Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Gaya Forza Italia di Laga Politik Indonesia

Silvio Berlusconi, mulanya seorang konglomerat. Situasi politik di Italia, membuat Berlusconi mengerahkan jaringan dan kekayaannya menjadi kekuatan politik. Namanya Forza Italia.

Forza Italia, yang berarti Majulah Italia, adalah partai yang didirikan oleh Silvio Berlusconi. Forza Italia bukan partai yang dibangun oleh politisi atau aktivis politik, seperti pembentukan partai pada umumnya.

Partai ini, dibangun oleh jaringan usaha raksasa Berlusconi, bersama para analis politik profesional dan sebagian karyawan perusahaannya yang mendedikasikan diri untuk berperan sebagai aktivis politik.

Fenomena ini sebenarnya terjadi di banyak negara. Forza Italia adalah contoh par excellent di level internasional, karena Silvio Berlusconi adalah konglomerat yang menguasai beberapa industri penting di Italia, terutama media massa.

Dengan bantuan jaringan media, terutama Finivest, partai ini mampu membangun citra positif dan berhasil memenangkan pemilu setahun setelah didirikan.

Namun, dalam perkembangannya, ketergantungan Forza Italia pada Berlusconi demikian besar. Sehingga, partai ini cenderung menjadi sebuah institusi pribadi yang mendedikasikan diri untuknya.

Atas kondisi ini, partai ini kemudian disebut sebagai “personality party”.

Aktor-aktor Baru
Di Indonesia, munculnya partai yang dibentuk tanpa memiliki basis massa dan basis ideologi menjadi tren dan bertumbuh. Partai bisa dibentuk tanpa raison de être.

Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui penelitian yang dilakukan oleh salah satu penelitinya, Firman Noor mengungkapkan, ini disebut sebagai fenomena pasca demokrasi atau post-democracy.

Dr. Firman Noor, M.A. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

 

Melalui Jurnal Penelitian Politik volume 14 nomor 2, penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Politik – LIPI pada 2017, mendapatkan beberapa temuan menarik terkait fenomena ini.

Riset diawali dari fenomena partai-partai yang bermunculan di era reformasi. Ditemukan fakta, bahwa partai sebagian besar partai yang dibentuk adalah kelanjutan dari partai-partai yang dibentuk di masa Orde Baru.

Atau, mengaitkan diri dengan partai-partai berpengaruh di masa demokrasi liberal. Bahkan, ada yang menyatakan diri sebagai “anak kandung” atau terikat secara emosional dengan ormas-ormas berpengaruh di Indonesia.

Intinya, semua partai itu dilahirkan secara kolektif oleh lembaga atau kelompok masyarakat yang telah memiliki basis massa: apakah itu nasionalisme, agama, sosialisme, atau developmentalisme.

Ketika lembaga-lembaga dan mekanisme demokrasi sudah berjalan, bermunculan figur pemimpin tunggal atau sistem politik otoriter. Inilah yang kemudian disebut sebagai masa pasca-demokrasi atau post-democracy,

Kondisi ini kemudian menjadi salah satu faktor, yang memunculkan aktor-aktor politik baru. Terutama kalangan yang kuat secara ekonomi. Mereka bukanlah kalangan —yang dalam spektrum politik— adalah pendukung gerakan-gerakan sosial khas kaum kiri.

Mereka adalah kalangan yang mulai memiliki kesadaran, bahwa melalui penguasaan politik, mereka dapat merealisasikan kepentingannya. Termasuk mengamankan kekuasaan ekonominya.

Dalam perkembangannya, kalangan ini menciptakan wacana politik baru berikut “opsi-opsi solusi praktis” atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka kemudian menggiring pandangan, opini dan sikap politik publik yang diklaim sebagai “kepentingan umum”. Namun, klaim tersebut bersifat superfisial, karena kepentingan eksklusif merekalah yang pada akhirnya lebih terakomodir.

Kendaraan Politik
Pergeseran aktor politik dan munculnya situasi post-democracy, juga terjadi karena meningkatnya skeptisisme masyarakat terhadap politik. Partai politik dan politisi dianggap tidak lagi memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka.

