak Jepang. Rakyat diklasifikasikan sesuai dengan statusnya di masyarakat dan jenjang pendidikannya, yakni rakyat buta huruf, rakyat pandai baca tulis, rakyat cerdik cendekiawan, alim ulama, dan tokoh adat. Walaupun telah merekrut banyak tenaga kerja, mereka tetap menginginkan tambahan pekerja untuk dieksploitasi. Bahkan penjajah Jepang juga melakukan razia di setiap jalan dan menangkap siapa pun yang mereka temukan untuk memperkuat barisan romusha.

Pekerjaan berat yang dilakukan oleh romusha adalah membangun kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah dan daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer di garis depan. Perlakuan penjajah Jepang kepada para romusha untuk memenuhi tujuannya sangat keji daripada apa yang terjadi pada para pekerja rodi. Para romusha bekerja tidak mengenal waktu, sehingga banyak di antara mereka yang tumbang karena kelaparan. Tenaga kerja romusha juga dikirim ke luar negeri seperti Burma, Malaysia, Thailand dan Indocina.

Dampak negatif kebijakan romusha di bidang pertanian, yaitu menurunnya produksi karena berkurangnya jumlah petani di desa. Pada masa penjajahan Jepang, terjadi berbagai blokade oleh Sekutu yang mengakibatkan kelangkaan pangan. Kelangkaan pangan semakin menjadi ketika romusha direkrut secara besar-besaran.

Para pekerja romusha umumnya laki-laki. Akibatnya, desa mengalami kekosongan tenaga pria yang seharusnya bisa mengerjakan sawah. Kelangkaan bahan pangan pun berimbas pada terjadinya kelaparan di daerah pedesaan.

Penderitaan akibat romusha beredar dari mulut ke mulut, sehingga banyak pria yang melakukan segala cara untuk menghindar. Anak muda memilih pergi dari desanya, meninggalkan perempuan, anak-anak, orang tua, dan orang-orang cacat. Struktur sosial di desa pun bergeser, di mana banyak pekerjaan kemudian dilakukan oleh tenaga perempuan, bahkan anak-anak. Mereka harus bertahan hidup sendiri, karena tidak mengetahui kapan kepulangan tulang punggung keluarganya.@pulung

Komentar
Loading...