Cinderella Tapi Bukan Upik Abu #12
Cerbung
Oleh: Vyra Fame
BRAKKK suara pintu mobil ditutup, aku dan Intan pun memasuki tempat itu yang ternyata rumah itu adalah rumah kosong yang bangunannya sudah rusak di sana sini, tapi ada satu ruangan seperti kamar yang masih utuh bangunannya, kami berduapun memasuki ruangan itu.
Krieeetttt suara pintu berderit ketika dibuka. Aku terperangah melihat pemandangan di dalam sana, tampak di sana ada seorang pria dan wanita yang terikat kaki dan tangannya juga matanya yang di tutup. Kudekati kedua orang itu dan kuamati wajahnya. Betapa terkejutnya aku setelah melihat kedua orang itu dari dekat, karena ternyata orang itu adalah…
“Mang Ruli, Bi Titin…” ucapku lirih, aku tidak pernah menyangka jika mereka berdua terlibat dalam hal ini.
Mang Ruli dan Bi Titin adalah art dan supir pribadi keluarga kami yang baru, setelah art kami yang lama meninggal, dan suaminya yang juga supir pribadi kami jatuh sakit karena merasa sangat kehilangan istrinya ahirnya kami mau tidak mau mencari pengganti mereka, dan datanglah mang Ruli dan bi Titin melamar pekerjaan di rumah kami.
“Non Nadia…” ucap mereka lirih.
“Apa maksud semua ini?” tanyaku pada mereka.
“Anu non, itu…” mang Ruli terbata.menjawab ucapanku.
“Anu itu apa mang! Apa bi! Apa maksud dari semua ini!” hardikku pada mereka.
“Jadi kalian bersekongkol dengan ibu dan saudara tiriku? JAWAB!”
“Hahahahahaha, sungguh kasihan hidupmu itu Nadia.” tiba tiba bi Titin tertawa dan berkata seperti itu.
“Apa maksudmu bi, apa hubungan kalian dengan ibu dan adik tiriku?” ucapku sinis pada bi Titin.
“Kamu dan keluarga kamu itu pembunuh!”
“Apa maksud kalian, siapa yang kami bunuh?”
“Cokro, mendiang suami dari Sindi, ibu tirimu adalah kakak saya yang paling tua.” mataku terbelalak mendengar ucapan bi Titin. Ya… aku baru ingat jika kedatangan bi Titin dan mang Ruli bertepatan dengan kejadian kami memiskinkan pak Cokro karena korupsi.
“Gara gara ayahmu memecat bang cokro dengan tidak hormat dan memiskinkan bang Cokro, membuat bang Cokro terkena serangan jantung dan meninggal, usaha yang diraihnya habis seketika karena ayahmu sita.” ucap bi Titin menatap sinis ke arahku.
“Tapi itu kan karena kesalahan pak Cokro, dia sudah menggelapkan dana perusahaan, sehingga perusahaan ayah merugi, masih bagus kami tidak melaporkannya ke polisi, kami hanya meminta hak kami yang di ambil pak Cokro, apa itu salah.” ucapku yang tak terima dengan pernyataan bi Titin yang menyalahkan ayahku.
“Tentu saja salah, kalian terlalu pelit dan sombong, sampai sampai hanya uang sebesar 500 juta saja kalian permasalahkan, apalah artinya uang segitu bagi kalian, bang Cokro adalah tulang punggung keluarganya, anaknya yang juga keponakanku tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena perbuatan ayahmu.”
“Kalian ini sungguh lucu, yang kalian maksud uang yang tidak ada artinya bagi kelurgaku itu tetap hak kami, namanya bisnis jangankan uang segitu, uang seribu rupiahpun itu adalah keuntungan kami, dan lagi pak Cokro di gaji cukkup besar di perusahaan ayah, 15 juta perbulan, apa itu kurang besar menurut kalian?”
“Tentu saja kurang, bang Cokro bukan hanya menafkahi keluarganya tapi juga membantu perekonomian keuargaku, karena bang cokro lah anak anakku bisa makan enak dan berpakaian layak, tapi kalian menghancurkan itu semua, jadi kau juga harus rasakan bagaimana rasanya kehilangan.”
“Kau apakan ayah dan ibumu.” ucapku tajam pada mereka.
“Aku menuang minyak di tangga yang ada di rumahmu, begitu ibu mu turun dari kamarnya dia menginjak minyak itu dan terguling kebawah, sedangkan ayahmu, aku mengganti obat ayahmu dengan obat warung, dan ayahmu yang sudah sakit sakitan itu tentu saja MATI karena aku tahu ayahmu tidak boleh sekalipun meninggalkan jadwal minum obatnya, hahahahahaha.”
“Brengsek! kalian memang keluarga ular, bahkan setelah pak Cokro meninggal, justru ayahku lah yang mengangkat derajat tante Sindi dan anaknya, tapi inikah balasan kalian.”