Situasi ini memberikan peluang kepada aktor politik baru untuk mengambil alih peran politisi lawas dan partai politiknya. Dengan kekuatan ekonominya, para aktor baru leluasa mendesain dan menggerakkan sebuah bangunan partisipasi politik baru, sehingga menggugah khalayak untuk terlibat (lagi) dalam politik.

Partai-partai post-democracy ini, terutama di awal-awal keberadaannya, dapat dilihat dari bergantungnya partai pada figur pendiri. Ini disebabkan karena eksistensi partai cenderung dijadikan sebagai “kendaraan politik personal”, dan juga karena ketergantungan finansial partai kepada figurnya.

Karenanya, aktor-aktor politik baru ini lebih berorientasi pada populisme untuk menopang kekuasaan yang lebih eksklusif, terutama dalam soal formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah.

Pergerakan mereka semakin intens menjelang pemilu. Fokus utama para aktor politik baru ada pada electoral enabling, yakni mendapatkan suara sebanyak-banyaknya melalui mobilisasi massa yang massif.

Tujuan ini relatif terbantu dengan rendahnya tingkat kepedulian dan pemahaman politik masyarakat, yang membuat mereka mudah dimobilisasi.

Untuk memformalkan partai, para pengusaha atau pemilik modal berikut konsorsium bisnisnya, penasehat-penasehat politik profesional, para pelobi dan jaringan media berikut para awaknya dimasukkan ke dalam struktur partai. Inilah yang oleh para peneliti disebut sebagai firma politik.

Mereka inilah yang menjadi pesaing dari “awak klasik” partai politik, yaitu para simpatisan, anggota, dan kader partai.

Kemandirian Finansial
Faktor yang juga menyebabkan munculnya aktor baru ini, adalah makin melebarnya jarak antara partai dengan masyarakat. Ini tidak saja dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap partai-partai. Juga, karena lepasnya ketergantungan partai-partai dari komunitas pendukung yang selama ini menopang kegiatannya, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan finansial.

Bila dulu partai hidup dari sumbangan sukarela kader dan simpatisan, maka sejak era tahun 1960-an —dan menjadi tren di dunia Barat di tahun 1970-an— peran tersebut telah digantikan oleh negara dan kalangan pengusaha.

Kondisi “kemandirian finansial” ini menguat dan partai mulai terbiasa berimprovisasi mendapatkan dana besar dari kalangan pengusaha untuk menopang kehidupannya.

Akhirnya, muncul simbiosis mutualisme. Konsesi berupa kebijakan yang menguntungkan para pengusaha, adalah harga yang harus dibayar oleh partai.

Situasi ini juga memancing para pengusaha untuk masuk dalam kehidupan politik. Mereka melihat peluang untuk tidak lagi sekadar menjadi “donatur tetap”, dengan konsesi hanya berupa beberapa proyek pemerintah.

Mereka pun terlibat langsung sebagai pemain politik yang diperhitungkan. Mereka membangun imperium politiknya sendiri dengan kontrol penuh atasnya.

Dampaknya, para pengusaha tidak saja bisa menentukan setiap agenda partai. Tapi juga bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Situasi inilah yang menandai berakhirnya demokrasi, dan menjadi pembuka jalan bagi post-democracy.

Agenda apa yang akan dijalankan oleh pemerintah atau pembuat kebijakan, mulai ditentukan secara eksklusif oleh segelintir orang saja.

Jaringan Korporasi
Ada beberapa karakter utama pada partai post-democracy ini. Pertama, mereka dapat memproduksi elit-elit di lingkaran terdalam partai (comprises a self-reproducing inner circle) tanpa perlu menimbang keberadaan kalangan kader atau simpatisan.

Kedua, berjarak dengan massa (remote from its mass movement base). Keberadaannya lebih bergantung pada jaringan korporasi elit ketimbang jaringan akar rumput.

Ketiga, sebagai konsekuensinya, partai berada dalam posisi ketergantungan timbal balik dengan para korporat, yang tentu saja mengharapkan imbalan politik manakala partai-partai itu berkuasa.

Selain itu, partai post-democracy cenderung membangun agenda politik yang bersifat top-down. Berlandaskan terutama pada masukan penasihat politik profesional dan para korporat, ketimbang masukan dari khalayak.

Partai juga menjadi sebuah “a formal shell atau an ellipse”, yang diisi terutama oleh para profesional dan kelompok korporat. Bukan politisi kader.

Dampaknya, keterasingan masyarakat atas partai menguat, yang juga menyebabkan loyalitas dan partisipasi kader dalam partai bersifat semu.

Kemudian, partai sering mengalami problem dalam membangun komunikasi publik, karena memposisikan diri sebagai penjual produk dan berbicara satu arah layaknya iklan. Publik tidak diperlakukan sebagai mitra dialog.

Namun demikian, secara umum partai-partai post-democracy tetap menunjukkan keberpihakan terhadap hal-hal yang bersifat populis dan nasionalis. Agenda-agenda seperti ekonomi kerakyatan, kemandirian ekonomi, kesejahteraan rakyat, kedaulatan negara, nasionalisme ekonomi, restorasi kehidupan politik menuju kedaulatan rakyat, menjadi hal-hal yang terus disuarakan.

Kepentingan untuk berkomitmen dengan agenda politik tersebut, adalah investasi politik agar lebih mendapat dukungan dari publik di masa-masa selanjutnya.

Komitmen pada tema dan opsi-opsi politik populis ini, menjadi gejala politik kontemporer di Indonesia. Secara teori, ini disebut sebagai pragmatisme. Dengan mengusung kepentingan pragmatis, tidak berarti elite partai mengorbankan jaringan kekuasan ekonominya.

Karena itulah, dalam hal agenda setting, partai-partai post-democracy menampakkan gejala yang kompleks. Di satu sisi, substansi beberapa kebijakan partai cenderung bersifat populis, yang menunjukkan komitmen pada kepentingan rakyat banyak. Tapi di sisi lain, proses pengambilan kebijakan masih jauh dari nuansa demokrasi. Pilihan-pilihan kebijakan bukanlah hasil dialog panjang dan bernas antara elite dengan pengurus partai pada umumnya.

Tidak mengherankan jika beberapa kalangan pemerhati meyakini, bahwa demokrasi internal masih merupakan soal besar yang belum terpecahkan bagi partai-partai post-democracy ini.

Hukum Besi Oligarki
Kondisi partai-partai post-democracy, tidaklah terjadi secara konstan. Ada kalanya partai-partai mendengar pandangan berbagai pihak. Partai mulai membuka diri dengan khalayak.

Kecenderungan ini terlihat pada kasus-kasus partai di Eropa Barat, terutama di Inggris Raya dan Perancis. Partai-partai post-democracy di sana menunjukkan gejala makin membuka diri dalam beberapa tahun belakangan ini.

Dalam perkembangannya, partai-partai post-democracy cenderung memilih semakin mendekatkan diri kepada khalayak. Meski, hal itu tetap dikombinasikan dengan hukum besi oligarki partai.

Di Indonesia, partai-partai post-democracy juga sering turun ke jalan dan menyerap aspirasi dari masyarakat. Selain itu, ada limitasi bagi para elite untuk dapat memahami situasi riil di level daerah.

Namun demikian, membangun loyalitas massa akar rumput masih menjadi persoalan besar. Partai bisa menjadi ephemeral atau segera hilang dari peredaran karena loyalitas yang dibangun oleh partai-partai post-democracy, lebih banyak ditentukan dan dipelihara oleh pendekatan pragmatis yang berorientasi pada uang dan berbiaya tinggi.

Partisipasi yang berkembang, berjalan tanpa makna. Karena, kepentingan khalayak tidak benar-benar tertampung di dalamnya. Kerumunan yang membludak dan semarak dari kegiatan-kegiatan partai, hanya temporal. Lebih berfungsi, terutama untuk mengukuhkan eksistensi partai dan para elitnya.

Meskipun demikian, beberapa sikap dan kebijakan partai-partai post-democracy ini cenderung menguatkan kehidupan demokrasi. Artinya, kondisi post-democracy di Indonesia, secara umum, tidak selamanya memberikan kemuraman bagi kehidupan partai politik. (*)

DalangPolitik

Komentar
Loading...