“Kau bodoh, apa kau tidak tahu, masuknya Sindi dan Bella ke dalam kehidupan keluargamu memang sudah kita atur sebelumnya.”
“Cuhhh, setelah ini kau akan membusuk di penjara.” ucapku sembari meludah kemuka keduanya.
“Hahahahhaa, kau bocah bau kencur tahu apa persoalan seperti ini, bahkan kamu tidak punya bukti untuk memasukkanku ke penjara, justru akulah yang akan memasukkam kalian ke penjara karena sudah menyekapku dan suamiku disini.”
“Hahahahahaha, kalian fikir aku ini polos dan bodoh, meskipun aku bocah tapi aku tidak sebodoh kalian, dan dengar ini!” lalu kuputar hasil rekaman percakapanku dengan mereka tadi.
Bi Titin dan mang Ruli terkejut mendengarnya, mereka tidak tahu kalau sedari awal memang aku sudah menyalakan rekaman di gawaiku.
“Sialan kau Nadia, lepaskan kami, akan ku buat kau menyusul kedua orangtuamu, biar harta kalian jatuh ke tangan keluarga kami, hahahahaha.” ucap mang Ruli dengan suara menggelegar.
Bughhh…aku meninju muka mang Ruli dan itu membuatnya terdiam seketika dan terbatuk.
“Itu baru awal pembalasan yang kulakukan pada kalian, sebelum aku menyerahkan kalian ke polisi tentu aku ingin sedikit bermain dengan kalian, dan tentunya ibu dan adik tiriku juga akan menyusul kalian ke penjara, kalau saja negara ini bukan negara hukum sudah habis kalian olehku, orang seperti kalian memang sepantasnya enyah dari muka bumi ini, jangan kalian anggap aku ini bocah polos dan bodoh, karena Nadia yang kalian tidak tahu sebenarnya jauh lebih licik daripada kalian, nyatanya dalam sekejap jika aku sudah memerintahkan anak buahku kalian pun tertangkap.” ucapku sinis pada mereka.
“Intan, suruh anak buahmu beri mereka makan, aku tidak mau mereka mati begitu saja, aku ingin mereka mati perlahan karena tersiksa.” ucapku pada Intan dan berlalu pergi yang kemudian di ikuti Intan.
**
Mobil Intan melaju membelah jalanan yang sudah mulai sepi ini karena waktu memang sudah sangat malam.
Brakk, aku turun dari mobil Intan dan masuj ke dalam rumah, sedangkan Intan langsung pulang ke kosannya.
“Darimana saja kamu! Dasar jalang kecil, jam segini baru pulang!” hardik tante Sindi yang sudah menungguku bersama Bella.
“Aku? Aku habis menghajar orang yang sudah membunuh ayah dan ibuku.’ ucapku sembari melipat tangan di dada dan menatap tajam mereka.
“Apa maksudmu?” jawab tante Sindi yang berusaha tenang, tapi aku tahu sebenarnya mereka takut, itu terlihat jelas dari raut wajah mereka yang pucat ketika aku mengatakan habis menghajar pembunuh itu.
“Kenapa tante? Masa tante tidak tahu maksudku? Tante kan juga terlibat.” ucapku tanpa basa basi.
“Maksud kamu aku membunuh orangtuamu?”
“Lalu? Siapa menurut tante, istri dari pak Cokro, mantan kepala keuangan kantor ayah yang meninggal karena serangan jantung lantaran di pecat karena korupsi uang perusahaan.” ucapku sembari tersenyum sinis.
“Sudahlah tante, tak usah lagi banyak drama dan bersandiwara, aku sudah tau semuanya, mang ruli dan bi Titin sudah mengaku semuanya, dan mereka juga masih saudara kalian dan dalang dari rencana itu adalah kalian.”
“Ja jangan asal bicara kamu Nadia, man mungkin kami seperti itu.” ucap tante Sindi dengan suara bergetar.
“Kalau bukan kalian, kenapa gugup? Kalian bersiaplah dari sekarang, aku akan menjebloskan kalian ke penjara.” ucapku dan berlalu pergi dari situ.
“Kau tidak punya bukti Naadia!” seru tante Sindi, dan aku pun menghentikan langkahku dan berbalik badan menatapnya.
“Secara tidak langsung kalian mengakuinya, dan apa tante lupa di rumah ini ada cctv dan dengan uang yang aku miliki, hanya dengan menjentikkan jari semua masalah selesai.” aku menyeringai, kemudian berbalik badan meninggalkan tante Sindi dan Bella yang masih terperangah karena aku akan mengetahui kejahatan mereka secepat ini.
“Ayah, ibu, aku janji akan memberikan pelajaran pada orang yang sudah merusak kebahagiaan keluarga kita.” gumamku dalam hati dan kemudian akupun masuk ke kamarku.[bersambung]